Bola.com — Roma. Namanya kian abadi di telinga kita. Di kota berpenduduk 3,9 juta jiwa itu, tidak melulu dipenuhi romansa pelancong-pelancong muda, tetapi juga banyak kisah indah, mulai dari romantisme sejarah, perebutan kekuasaan demi harta, hingga urusan sepak bola yang hingga kini menjadi idola.
Advertisement
Baca Juga
Roma memang bukan sekadar kota biasa. Roma adalah "pusat dunia", tempat ilmu hukum, seni liberal, dan ilmu pengetahuan menyebar ke seluruh wilayah jajahan Romawi yang namanya begitu melegenda.
Satu di antara buktinya, sejarah mencatat, pengakuan akan kedaulatan rakyat sudah muncul di Roma, pada 450 SM. Pada masa itu sudah pula dikenal istilah hakim dan senat sebagai anggota lembaga legislatif yang kemudian menjadi cikal bakal praktik pemerintahan demokrasi di dunia.
Jadi, wajar pula jika Roma disebut sebagai "Kota Abadi". Di sanalah sungai sejarah mengalir tanpa henti, tanpa pernah dihentikan untuk kepentingan pengabsahan sebuah rezim, untuk kepentingan tertentu. Lihatlah Colosseum, monumen Roma kuno yang sangat terkenal itu, yang kini menjadi simbol keabadian.
Toh, Venerable Bede, seorang pengelana dari Inggris pernah mengatakan, "Selama Colosseum masih berdiri tegak, selama itu pula Roma berdiri; ketika Colosseum runtuh, Roma pun runtuh, tatkala Roma jatuh, dunia pun akan runtuh."
Ya, dari Colosseum jugalah, kita bisa menyaksikan perjuangan manusia untuk menggapai mimpi besarnya. Meski sebagian besar merupakan budak atau tahanan, para manusia yang biasa disebut gladiator itu adalah sukarelawan yang mempertaruhkan kehidupan sosial dan nyawa demi tujuan: cinta dan harta.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Semangat Pantang Menyerah
10 April 2018, Stadio Olimpico, Roma.
Berabad-abad setelah pertarungan gladiator di Colosseum tidak lagi diselenggarakan, pertempuran lain terjadi di Kota Roma, tepatnya Stadio Olimpico. Klub kebanggaan Ibu Kota Italia, AS Roma, tengah berusaha lolos dari maut menghadapi raksasa sepak bola Eropa, Barcelona.
Di ruang ganti tim tuan rumah Stadio Olimpico, Eusebio Di Francesco memberikan instruksi sebelum pertandingan, para penggawa AS Roma terlihat berapi-api ketika memasuki lapangan. Entah apa yang dikatakan oleh Di Francesco saat itu, tetapi Daniele De Rossi dan kawan-kawan memasuki Olimpico dengan siap menyongsong maut.
Padahal, Serigala Ibu Kota mengusung misi hampir mustahil untuk lolos ke semifinal Liga Champions 2017-2018. Bagaimana tidak, mereka takluk 1-4 ketika bertandang ke markas Barcelona di Stadion Camp Nou satu pekan sebelumnya.
Berdasarkan catatan UEFA, kekalahan 1-4 di kandang lawan pada laga leg pertama terjadi dalam 48 kesempatan. Dari jumlah tersebut, hanya delapan di antaranya yang mampu bangkit dan membalikkan keadaan.
Akan tetapi, para penggawa AS Roma tidak memedulikan catatan tersebut. Meski jarang, toh catatan membuktikan ada delapan yang mampu membalikkan keadaan. Selain itu, mereka sadar kemungkinan meraih trofi hanya di Liga Champions karena di Serie A tertinggal jauh dari Juventus dan Napoli.
Hasilnya, perengkuh tiga Scudetto tersebut mampu tampil beringas sejak menit pertama. Serangan demi serangan mereka lancarkan ke gawang Barcelona yang dijaga Marc-Andre ter Stegen. Kalah menang urusan belakang, yang penting berusaha terlebih dulu.
Pertandingan baru berjalan enam menit ketika Edin Dzeko membuat Stadio Olimpico bergemuruh. Pemain yang sempat digosipkan bakal pindah ke Chelsea pada Januari lalu itu melihat celah di lini belakang Barcelona dan sukses menceploskan bola ke gawang yang dijaga Ter Stegen.
Hiruk pikuk di Stadio Olimpico sedikit berkurang ketika babak pertama usai karena tim tuan rumah tidak kunjung menambah angka. Entah apa yang ada di pikiran Romanisti saat itu, antara percaya bisa menyingkirkan Barcelona dan pesimis skor 1-0 akan bertahan hingga laga usai, sedangkan AS Roma butuh kemenangan 3-0 untuk lolos ke semifinal.
