Bola.com — Alam rasa. Kosakata itu terkadang menjadi bagian dari sepak bola. Di balik olahraga indah tersebut, sering kali terselip berbagai inspirasi kehidupan dari perjuangan serta kegigihan 22 manusia yang saling bersaing demi meraih kemenangan di atas lapangan.
Advertisement
Baca Juga
Kalah, menang, tangis dan tawa, adalah hasil akhir yang terjadi dalam drama bernama sepak bola. Sebentar lagi, kita pun akan kembali menyaksikan momen-momen istimewa itu melalui pesta akbar bernama Piala Eropa.
Baca Juga
Timnas Indonesia Gagal ke Semifinal Piala AFF 2024, PSSI: Pemain Sudah Tampil Maksimal
Skuad Timnas Indonesia yang Gagal di Piala AFF 2024 Awalnya Diproyeksikan untuk Pertahankan Medali Emas di SEA Games 2025
Cristian Gonzales Tawarkan Diri ke Erick Thohir Jadi Pelatih Striker Timnas Indonesia setelah Tersingkir dari Piala AFF 2024
Pada Jumat atau Sabtu (11/6/2016) dini hari WIB, kemegahan Menara Eiffel akan mulai diselimuti semangat dari jutaan suporter 24 negara peserta. Kedatangan mereka tentu tak hanya untuk memberi dukungan, tetapi juga membawa harapan besar menyaksikan permainan gemilang.
Franklin Foer, dalam karyanya How Soccer Explain the World (2004), menuliskan, bagi masyarakat dunia, pesta sepak bola juga adalah upaya menyatukan semua orang. Tak peduli status sosial, usia, atau bahkan status darurat negara akibat bencana, jika bicara sepak bola, kita memang seperti tak kuasa menahan gejolak rasa.
Toh, gejolak rasa berasal dari sifat alami manusia. Lihat saja bagaimana suporter hingga para sepak bola tetap antusias, meski berbagai aksi teror terus menghantui persiapan Piala Eropa. Mulai dari tragedi berdarah di Paris pada November 2015, hingga aksi teror di Brussels, Belgia.
Bayangkan seperti apa kengerian para pemain Prancis dan Jerman, ketika serangan para terduga teroris terjadi hanya berjarak beberapa meter dari tempat mereka berpijak di atas rumput Stade de France, Saint-Denis. Bayangkan pula hujan air mata para keluarga korban yang membuat hati kita terasa kian teriris.
Namun, gejolak rasa ternyata membuat sepak bola terus bergulir. Bencana pun tak mampu menghadangnya. Di tengah duka cita mendalam, pecinta sepak bola tetap berharap Piala Eropa 2016 digelar. Mereka bahkan sempat was-was, jangan-jangan akibat aksi teror, penyelenggaraan Piala Eropa akan molor.
"Orang-orang akan menuju ke sana (Prancis) dan membuat pernyataan, kami tidak akan takut. Apa yang terjadi di Paris dan Belgia, juga terjadi di seluruh dunia. Anda bisa melihat kepedulian antar sesama yang begitu luar biasa. Inilah sisi kemanusian sepak bola," ujar legenda Prancis, Thierry Henry.
Ali
Satu pekan sebelum Piala Eropa bergulir, dunia olahraga sempat kembali diselimuti kabar duka. Namun, bukan karena bencana, melainkan petinju legendaris, Muhammad Ali, meninggal dunia pada usia 74 tahun, akibat penyakit komplikasi parkinson, di Scottsdale, Arizona.
Semasa hidup, Ali dianggap representasi olahragawan sejati. Petinju yang memiliki nama lahir Cassius Marcellus Clay itu dikenal sebagai
petarung yang berjuang demi prestasi di atas ring dan keadilan di atas masalah segregasi warga kulit hitam di AS, pada era 1960-an.
Maklum, bagi Ali, tinju bukan hanya olahraga biasa, melainkan juga sebagai bentuk gejolak alam rasa yang dapat melampaui segala batas, hingga ke persoalan hak asasi manusia dan ras. Atas dasar itulah ia sempat menolak program wajib militer tentara AS untuk perang ke Vietnam.
