Bola.com, Jakarta - “Jangan menangis, Kekasihku… Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah, kita dapat bertahan terhadap derita, pahitnya kesedihan, dan duka,"
Romantis?, tentu saja. Ketika bercerita tentang Paris, saya selalu terbayang romansa cinta yang tak pernah lekang. Bagaimana tidak, berada di Paris seolah menjadi mimpi bagi setiap pasangan yang sedang dimabuk asmara.
Advertisement
Bukan tanpa alasan jika merajut hati di kota mode tersebut menjadi impian. Tanpa nestapa dan selalu banyak ornamen cinta di sana. Tak sekadar mode, ragam seni menjadi magnet yang tak biasa, membua siapa saja akan mudah terlena, lalu tak ingin menghapus memori dari sang ibukota.
Lalu apa kaitannya dengan olahraga, terutama sepak bola?. Sebelum mengarah ke sana, pesona seseorang bernama Kahlil Gibran menjadi bingkai yang tak bisa lepas begitu saja dari Paris. Maklum, sang pujangga cinta pernah merasakan aroma asmara di sana, meski tak dinyana gagal ketika sudah di depan mata.
Yup, Kahlil Gibran mengenal dunia cinta nyata ketika menimba ilmu di Paris, di sebuah sekolah seni, tempatnya mengekspresikan diri dari sisi visual ilustrasi dan instalasi. Tapi, sesungguhnya di sana-lah terbersit harapan kala memenangkan 'negosiasi' hati dengan sosok wanita cantik, yang usianya 10 tahun lebih tua, Mary Elizabeth Haskell. Berkat Mary Haskell pula, karya-karya seni seorang Kahlil Gibran bisa mendapat atensi.
Perjalanan mimpi itu pula yang dirasakan fans Paris Saint-Germain (PSG) pada medio 2011. Kala itu, deretan bangsawan asal Timur Tengah datang, lalu bernegosiasi dengan membawa mimpi besar, yakni menjadikan PSG sebagai tim terbesar, tak hanya di pentas Ligue 1 melainkan juga di panggung Liga Champions Eropa.
Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang, melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh
Sosok Nasser Al-Khelaifi menjadi pembuka asa jutaan fans Les Parisiens. Maklum, kala itu PSG nyaris tak memiliki taji lagi, terutama di level Eropa setelah tak ada lagi penerus usai era Rai Oliveira, George Weah, Patrice Loko, dkk.
Kehadiran Nasser Al-Khelaifi memberi warna tersendiri, dan berharap Parc des Princess benar-benar menjadi panggung 'menari' dari para pangeran di jagad sepak bola. Sebuah harapan yang terasa mulus di awal.
Tak butuh waktu lama bagi Nasser Al-Khelaifi guna 'mengguncang' dunia. Ia langsung menyebar uang guna menangkap pemain seperti Kevin Gameiro, Jeremy Menez, Blaise Matuidi, Mohamed Sissoko, kiper Salvatore Sirigu, gelandang Javier Pastore, Diego Lugano, Maxwell, bek tengah Alex dan gelandang asal Inter Milan, Thiago Motta.
Setahun kemudian, tepatnya pada periode musim 2012-2013, Nasser Al-Khelaifi menggeber anggaran lagi guna mendatangkan sederet bintang bermagnet tinggi, tak hanya di dalam lapangan melainkan juga di luar pertandingan alias punya gaya hidup istimewa. Saat itu, Pelatih Carlo Ancelotti kedatangan Zlatan Ibrahimovic dan David Beckham.
Duo pesohor di dalam dan luar lapangan tersebut melengkapi kedatangan Thiago Silva dari AC Milan, Marco Verratti dari Pescara, Gregory van der Wiel dari Ajax Amsterdam dan Lucas Moura dari Sao Paulo.
Puncak dari segala rancangan mimpi terjadi pada awal musim panas tahun lalu. Bagaimana tidak, PSG menggoyang jagad bursa transfer pemain kala mendatangkan Neymar dari Barcelona. Nilainya tak tanggung-tanggung, yakni menembus angka Rp3 triliun.
Nasser Al-Khelaifi melalui Qatari Sports Investment terus menebar pesona cinta kepada fans PSG. Lagi-lagi, PSG melakukan tindakan di luar perkiraan banyak orang, yakni berhasil mendapatkan tanda tangan bintang muda Timnas Prancis, Kylian Mbappe.
Musim ini, status Mbappe masih pinjaman. Tapi, saat masuk ke kompetisi 2018-2019, statusnya adalah pemain dengan harga Rp2,88 triliun. Tak heran jika pada tahun ke-6 masa kepemimpinan Nasser Al-Khelaifi, Parc des Princes selalu beraroma khas seorang pangeran; gagah, berada di atas, produktif, tanpa ampun terhadap lawan dan yang pasti selalu 'seksi' bagi musuh.
