Bola.com, Jakarta - Timnas Italia datang ke putaran final Piala Eropa 2016 dengan status kurang meyakinkan. Publik negeri Menara Pisa tersebut melepas 23 jagoan mereka tanpa ekspektasi yang terlalu tinggi. Maklum, mereka baru saja babak belur pada Piala Dunia 2014 di Brasil.
Status runner-up Euro 2012, juga bukan jaminan kesuksesan akan terulang. Walhasil, Gli Azzurri mendapat status underdog, meski mereka terbang ke Prancis dengan bermodal juara Grup H pada fase kualifikasi.
Namun, semua pandangan tersebut berubah drastis saat Italia memulai perjalanan mereka di Prancis 2016 dengan menekuk tim penuh bintang, Belgia. Dua gol dari Emanuele Giaccherini dan Graziano Pelle membuka mata publik: Italia tak bisa diremehkan begitu saja.
Sang allenatore, Antonio Conte membuktikan pada publik kalau sepakbola adalah permainan tim. Taktik Conte memudahkan komunikasi antarpemain. Alhasil, setiap individu mampu mengambil keputusan dan mengeksekusinya dengan prima.
Advertisement
Baca Juga
Pola pikir Conte yang terealisasi di lapangan memberi ancaman pada lawan. Bukti tersahih bisa terlihat kala Gianluigi Buffon dkk melibas Spanyol dengan skor 2-0, pada Babak 16 Besar Piala Eropa 2016. Tak hanya berhasil membalas dendam atas kekalahan di final Euro 2012, Italia memperlihatkan permainan ideal sebuah tim sepak bola, yakni bertahan dan menyerang sama bagusnya.
Pasukan Conte mampu menerjemahkan keinginan sang pelatih dengan sempurna, yang membuat Italia mampu tampil dominan atas Spanyol. Dominasi total tersebut terlihat dari berbagai aspek.
Tak heran, apa yang sudah diperlihatkan Italia bakal menghadirkan marabahaya bagi Jerman. Kedua tim raksasa Eropa tersebut bertemu pada babak perempat final Euro 2016, di Nouveau Stade de Bordeaux, Bordeaux, Sabtu (2/7/2016) atau Minggu (3/7/2016) dini hari WIB. Pertemuan kedua negara sekaligus bakal menguji apakah patron Italia bisa menggoyahkan permainan baku sang juara dunia 2014 tersebut.
Jika mengacu pada pertemuan kontra Spanyol, Italia layak mendapat acungan jempol. Saat itu, Conte memasang formasi 1-3-5-2, yang sukses membungkam Belgia. Buffon mengawal lini belakang bersama trio Chielinni-Bonucci-Barzagli. De Rossi mengisi pos di depan tiga bek, bersama Giacherini dan Parolo yang memerankan gelandang box to box . Posisi wingback diisi De Sciglio di kiri dan Florenzi di kanan. Duet maut Pelle-Eder menjadi ujung tombak kembar di depan.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Berubah Total
Secara teori formasi natural, keputusan Conte bakal merugikan. Penyebabnya, deretan bek Italia akan mendapat tekanan berat dari armada depan Spanyol, yang mengandalkan David Silva, Nolito dan Alvaro Morata.
Selain itu tiga gelandang Italia yang notabene tidak kreatif harus bertarung dengan Sergio Busquets, Cesc Fabregas dan Andres Iniesta. Alhasil, saat itu publik yakin Spanyol akan menguasai bola, sedangkan Italia bermain dengan sistem alamiahnya, yakni bertahan.
Sayang, di lapangan semuanya berubah total. Italia mampu melakukan tekanan secara militan dan menguasai bola. Sebaliknya, Spanyol justru tak nyaman saat mengalirkan bola. Italia bisa nyaman mengembangkan permainan, dan mengakhiri babak pertama berbekal 48 persen penguasaan bola. Angka itu sesuatu yang tak biasa.
Gaya fleksibilitas ala Conte juga menjadi masalah lain bagi Spanyol. Pola 1-3-5-2 cepat bermutasi menjadi 1-5-3-2 atau 1-3-4-3. Sosok Giaccherini memerankan tugas luar biasa tersebut. Ia menjadi orang pertama yang bertugas menjaga Pique saat Spanyol mendapat tendangan gawang.
Aksi Giaccherini diikuti gerakan simultan pemain lain. Eder menjaga Ramos, Pelle sedikit turun menutup akses ke Busquets. Jika ada bola mengarah ke Alba atau Juanfran, giliran De Sciglio dan Florenzi bersiap melakukan tekakan. Hasil akhirnya, David De Gea harus melancarkan bola lambung hampir sepanjang pertandingan.
Kelihaian Italia dalam menekan lawan tak hanya saat berada di zona lapangan lawan. Kala bermain di area sendiri, organisasi pertahanan Italia sangat bagus. Pelle dan Eder turun sampai lebih rendah dari Busquets.
Formasi 1-5-3-2 berubah menjadi 1-5-3-2-0 aau 1-5-2-3-0. Kondisi ini membuat area sentral menjadi begitu padat. Guna menembus lewat tengah, Iniesta hanya bisa lakukan kombinasi satu-dua. Usaha mengubah arah permainan menjadi sulit, karena di sana ada De Rossi dan Giaccherini, yang menutup ruang gerak Cesc Fabregas.
