Sukses


Spirit Jepang: Antara Sepak Bola dan Semangat Berlari Kencang

Bola.com — Peluh masih bercucuran dari tubuh kurus bocah itu saat ia masuk ke dalam kamarnya. Handuk lusuh yang dikalungkan di lehernya sesekali diusapkan ke wajah untuk membersihkan keringat sehabis bermain sepak bola. Meski diselimuti rasa lelah, matanya tertuju ke secarik kertas di atas meja.

"Impian Saya untuk Masa Depan." Demikian bocah itu menuliskan judul di atas kertas tersebut. Matanya menerawang. Sesekali ia melirik ke arah bola di sudut ruangan. Ia lalu menghela napas panjang sebelum kembali menuliskan mimpi besarnya, yang beberapa di antaranya kini telah menjadi kenyataan. 

Untuk menjadi pemain terbaik di dunia, aku harus berlatih keras daripada orang lain. Itulah mengapa aku berlatih dengan keras saat ini. Aku memang bukan pemain yang bagus. Namun, aku akan berlatih keras dan menjadi pemain terbaik di dunia. Saat menjadi pemain terbaik di dunia, aku ingin kaya raya dan membantu kedua orangtua.

Aku ingin terkenal di Piala Dunia dan bermain untuk klub Serie-A. Lalu, aku ingin bermain reguler dan mengenakan seragam bernomor punggung 10. Aku ingin digaji sebesar 4 miliar yen per tahun. Aku juga ingin tampil di turnamen yang selalu mendapat perhatian dunia setiap empat tahun sekali, yaitu Piala Dunia.

Setelah bermain dengan baik di Italia, aku ingin kembali ke Jepang dan bertemu Federasi Sepak Bola Jepang untuk memberikanku nomor punggung 10. Aku ingin menjadi figur utama Jepang. Aku ingin mengalahkan Brasil dengan skor 2-1 pada final Piala Dunia. Impianku bermain bersama saudaraku, Hiroyuki Honda, di klub terkuat, saling memberikan umpan, dan mencetak gol dalam pertandingan.

-- Keisuke Honda --

Keisuke Honda menuliskan impian tersebut saat berusia 13 tahun, atau tepatnya pada Maret 1999. Menjadi figur utama pesepak bola di Jepang, bermain di ajang Piala Dunia, mengenakan nomor punggung 10, serta berkarier di Italia. Kiranya empat mimpi Keisuke Honda itulah yang telah menjadi kenyataan. 

18 tahun berselang. Kini, Keisuke Honda berada di pungujung karier. Usianya sudah kepala tiga. Pada Senin (22/5/2017), ia mengonfirmasi, bakal berpisah dengan AC Milan. Di San Siro, Keisuke Honda mengoleksi 11 gol dan 14 assist dari 91 laga, serta mempersembahkan trofi Piala Super Italia.

Keisuke Honda dan Mario Balotelli saat masih berkarier dengan AC Milan pada pertandingan melawan Bologna, di Stadion San Siro, 14 Februari 2014. (Sky Sports).

Keisuke Honda adalah salah satu contoh kesuksesan para pesepak bola Jepang yang berkarier di Eropa. Selain Honda, sebut saja sang legenda, Hidetoshi Nakata, atau Shinji Okazaki yang kini berkarier bersama Leicester City di Premier League. Di level klub, prestasi mereka bisa dibilang luar biasa. Namun, bagaimana peran besar mereka mengantarkan tim nasional Jepang unjuk gigi di level dunia?

Dalam hal ini, prestasi Jepang dalam ajang Piala Dunia 2010 Afrika Selatan dapat dijadikan acuan. Meski kalah 3-5 lewat adu penalti dari Paraguay pada babak perempat final, permainan Keisuke Honda dan kawan-kawan dalam turnamen tersebut meninggalkan kesan manis di mata masyarakat Jepang.

Suporter tim nasional Jepang saat mendukung tim kesayangannya pada ajang Piala Dunia 2014. (AFP).

Toh, tampil pada perempat final Piala Dunia 2010 merupakan prestasi tersendiri bagi Jepang. Pada 2002, mereka lolos ke babak yang sama, sebelum dihentikan Turki. Namun, ketika itu, mereka melakukannya di tanah airnya sendiri. Prestasi Jepang pun tenggelam oleh keperkasaan Korea Selatan yang melenggang sampai semifinal.

Di Afrika Selatan, Jepang dapat dikatakan membayar "dosa" kegagalan total pada ajang Piala Dunia 2006. Sebelum dikalahkan Paraguay di Pretoria, Jepang juga tampil memesona karena sukses mengalahkan Denmark dan Kamerun, meski kalah tipis dari Belanda.