Entah apa yang diucapkan Di Francesco atau De Rossi saat jeda, AS Roma kembali bermain agresif pada awal babak kedua. Sekitar 10 menit setelah jeda, Dzeko dijatuhkan di kotak terlarang.
Kapten sekaligus putra asli Kota Roma, De Rossi, maju sebagai eksekutor. De Rossi yang menjadi pesakitan setelah mencetak gol bunuh diri di Camp Nou sukses membayar lunas dosanya itu setelah mencatatkan nama di papan skor.
Menjelang laga usai, para pendukung AS Roma yang hadir di Stadio Olimpico terus melirik ke jam tangan masing-masing sembari berharap satu gol tambahan tercipta. Maklum, mereka hanya butuh satu gol untuk lolos ke semifinal Liga Champions untuk kali pertama sejak perubahan format.
Memasuki menit ke-82, Cengiz Under melakukan penetrasi dari sisi kiri pertahanan Barcelona. Melihat banyak rekan satu timnya di kotak penalti lawan, Under mengirimkan umpan silang yang sejatinya ditujukan untuk Dzeko.
Namun, takdir berkata lain. Pesakitan lain pada laga leg pertama, Kostas Manolas, menjadi penentu kelolosan I Giallorossi. Manolas menyundul bola umpan Under ke gawang Barcelona dan mencatatkan nama di papan skor.
Stadio Olimpico bergemuruh ketika wasit meniup peluit tanda pertandingan berakhir delapan menit berselang. AS Roma yang selama ini menjadi pesakitan di kompetisi Eropa mampu mengangkat kasta sosial mereka dengan menyingkirkan kupu-kupu Iberia, Barcelona.
Advertisement
Gladiator AS Roma
Sepak bola Italia memiliki sejarah luar biasa ketika tengah berada dalam kondisi terjepit. Beberapa kali mereka mampu meraih prestasi ketika tengah berada dalam tragedi.
Sebagai contoh, timnas Italia menjadi juara Piala Dunia 1982 dan 2006 ketika tengah berada dalam skandal pengaturan skor. AC Milan mampu memenangi Liga Champions 2006-2007 saat menjalani hukuman akibat kasus Calciopoli.
Pada musim 2017-2018 ini pun, Juventus yang hampir tersingkir dari 16 besar Liga Champions mampu menunjukkan grinta (atau semangat bertarung khas Italia) ketika menyingkirkan Tottenham Hotspur. I Bianconeri bukan satu-satunya kesebelasan Italia yang menunjukkan grinta di Eropa musim ini.
AS Roma membuktikan kepada dunia, sepak bola Italia bukan Juventus semata. Skuat asuhan Eusebio Di Francesco mampu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh Juventus, menyingkirkan raksasa Eropa dan lolos ke semifinal Liga Champions 2017-2018.
Salah satu jurnalis sepak bola ternama di Eropa, Emmet Gates, menulis, AS Roma lolos ke semifinal dengan gaya yang sangat Italia, meraih prestasi dalam kondisi terjepit. Dalam kolomnya, Gates membandingkan pencapaian I Lupi dengan kesuksesan timnas Italia menjuarai Piala Dunia 1982 dan 2006.
Grinta atau semangat khas Italia AS Roma dapat terlihat dari pencetak golnya. Dua dari tiga gol I Giallorossi diciptakan bukan oleh pemain yang terkenal pandai mengolah bola, melainkan pesepak bola yang kerap tampil dengan semangat tinggi.
Benar, apabila berbicara soal skill individu, Daniele De Rossi dan Kostas Manolas tidak berada dalam level yang sama seperti Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo. Bahkan, mereka masih berada di bawah pemain seperti Cengiz Under atau Edin Dzeko.
Akan tetapi, grinta mereka adalah senjata lain AS Roma. Mereka membuktikan, sekadar kemampuan olah bola bukan jaminan untuk meraih kemenangan.
Di sisi lain, AS Roma bukanlah 'budak' atau 'tahanan' yang setiap musim bermain di Liga Champions dan mengincar trofi kejuaraan tersebut seperti Barcelona atau Real Madrid. Mereka lebih seperti gladiator sukarelawan yang mengorbankan kompetisi domestik demi kejayaan Eropa.
Sudah berada dalam fase semifinal, tentu AS Roma tidak ingin pulang dengan tangan hampa. Mereka hampir mustahil meraih gelar dari kompetisi domestik. Apalagi, mereka tinggal berjarak 270 menit dari kesuksesan merengkuh trofi Liga Champions pertama sejak berdiri pada 1927.
Menarik untuk disaksikan, apakah AS Roma sukses melaju ke NSC Olimpiyskiy Stadium di Kiev, Ukraina pada 26 Mei 2018 dan membawa pulang trofi Liga Champions untuk keluarga tercinta, penduduk Kota Roma?
Sumber: Berbagai sumber