Sejumlah pengorbanan materi tersebut menjadi bagian dari rencana Nasser Al-Khelaifi agar PSG bisa merajai kawasan Eropa. Maklum, selain musim lalu, PSG tampil dominan dan seolah tak ada pesaing. Begitu juga musim ini, yang menunjukkan sisi ketidakberdayaan klub-klub lain dalam mengejar kualitas permainan PSG.
Tapi sayang, hal itu hanya ada di kompetisi domestik. Kenyataan berbeda terjadi di dunia Eropa. Mimpi, harapan dan akhir dari romansa tak terealisasi. Ambisi Nasser Al-Khelaifi kala mendatangkan Neymar, Kylian Mbappe, Dani Alves plus Yuri Berchiche, lagi-lagi menghadapi jalan buntu.
Para 'pangeran' lapangan hijau asal Paris kalah dalam peperangan di pentas 16 Besar Liga Champions musim ini. Mereka tersingkir dari barisan 'pangeran' Bernabeu yang dipimpin Cristiano Ronaldo. Tak main-main, PSG tersingkir secara menyakitkan, yakni dua kali kalah, baik di Bernabeu maupun di Parc des Princes.
Walhasil, ambisi besar Nasser Al-Khelaifi guna meraih trofi Liga Champions tak kesampaian lagi. Padahal, pria asal Qatar tersebut sudah menggelontorkan lebih dari 1 miliar euro atau sekitar Rp16 triliun (kurs 1 euro = Rp16.000) guna membeli pemain sejak datang pada 2011.
Sekadar catatan, sebenarnya pada musim ini semua berjalan sesuai rencana. PSG tampil menawan sepanjang fase grup. Berbekal skuat 'mewah', PSG tampil agresif dengan mengumpulkan 25 gol, sekaligus membuat mereka berstatus juara Grup B. Saat itu, harapan PSG adalah bersua Porto atau Shakhtar Donetsk.
Sayang, 'kecelakaan' yang menimpa Real Madrid membuat seluruh asa PSG sirna. Hasil undian menakdirkan PSG bersua Real Madrid pada fase 16 Besar, sesuatu yang dianggap para pemerhati sepak bola sebagai final dini, sama seperti Chelsea bersua Barcelona.
Kini, Nasser Al-Khelaifi sepertinya tengah menyusun kembali rencana matang untuk tahun depan. Beberapa pemain bintang sudah dibidik, termasuk rancangan membeli pesepak bola yang bersinar di Piala Dunia 2018.
Namun, sebelum itu terjadi, sepertinya Nasser Al-Khelaifi harus belajar dari Roman Abrahmovich. Pemilik Chelsea tersebut sudah membuktikan gelontoran uang bukan menjadi jaminan meraih sebuah prestasi di level Eropa, apalagi setingkat Liga Champions.
Sekadar catatan, selama menjadi pandega PSG, Nasser Al-Khelaifi sudah menciptakan status termahal pada beberapa pesepak bola. Selain Neymar, Zlatan Ibrahimovic dan Kylian Mbappe, PSG pernah membeli dengan harga selangit sosok Edinson Cavani, Angel Di Maria, David Luiz, Thiago Silva, Javier Pastore, Lucas, Julian Draxler, Marquinhos, Gonçalo Guedes, Ezequiel Lavezzi, Grzegorz Krychowiak, Yohan Cabaye, Jese, Layvin Kurzawa dan Lucas Digne.
Roman Abramovich membangun Chelsea dari nol alias datang dengan kewajiban membayar tagihan utang The Blues. Ia juga berani pola pinjaman lunak sebesar 709 juta pounds atau sekitar Rp12,7 triliun guna mengembangkan Chelsea menjadi klub raksasa.
Namun, semua itu tak bisa instan. Abramovich baru bisa mengenyam trofi Liga Champions setelah menunggu delapan tahun dari sejak kali pertama dirinya datang ke Stamford Bridge. Butuh kerja keras, jeli memilih pelatih, likuiditas tinggi dan memberi kepercayaan penuh kepada jajaran direksi, agar bisa membawa sebuah tim, dengan energi instan, berjaya di Liga Champions.
Sepertinya, Nasser Al-Khelaifi dan jajarannya harus melakukan hal tersebut; sabar, determinasi dan penuh cinta. Setidaknya, Nasser Al-Khelaifi mampu terus memberi warna demi fans PSG.
Jika Nasser Al-Khelaifi konsisten melakukan rencana, fans pasti bakal terus di belakang Chairman beIN Media Group tersebut. Walhsil, meski tak kunjung menjadi jawara Eropa, sama seperti harapan seorang Kahlil Gibran yang tak pernah jadi kenyataan tentang Mary Haskell dan May Ziyadah, setidaknya PSG selalu memertontonkan barisan pangeran yang menghibur di Parc des Princes.
Andai Kahlil Gibran masih bersekolah di Paris, bisa saja dia mengirim pesan ini sebagai ungkapan perasaan para fan PSG. “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Orang terkuat bukan mereka yang selalu menang, melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh,"
Salam