"Saya tidak ada masalah dengan orang Vietnam. Mereka juga tidak pernah menghina saya dengan panggilan negro." demikian komentar Ali saat memberikan jumpa pers usai penolakan wajib militer tersebut.
Ali sadar betul akan konsekuensi. Dia tidak mempermasalahkan ketika gelar juaranya dicabut. Pun halnya skors bertanding selama tiga tahun, serta denda puluhan ribu dolar AS. Bagi Ali, aksi kemanusiaan jauh lebih penting ketimbang untaian medali atau pajangan trofi.
Toh, selain lewat medali dan trofi, Ali memiliki cara lain mengubah tinju menjadi tontonan menghibur kelas dunia. Ali melengkapi dengan keindahan sehingga ia digambarkan bak kupu-kupu yang sedang menari saat menghindari pukulan, tetapi menyengat seperti lebah ketika memukul lawan.
Itu semua dilakukan berkat rasa kepedulian Ali terhadap berbagai masalah kehidupan manusia. Kepedulian yang juga mengantarkannya bertransformasi dari pemuda kulit hitam yang sering tertindas pada era segregasi, hingga menjadi The Greatest, dan panutan para atlet dunia untuk berprestasi.
Sepak bola
15 Mei 2015. Federasi Sepak Bola Jordania menerima kiriman surat elektronik dari Muhammad Ali. Dalam surat yang ditunjukkan kepada Prince Ali bin Al Hussein itu, Ali bercerita mengenai pengalaman usai menolak wajib militer AS untuk Perang Vietnam, pada 28 April 1967.
Tujuan Ali amatlah sederhana. Bagi dia, FIFA yang ketika itu sedang dilanda kasus korupsi membutuhkan sosok penuh integritas agar sepak bola dapat kembali ke khitah, sebagai permainan indah. Namun, di balik integritas itu harus pula ada kejujuran agar berbagai masalah organisasi dapat diperbaiki.
Never revealed before, a letter from the Champ to all FIFA FAs. Great character & wisdom. Made us very proud pic.twitter.com/pCeHXu9fia
— Jordan Football (@JordanFA) June 5, 2016
"Orang yang benar-benar hebat dalam sejarah tidak pernah ingin hebat untuk dirinya sendiri. Hal yang mereka inginkan hanyalah memiliki kesempatan berbuat baik untuk orang lain," tulis Ali dalam surat tersebut. Hal terakhir inilah yang kiranya jarang dimiliki pejabat dunia olahraga Indonesia.
Contoh paling mencolok adalah PSSI. Alih-alih ingin membantu meraih prestasi, sang ketua umum sekarang justru sibuk bermanuver agar terhindar dari kasus korupsi. Soal benang kusut organisasi? Rasanya para pengurus sejak puluhan tahun lalu belum juga tergerus arus reformasi.
Para pengurus itu harusnya dapat mengilhami perjuangan Ali dalam dunia olahraga. Meski tak berurusan langsung, Ali mengerti betul kejujuran harus ada dalam sepak bola. Kejujuran yang berasal dari alam rasa saat menyaksikan perjuangan kaki-kaki lincah pemain merebut dan menggiring bola di atas lapangan.
Hal itu terlihat ketika Ali mengutarakan kekaguman terhadap sepak bola kala bersua Pele. Menurut Ali, "Sepak bola lebih indah ketimbang tinju." Jika seseorang yang tidak pernah berkecimpung langsung saja mengerti esensi sepak bola, lantas bagaimana dengan para pengurus di negeri ini?
Ah, sudahlah. Sejenak mari lupakan dulu masalah PSSI. Di depan mata, sudah ada Piala Eropa yang takkan kembali membuat kita mengelus-elus dada. Semoga inspirasi dari hiburan di Prancis dapat sejenak mengistirahatkan masyarakat Indonesia dari rangkaian opera sabun di Senayan yang semakin membosankan.
"Ketika Anda benar, tak seorang pun mengingatnya. Ketika Anda salah, mereka tidak akan pernah lupa." — Muhammad Ali (1942-2016).
Sumber: Berbagai sumber