Ketika itu, Jepang kiranya menumbangkan asumsi banyak pakar, pemain Asia masih sulit mengimbangi agilitas dan kecepatan pemain Eropa dan Amerika Latin. Justru melawan Paraguay, Jepang boleh dikatakan jauh lebih dominan di lapangan. Serbuan Honda, Endo, dan Matsui, pun membuat barisan pertahanan Paraguay lintang pukang.

Pada akhirnya, kegagalan Yuichi Komano mengeksekusi penalti dan Jepang tersingkir itu persoalan lain karena spirit olahraga yang selama ini didegung-degungkan negara berpenduduk 127 juta jiwa tersebut jauh lebih penting. Spirit yang juga berlaku dalam setiap lini kehidupan masyarakat Jepang, yakni "Kemenangan bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting proses dan perjuangan meraihnya."

Proses dan perjuangan. Dua kata itulah yang pada akhirnya menjadi kunci utama keberhasilan Jepang. Tidak hanya dalam dunia olahraga ataupun sepak bola, tetapi juga di seluruh lini kehidupan masyarakat di sana. Bagi masyarakat Jepang, kerja keras adalah hal fundamental. Toh, berbagai keberhasilan mereka sekarang berasal dari peluh keringat upaya bangkit dari kehancuran luar biasa setelah Perang Dunia II.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 2 halaman

Puing Perang

Kehancuran Jepang memang kian hebat setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945. Kondisi beberapa wilayah di Jepang menjadi mengerikan. Tumpukan debu-debu menyelimuti daratan. Desa-desa dipenuhi puing reruntuhan rumah dan bangunan. Puluhan juta warga miskin telantar, anak-anak kecil mengais-ngais mencari makan.

Penulis asal Amerika Serikat, Dennis B. Smith dalam Japan Since 1945: The Rise of an Economic Superpower menuliskan, bom atom AS yang dijatuhkan di wilayah Hiroshima menewaskan lebih dari 120.000 orang, sementara bom di Nagasaski menewaskan 75.000 jiwa. Jumlah ini belum ditambah warga setempat yang tewas akibat radiasi serta luka bakar setelah kedua bom tersebut dijatuhkan.

Kondisi kota Hiroshima setelah dibom tentara Sekutu pada 1945. (The History).

Total, tentara Sekutu menjatuhkan bom ke 66 kota di Jepang. Selain Hiroshima, Tokyo pun menjadi sasaran. Bahkan, artikel The Economist edisi 5 Agustus 1995 menyebutkan, warga yang tewas akibat bom tentara Sekutu di Tokyo lebih banyak daripada di Hiroshima. Kala itu, jumlah warga di Tokyo yang tewas diperkirakan mencapai 400.000 orang.

Improving Economic Equality and Health: The Case of Postwar Japan karya Tsukasa Namekata (2012), menyatakan, harapan hidup di Jepang setelah Perang Dunia II sangat rendah. Dari lima negara, AS, Inggris-Wales, Norwegia, dan Swedia, Jepang berada di tingkat paling rendah dalam kategori harapan hidup pasca-perang.

Berbagai peristiwa itu pada akhirnya membuat Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Jepang kemudian sepakat menandatangani perjanjian Postdam, yang salah satu poinnya menyatakan, Sekutu sepenuhnya berhak mengambil alih pemerintahan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.

Salah satu headline koran yang mengabarkan Jepang menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu pada 1945. (Worldwar2facts.org).

Akan tetapi, kebijakan AS yang menyesuaikan situasi dan kondisi internasional membuat perekonomian Jepang justru perlahan membaik. Jenderal Douglas McArthur, yang ditugaskan memimpin kependudukan Sekutu di Jepang, mereformasi dan mengatur Jepang sesuai dengan kebijakan dan kepentingan AS.

Tentu peningkatan pesat perekomian Jepang setelah perang tidak hanya dilatari kebijakan-kebijakan yang dibuat AS. Meminjam bahasa pengamat ekonomi asal Filipina, Benigno Valdes, dalam jurnal An Application Convergence Theory to Japan's Post-WWII Economic Miracle, faktor kateristik masyarakat Jepang pun berperan besar terhadap kesuksesan Jepang bangkit dari puing-puing perang. 

Bersambung...

Baca: 2Spirit Jepang: Keajaiban Ekonomi dan Proyek Besar Olahraga

Sumber: Berbagai sumber

Suporter tim nasional Jepang saat mendukung tim kesayangannya pada ajang Piala Dunia 2014. (AFP).

Saksikan cuplikan pertandingan dari Liga Inggris, La Liga, Liga Champions, dan Liga Europa, dengan kualitas HD di sini

Video Populer

Foto Populer