UNGKAPAN dan ekspresi apapun sepertinya sudah tak sanggup lagi menggambarkan apa yang disajikan Liverpool pada dini hari tadi. Frasa 'luar biasa', 'sensasional', 'magis' serta sederet hiperbolik lainnya menjadi sanjungan yang pantas bagi armada Merseyside.
Liverpool tadi malam, membuat semua orang, setidanya para pecinta Liga Champions dan Piala Champions, bakal menengok apa yang terjadi pada tiga dekade silam. Langkah Liverpool tadi malam jelas bukan keajaiban yang datang semenjana.
Advertisement
Langkah Liverpool tadi malam adalah buah kerja keras, sama seperti apa yang pernah dilakukan skuat klub asal Yunani, Panathinaikos pada Piala Champions 1970-1971. Selain itu, Liverpool juga mengulangi 'laku luar biasa' yang pernah dicetak Barcelona pada 1985-1986. Kala itu, Barcelona melangkah ke final setelah mampu mengejar skor 0-3 saat bersua jagoan Swedia, IFK Goteborg.
Sayang, Barcelona gagal mengulangi lagi pencapaian tersebut. Sebaliknya, mereka seolah terkena batunya, sekaligus bak jatuh di lubang yang sama, meski dengan skor berbeda. Pada tahun lalu, Barcelona terjatuh ketika menang pada leg 1 dengan selisih tiga gol ke gawang AS Roma.
Pada pertemuan kedua, Barcelona terjerembab, tersingkir sekaligus menanggung malu kala pulang dari Olimpico dengan skor 0-3. Pengulangan nasib di Anfield semakin memertegas mental tak bagus dari skuat Barcelona kala berstatus tandang.
Yup, pada lima musim terakhir, Barcelona tak sanggup berjibaku alias terlihat lemah lungkai ketika bersua AS Roma, PSG, Juventus, Atletico Madrid dan Bayern Munchen. Kelemahan itu pula yang harus dibayar mahal di Anfield.
Magnet 'This is Anfield' bagi tim tamu menjadi realitas yang harus dirasakan Lionel Messi dkk. Bagaimana tidak, nyanyian, seruan suporter, dan sedikit gangguan di hotel khas fans Liverpool, membuat Barcelona tak bisa maksimal.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Tak Masalah Tak Dominan
Seperti biasa, dominan di lapangan, Barcelona tak sanggup mengonversi itu menjadi gol. Alih-alih menjebol jala lawan, mereka justru seperti 'anak kemarin sore' di Anfield. Jelas, bukan karena kualitas Barcelona yang menurun, toh mereka masih sanggup tampil dominan di catatan statistik.
Namun, sepak bola bukan semata dominasi di lapangan, melainkan kemampuan mencetak gol. Itu pula yang ada dalam pikiran Manajer Liverpool, Jurgen Klopp. Sebelum laga, Klopp berharap anak asuhnya bisa mencetak gol cepat.
Sebuah harapan yang di atas kertas, terutama dari para pendukung Liverpool, bakal mustahil. Maklum, dua anggota trisula reguler Liverpool, yakni Mohamed Salah dan Roberto Firmino, tak bisa bermain.
Ketiadaan dua agresor tersebut sempat membuat Klopp pusing. Maklum, kedatangan cedera yang menghampiri dua personel tersebut terbilang mendadak, meski sudah sempat terlihat kala Liverpool menang atas Newcastle United (3-2) di pentas Premier League, akhir pekan lalu.
Bahkan, saking kalutnya, Klopp sampai memanggil pemain muda, Rhian Brewster. Nama Brewster, yang kali terakhir bermain ketika membela The Reds bersua Crystal Palace pada dua tahun silam, menjadi opsi di tengah ketiadaan Salah serta Firmino.
Namun, Klopp sepertinya tahu, nama Rhian Brewster hanya sebatas di bangku cadangan saja. Karena, sesungguhnya Klopp tak memikirkan strategi apapun untuk menampilkan Rhian Brewster.
Maklum, dia sudah punya formasi alternatif, sekaligus memerkuat skuat yang ada. Hal itu bisa terlihat pada sesi latihan terakhir. Meski tertutup, beberapa media masih bisa mendapatkan gambar format baku Mohameds Salah-Roberto Firmino-Sadio Mane, tergambar jelas ke trio 'anyar', yakni Divock Origi, Xherdan Shaqiri dan Sadio Mane.
Nama terakhir menjadi penyeimbang, sekaligus penyuluh agar patron trisula yang sebenarnya masih terus berjalan meski tanpa kehadiran dua sosok asli: Salah dan Firmino.
Advertisement
Bukti Tak Ada Salah
Rumusan baku tanpa Salah justru terbukti tak masalah. Sebaliknya, formasi tanpa Salah mampu menimbulkan masalah besar bagi lini belakang Barcelona. Pola jaringan sporadis, membuat barisan bek berpengalaman milik Barcelona, justru kelimpungan.
Hal itu terjadi tak hanya pada gol pertama, melainkan pada gol ke-2, ke-3 dan terakhir. Bahkan, gol keempat Liverpool ke gawang Barcelona mendapatkan banyak meme. Satu gambaran yang paling menarik adalah meme kalau Gerard Pique dkk terkena 'sihir' permainan Liverpool, sehingga tak menyadari keberadaan Origi yang berdiri bebas untuk menerima umpan Trent Alexander-Arnold.
