Bola.com — Di Brasil, sepak bola adalah jalan hidup untuk membuktikan keberadaan mereka atas kedigdayaan bangsa Eropa. Jika sebagian besar anak di Eropa memainkan sepak bola dengan tiang-tiang gawang besi, di Brasil, para bocah sudah merasakan kegembiraan luar biasa meski hanya memainkan bola yang sudah kusam di sudut jalan, dengan tiang terbuat dari batu, serta tanpa alas kaki.
Advertisement
Baca Juga
Komentator sepak bola asal Brasil, Osmar de Oliveira, pernah mengatakan, "Di Brasil, sepak bola sama pentingnya dengan persoalan hidup dan mati."
Ucapan Osmar bukan tanpa alasan. Jika menarik garis sejarah kehidupan masyarakat Amerika Latin, bisa dibilang kedatangan bangsa Eropa adalah awal dari kehancuran nenek moyang mereka.
Sejarah mencatat, pada 1492, kedatangan Christopher Columbus ke Benua Amerika bertepatan dengan periode Reconquista (penaklukan kembali) di Spanyol. Kala itu, penduduk asli Amerika (Indian) terkena imbas, karena orang-orang Spanyol menganggap praktik agama suku Indian sebagai kegiatan sesat.
Oleh karenanya, di bawah Pengadilan Inquisisi yang dipimpin Ratu Isabella I asal Castile, banyak penduduk asli Amerika yang disiksa dan tewas mengenaskan. Pada 1985, tiga orang Indian, perwakilan suku Aymara dan Kechua, mengirimkan surat kepada Paus Yohanes Paulus II, yang sedang melakukan kunjungan ke Peru.
"Sesungguhnya dengan kedatangan Christopher Columbus, di Amerika dipaksakan suatu kebudayaan, bahasa dan agama serta nilai-nilai yang hanya cocok untuk orang Eropa saja," demikian salah satu isi surat tersebut.
Selama ratusan tahun, penduduk asli Amerika merasakan penindasan. Rubert Hume, dalam karyanya Christopher Columbus and the European Discovery of America, mengambarkan secara rinci bagaimana penderitaan hidup masyarakat Amerika yang diperlakukan tidak manusiawi pada periode 1500-an.
Berdasar keterangan Antonio de Montesinos, biarawan asal Dominika, Hume menceritakan, banyak penduduk asli Amerika lebih memilih bunuh diri secara masal, daripada harus menggali dan mencuci emas setiap hari. Potret kelam ini terus mengiringi sejarah perkembangan kehidupan masyarakat Amerika Latin.
Pada akhirnya, sepak bola menjadi salah satu jalan untuk keluar dari penderitaan kultural, religius, dan sosial yang dibuat bangsa Eropa. Dengan sepak bola, mereka yang hidup di kalangan bawah, bisa merasakan permainan penuh kebebasan.
Oleh karenanya, banyak negara Amerika Latin, termasuk Brasil dan Argentina, menganggap, sepak bola adalah jalan hidup dan sama pentingnya dengan budaya serta agama. Hal itu pun menjadi salah satu faktor keberhasilan bintang top, seperti Diego Maradona, Pele, hingga Lionel Messi menjadi legenda.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kalah
"Sama seperti ayah, saya tidak suka kalah. Kata itu tidak ada dalam daftar hidup saya," kata bintang tim nasional Brasil, Neymar, dalam Neymar - The Authorised Biography karya Mauro Beting dan Ivan More.
"Saya selalu mencoba memberikan yang terbaik dan membuat para penggemar bahagia. Saya akan mengambil tanggung jawab dan tidak akan pernah menyembunyikannya," penyerang 25 tahun itu menambahkan.
Neymar merupakan gambaran umum pesepak bola asal Brasil yang berhasil menjadi bintang dunia. Masa kecilnya tidak dipenuhi kemewahan. Ia juga tidak bisa membeli sepatu sepak bola mahal, atau bermain sepak bola di lapangan rumput. Dalam Neymar - The Authorised Biography, ia hanya bermain bola di dalam rumah.
"Matras (tempat tidur) adalah lapangan dan baju-baju saya tumpuk menjadi satu untuk dibuat seperti bola. Pertandingan kemudian dilakukan di kamar bersama kakak saya," ungkap Neymar, saat mengenang "pertandingan" sepak bola pertamanya di Brasil.
Puluhan tahun berselang, bocah yang sempat hampir tewas karena kecelakaan mobil itu menggegerkan dunia persepakbolaan setelah memutuskan hijrah ke PSG, Kamis (3/8/2017). Tidak tanggung-tanggung, Neymar meninggalkan Barcelona, klub yang memiliki sejarah serta reputasi bagus di dunia.
