Laporan langsung jurnalis Bola.com, Ary Wibowo dan Vitalis Yogi Trisna, dari Paris, Prancis MATAHARI bulan Juli berkelebat menerobos jendela kereta api, dan bayang-bayangnya berkejaran di lintasan rel. Di balik kaca jendela terhampar pemandangan nan istimewa. Pemandangan yang menjadi awal cerita lawatan saya ke kota kelahiran sang legenda, Zinedine Zidane.
Advertisement
Baca Juga
Perjalanan dari Paris ke Marseille dengan kereta api cepat TGV (Train Grande Vitesse) diperkirakan memakan waktu kurang lebih tiga setengah jam. Panorama indah membuat hati yang memandangnya kian merekah. Belum lagi, dalam setengah perjalanan, posisi kereta bersisian dengan Laut Mediterania.
Hanya dalam waktu satu jam, Kota Paris hilang dari pandangan. Sejauh mata memandang, terhampar laut biru dengan pasir putih dan pedesaan yang terlihat kian damai. Meskipun sinar terlihat cukup terik, masih banyak orang lalu lalang yang berburu matahari.
Mendekati Kota Versailles, pemandangan berubah drastis. Rel kereta api berkelok-kelok mengikuti kontur gunung-gunung dan ladang yang membuat mata kian tergiur. Kecepatan kereta pun sesekali diperlahan ketika gerbong TGV melewati jembatan besi yang melintas sungai.
Permukaan air yang tenang dan memantulkan warna keperakan mau tak mau membawa ilusi tentang alam desa yang damai. Tak berselang lama, jalan kereta melambat, menandakan ketibaan saya di stasiun Marseille Saint Charles, yang merupakan stasiun kereta api utama Marseille.
Imigran
Wajah Marseille memang begitu beragam. Penyebabnya, tak lain adalah imigran. Warga keturunan Arab, Italia, Afrika Utara, China, India, dan Turki mudah ditemui di kota berpenduduk 850 ribu jiwa tersebut. Bahkan di sudut-sudut kota, komunitas yang khas silih berganti.
Awalnya, saya sempat merasa berada di permukiman imigran Muslim yang ditandai dengan banyaknya mushala dan toko buku Islam. Namun, tak lama kemudian suasana seperti berubah laiknya berada di permukiman imigran Nasrani yang ditandai dengan gereja- gereja tua.
Keanekaragaman di Marseille pun seakan ingin membuktikan kota itu terbuka bagi pendatang dari mana pun sejak dahulu. Menurut catatan sejarah, komunitas Muslim yang pertama kali datang ke Marseille adalah para pedagang, atau saudagar Turki dan Arab sekitar 1906.
Namun, mereka tidak berniat untuk tinggal dalam waktu lama di Marseille. Menurut Black France: Colonialism, Immigration, and Transnationalism, karya David Thomas, gelombang imigran meningkat pesat setelah Perang Dunia I dan II, karena dibutuhkan Prancis sebagai tenaga kerja.
Para imigran lalu menetap hingga era sekarang. Karena itulah Marseille kini dianggap sebagai "kampung"-nya pendatang di Prancis. Kampung yang juga menjadi tempat anak-anak imigran tumbuh besar, termasuk bagi sang legenda sepak bola mereka, Zinedine Zidane.
Bersambung...