Terlepas dari itu, permainan Tren Alexander-Arnold mennjadi cerminan penampilan menawan lini belakang Liverpool. Tak seperti pada pertemuan pertama, kali ini kerja keras Virgil van Dijk membuahkan hasil.
Kenapa Van Dijk?. Seperti hasil pada pertemuan pertama, Van Dijk menjadi sorotan tajam. Ia dianggap tak bisa meladeni pertarungan dengan Lionel Messi, dan gagal membaca pergerakan serangan El Barca.
Berkaca dari laga di Camp Nou, Virgil van Dijk 'merelakan' dirinya di tempa bak di kawah Candradimuka. Yup, seharis sebelum laga, Van Dijk terlihat melahap latihan khusus dan terpisah dengan tim pelatih pertahanan. Semua pihak yakin, perlakuan khusus tersebut menjadi senjata mutakhir agar bisa meredam prilaku ganas Lionel Messi, Luis Suarez dan Coutinho.
Performa Lini Belakang
Hal yang menjadi kenyataan. Ketika di depan tak ada masalah saat ketiadaan Salah, pada area belakang muncul frasa 'ada masalah ketika ada Van Dijk'. Hal itu tertuju ke kubu lawan.
Beberapa kali masih terlihat kedodoran, namun hal itu tak menjadi masalah ketika Van Dijk berhasil menjadi koordinator yang baik. Ia mampu menjadi jenderal guna mengarahkan Joel Matip, Andy Robertson dan Trent Alexander-Arnold.
Soliditas lini belakang itu pula yang membuat permainan ofensif Liverpool menjadi nyata. Di kala ancaman datang bertubi-tubi ke gawang Alisson, area depan terus berpikir bagaimana cara menjebol jala Barcelona.
Sebuah pilihan brilian, sekaligus agak riskan, menjadi langkah Jurgen Klopp. Ia berani mengganti Andy Robertson, guna memberi kesempatan kepada Georginio Wijnaldum, menunjukkan kualitas dari area tengah.
Keputusan tersebut sempat mendapatkan tanda tanya. Namun, keberadaan Fabinho membuat semua keraguan tersebut menguap begitu saja. Lini tengah yang biasanya dengan enak menjadi laku area dapur serangan Barcelona, menjadi seimbang kembali.
Hebatnya, insting agresor Wijanaldum menjadi penentu, sekaligus pembuka borok lini pertahanan Barcelona. Gol pembuka murni dari akurasi tembakan ketika menyongsong umpan datang. Sementara itu, gol keduanya membuktikan penempatan diri dan ketajaman kepala, selain faktor umpan 'yahud' dari sisi kanan pertahanan Barcelona.
Kini, fans Barcelona tak sanggup lagi bersorak, berganti derai air mata. Mereka masih tak percaya, pengalaman tahun lalu, kembali terulang lewat drama yang sama. Namun, semua itu berbanding terbalik dengan penggemar Liverpool di seluruh jagad raya.
Advertisement
Magis This is Anfield
Efek teror dari nyanyian You'll Never Walk Alone, yang menggaung sebelum pertandingan, masih memberi sihir hebat. Sebuah kerja keras yang membuahkan performa luar biasa. Setidaknya, agresivitas Liverpool terlihat dari total jarak yang ditempuh Sadio Mane dkk sepanjang 90 menit pertandingan: 112,1 kilometer.
Angka tersebut menjadi satu di antara yang terpanjang pada periode musim ini. Pada sisi Barcelona, daya gerak mereka justru menjadi satu di antara yang paling sedikit untuk musim 2018-2019: 105,4 kilometer.
Satu yang bertahan, Anfield mampu 'konsisten' memberi aroma perjuangan sampai titik penghabisan waktu, sekaligus menunjukkan determinasi si empunya venue. Sepanjang musim ini, kemenangan dramatis sudah menjadi santapan Liverpudlian.
Pada pentas Premier League 2018-2019, Anfield menghadirkan drama saat laga kontra Everton (1-0, 2 Desember 2018), versus Crystal palace (4-3, 19 Januari 2019) dan yang terbaru, kala menaklukkan Tottenham Hotspurs (31/3/2019) dengan skor 2-1, via gol pada menit ke-90.
Selain di liga domestik, Anfield perah menghadirkan 'deg-degan' untuk para penggemarnya ketika bersua Paris Saint-Germain (18/9/2018). Kala itu, Liverpool harus menunggu gol Roberto Firmino pada menit ke-92 agar menuai kemenangan 3-2 di laga pembuka fase grup Liga Champions.
Walhasil, drama di Anfield dini hari tadi membuat kalangan penggemar Liverpool semakin percaya diri. Idiom 'tak ada Salah justru memberi masalah bagi lawan', menjadi hal baru. Bagi Klopp, 'tak ada Salah tetap menjadi masalah', namun seluruh fans The Reds pasti sepakat 'tak ada Salah tak masalah', setidaknya untuk laga tadi malam.
Arti lebih dalam lagi, kemenangan 4-0 atas Barcelona menjadi bayaran setimpal dari kerja keras armada Liverpool sejak akhir pekan lalu. Kini, fans Liverpool tengah menunggu, apakah magis Anfield akan memberi kebahagiaan lagi untuk mereka pada akhir pekan ini?. Kita tunggu.