Neymar menjadi pemain termahal dunia. PSG menggelontorkan dana 222 juta euro (Rp 3,7 triliun) untuk melunasi klausul pelepasan Neymar. Namun, apakah ambisi menjadi pesepak bola termahal dunia menjadi satu-satunya alasan Neymar hengkang ke PSG? Tentu tidak. Banyak faktor yang mendasari keputusan Neymar. (Baca: PSG, Neymar, dan Sepak Bola yang Tak Lagi Rasional)
Satu di antaranya adalah ambisi pribadi yang terbentuk dari faktor sejarah masyarakat Brasil. Bagi setiap pesepak bola Brasil, gelar individual, termasuk Ballon d'Or, amatlah berarti. Bahkan, gelar tersebut sama besarnya dengan hadiah kelahiran bagi setiap insan di negara berpenduduk 200 juta jiwa tersebut.
Pengamat sepak bola Brasil, Tim Vickery, yang juga mengikuti perkembangan karier Neymar sejak dini, mengakui hal itu. Menurut dia, amatlah wajar jika para pemain Brasil akan saling bersaing satu sama lain demi mendapatkan gelar individual.
"Sepak Bola Brasil telah menjadikan hal ini sebagai tujuan utama mereka. Ini satu di antara beberapa alasan mereka banyak 'melahirkan' para pemain bintang," kata Vickery.
Oleh karenanya, tidak mengherankan jika para legenda sepak bola Brasil, seperti Ronaldo, Rivaldo, hingga Romario, berjuang mati-matian di level klub dan timnas untuk meraih prestasi individual. Neymar pernah berada dalam lingkaran tersebut. Namun, ia kalah bersaing dengan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, pada 2015.
Lionel Messi. Pada akhirnya, nama bintang Argentina itulah yang dianggap menjadi salah satu alasan Neymar memutuskan hengkang dari Barcelona. Neymar ingin lepas dari bayang-bayang Messi, yang kiranya hingga pensiun pun akan menjadi legenda hidup La Blaugrana.
Keputusan Neymar hijrah dari Santos ke Barcelona jelas bukan tanpa alasan. "Messi adalah idola dalam sepak bola. Saya berada di sini hampir empat tahun, dan saya banyak belajar darinya. Saya belajar segala hal, bagaimana menendang bola, tampil di lapangan, dan mengolah bola," tutur Neymar.
Sederhananya, bersama Barcelona, Neymar bisa memenangi banyak gelar. Namun, jika ingin mengambil alih "posisi" Messi, Neymar sadar hanya akan akan gigit jari. Toh, logika sehat mengatakan, Neymar kiranya bisa lebih sabar menunggu. Neymar baru berusia 25 tahun, sedangkan Messi dan Ronaldo sudah memasuki usia 30 tahun.
Empat tahun ke depan, ketika Messi dan Ronaldo berada pada masa "senjakala", Neymar masuk ke usia emas pesepak bola. Namun, mengapa Neymar terkesan buru-buru hengkang dari Barcelona? Untuk menjawabnya, kiranya ucapan Neymar pada paragraf awal sub judul kedua artikel ini bisa menjadi bahan pertimbangan.
Advertisement
Menang
Alex Bellos, dalam karyanya Futebol: The Brazilian Way of Life menuliskan judul bab ke-14: We Lost Because We Didn't Win (Kami kalah, karena kami tidak ingin menang). Bab tersebut membahas bagaimana klub-klub Brasil berusaha semaksimal mungkin menjadikan pemainnya sebagai bintang dunia.
Bellos pun menggambarkan, kegilaan Brasil terhadap sepak bola seakan menggembalikan situasi zaman perbudakan, ratusan tahun silam. Pada akhirnya, uanglah yang berbicara dan hal tersebut pula yang dapat membuat sepak bola terus bertahan di tengah inflasi ekonomi dunia yang terus meningkat tajam.
Transfer Neymar ke PSG adalah contoh teranyar. Lumrah? Tentu saja. Tidak rasional? Itulah konsekuensi. Toh, sampai kapan pun, anekdot lama dalam dunia sepak bola tetap berlaku. Segalanya dapat terjadi dan segala kemungkinan bisa menjadi kenyataan. Inilah mengapa orang-orang dipelosok dunia mengenal sepak bola.
Terlepas dari bagaimana sepak bola bertransformasi, fakta sejarah tetap mengambil porsi penting dalam perjalanannya. Keberhasilan Lionel Messi menjadi ikon sepak bola dunia hingga keputusan Neymar hengkang demi mengejar ambisi pribadi, adalah bukti potret buram sejarah Amerika Latin bangkit dari penderitaan terus terpatri.
Toh, jika kembali bicara soal sejarah, Barcelona seharusnya sudah bisa menebak hasil akhir apa yang akan mereka peroleh setelah merekrut bintang Brasil itu dari Santos pada 2013. Buktinya, mendiang Johan Cruyff hanya menggelengkan kepala saat mendengar kabar Barcelona memboyong Neymar, yang sudah dianggap sebagai calon bintang masa depan.
Sembari mengernyitkan dahi, sosok yang menjadi benang merah tiki-taka milik Barcelona itu hanya melontarkan kalimat singkat, "Saya tidak akan menempatkan dua kapten di perahu yang sama. Kita harus banyak belajar dari masa lalu."
Sumber: Berbagai sumber