Advertisement
Pola 1-3-1-0-6 Saat Menyerang
Saat bersua dini hari nanti WIB, Jerman tak bisa berleha-leha. Italia sudah membuktikan mereka bisa mengejutkan siapapun, terutama apa yang telah mereka perlihatkan kala menekuk sang juara bertahan, Spanyol.
Italia bertahan bagus itu sudah biasa, tetapi mendominasi serangan barulah luar biasa. Saat bersua Spanyol, Conte mengaplikasikan pola ofensif terstruktur rapi. Semua itu dimulai dari Buffon. Artinya, setiap memulai permainan, sang kiper mengumpan pendek ke satu di antara stopper, terutama Chiellini di kiri atau Barzagli di kanan.
Tujuan dari 'awalan permainan' tersebut adalah memancing pressing tinggi Alvaro Morata dkk. Italia berharap organisasi pertahanan Tim Matador merenggang secara vertikal. Imbasnya, ruang gerak duet Pelle-Eder lebih banyak. Begitu juga Giaccherini dan Parolo. Strategi ini tergolong mengejutkan, karena faktanya mereka seolah-olah menahan pergerakan empat bek Spanyol.
Conte terlihat ingin membatasi ruang gerang Sergio Busquets. Bukan rahasia lagi, Si Nomor 6 asal Barcelona ini adalah jagonya pemutus serangan. Kemampuan membaca permainan dalam memotong passing dan menutup jalur passing vertikal lawan masih belum ada tandingannya.
Rencana taktik Conte memaksa Busquets berdiri percuma. Ia menjaga zona lapangan tanpa lawan. Selain tak ada satupun lawan, Italia juga jarang melakukan passing vertical via zona tersebut. 1-3-1-0-6 yang menempatkan Parolo atau Giacherini tinggi mendekati fullback lawan membuat Alba maupun Juanfran menjadi tak bisa mempressing dua wingback Italia.
Tentu saja Florenzi dan De Sciglio menjadi bebas merdeka di ruang yang amat besar. Kedua wingback inilah yang menjadi kunci koneksi antara lini belakang dan depan saat Italia memprogresi serangan. Kondisi ini membingungkan bagi Iniesta.
Apakah ia harus tetap fokus di area sentral dan biarkan Florenzi bebas menerima bola? Atau ia harus keluar melebar lakukan marking? Jika itu pilihannya, maka sontak membuka jalur passing Barzagli ke De Rosi. Dilema.
Pada banyak kesempatan, faktanya wingback Italia tidaklah selalu bebas.Terkadang misal Iniesta memutuskan untuk me-marking Florenzi. Atau pada kesempatan lain, Jordi Alba bisa megawal pergerakan Florenzi juga.
Situasi pressure seperti ini tampak telah diantisipasi Conte. Solusinya adalah wingback Italia diminta menahan bola sambil membelakangi gawang. Kemudian dengan posisi kaki berlawanan dilakukan umpan lambung ke Pelle. Florenzi dengan kaki kiri, DeSciglio dengan kaki kanan.
Cara yang tergambar di atas efektif, sebab Pelle selalu memenangkan duel bolaudara. Striker Southampton itu bahkan begitu nyaman gunakan kepala dan dadasebagai tembok pemantul ke Eder-Giacherini-Parolo.
Model umpan lambung initak melulu ke Pelle. Tetapi juga bisa dilakukan stoper atau wingback ke wingback di sisi lapangan yang lain. Seperti pada gol ke-2 yang dicetak Pelle. Insigne yang melebar ke kiri menahan bola membelakangi gawang. Lalu dengankaki kanannya memberi umpan lambung pindah arah ke Darmian di kanan.
Meruntuhkan Stigma
Kesimpulannya, kecerdasan taktik Italia mampu membungkam hegemoni Spanyol. Sang juara bertahan harus mengakui kolektivitas Italia yang efektif, Menekan secara kontinyu, orientasi penjagaan ketat orang per orang, plus serangan berpola vertikal menjadi resep dominasi Italia yang berujung pada kemenangan kontra Spanyol.
Taktik Italia semakin memukul Spanyol, karena Antonio Conte mengakui apa yang direalisasikan armadanya di lapangan adalah kombinasi pola permainan Barcelona dan Atletico Madrid.
Hal itu memang terlihat, karena Italia menyerang bak El Barca dan bertahan seperti Los Rojiblancos. Pada satu sisi menujukkan hegemoni Spanyol di pentas antar klub Eropa. Tetapi di sisi lain begitu ironi mengingat banyaknya pemain dua klub raksasa La Liga tersebut di Timnas Spanyol.
Taktik Italia memang telah meruntuhkan stigma. Sebuah stigma yang dibuat media dan fans, kalau Spanyol adalah jagonya sepak bola menyerang dan Italia suhunya sepak bola bertahan.
Kenyataannya menyerang-transisi-bertahan adalah sebuah siklus yang tidak bisa dipisahkan dari sepak bola.Sesuai hakekat sepak bola untuk mencetak gol lebih banyak daripada lawan, Italia menang dengan pertahanan dan penyerangan prima.
Kini, menarik untuk menunggu apakah taktik ala Antonio Conte tersebut nyata memberi ancaman pada Jerman, pada laga perempat final Piala Eropa 2016, dini hari nanti?. Anda tak boleh melewatkan begitu saja partai menarik tersebut.
@ganeshaputera
Co-Founder KickOff! Indonesia
Pusat Kepelatihan Sepak Bola
Advertisement