KOLOM Robert Bala.
Penulis adalah Alumnus Universidad Complutense de Madrid. Pengelola Sekolah Keberbakatan Olahraga San Bernardino (SMARD) Lembata.
Advertisement
SELAMA dua hari, 23-24 Juni 2019, saya memperoleh kesempatan hadir sangat dekat dengan seorang legenda sepak bola asal Argentina dan sosok berjasa bagi klub raksasa Jerman, Bayern Munchen, yakni Martin Demichelis. Pemain menghabiskan waktu 17 tahun bergelut di lapangan hijau ini memang hadir di Indonesia sebagai ‘the legend’ Bayern Munchen.
Ia tak sekedar datang atau menyapa fans Die Roten, julukan Bayern Munchen. Lebih dari itu, ia hadir demi memotivasi anak-anak remaja yang mengikuti seleksi sepak bola dalam program khusus yang dihelat sebuah perusahaan raksasa di bidang asuransi asal Jerman, Allianz.
Sang legenda datang, menyaksikan dan menjadi bagian dari rantai panjang seleksi yang diikuti lebih dari 2 ribu calon, dan hanya 8 pesepak bola muda yang mendapat apresiasi terbang ke Singapura dan Jerman, guna mengikuti 'camp'.
Meski saya hanya hadir sebagai penerjemah, karena Martin Demichelis hanya 'pede' menggunakan bahasa Spanyol, tetapi insting sebagai penulis muncul. Saya mencoba mengais makna tak terungkap ketika ada bersama Martin secara pribadi. Hal yang paling menarik, bagaimana kaitan antara kepribadian dan prestasi dan terutama bagaimana menjadi olahragawan, hal mana tidak saja menjadi cita-cita anak tetapi juga orang tua.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Awal dari Keluarga
Saat melaksanakan tugas sebagai penerjemah, saya memiliki waktu-waktu yang sangat istimewa bersama Martin Demichelis. Di sela-sela waktu senggang, baik saat makan, briefing sebelum kegiatan, maupun saat berada di mobil, saya ungkapkan ke Demichelis, tentang potensi anak-anak Indonesia. Saya bercerita tentang 'kekayaan' potensi Indonesia, mulai dari lomba olimpiade ilmu pengetehuan ataupun bakat-bakat alamiah bermain bola, catur sampai renang.
Saya bercerita, ragam potensi dan berbakat tersebut selalu disanjung-sanjung bak pahlawan saat menjadi juara dunia di level junior. Ucapan singkat saya tersebut ternyata menarik perhatian Martin. Ia lantas bertanya, mengapa prestasi itu redup?
Ternyata, Martin Demichelis juga mengaku heran. Ia melanjutkan tanda tanya yang ada di kepalanya, mengapa Indonesia dengan penduduk 250 juta tidak sanggup memilih 11 pemain yang mampu membawa timnas lolos ke Piala Dunia? Meski pertanyaan Martin Demichelis terkait, tetapi saya lebih fokus mempertanyakan korelasi antara juara para junior dan inkonsistensi saat memasuki masa dewasa.
Bagi Martin Demichelis, yang juga suami artis Evangelina Anderson, beberapa hal bisa menjadi catatan, terutama minat,bakat, dan kemampuan bisa dideteksi serta dibina selama masa kanak-kanak, sesuatu yang telah dilakukan di Indonesia. Tetapi masa ini, apalagi saat memasuki masa pubertas sangat rentan. Apabila seorang anak tidak didampingi, prestasi yang ditunjukkan di masa sebelumnya akan memudar.
Advertisement
Refleksi ala Martin Demichelis
Untuk yang satu ini, Martin Demichelis melihat dirinya sendiri. Saat berumur 14 tahun, ia keluar dari rumahnya yang berada di pedalaman Argentina dan harus berpindah ke Gran Buenos Aires. Tiga bulan sesudahnya sang ibunda, bukan sang ayah seperti diberitakan pers, meninggal. Kalau tanpa pendampingan psikologis, ia tentu tidak menjadi pribadi seperti sekarang ini.
Martin Demichelis mengungkapkan, tempat paling utama untuk membina prestasi adalah keluarga. Saya mendapat cerita dari Martin Demichelis, kalau dia belajar dari pengalaman tentang nasib para pemain yang diambil terlalu cepat dari keluarga demi masuk ke zona kompetitif. Ia mengungkapkan, banyak pemain yang memerlihatkan efek negatif ketika terlalu cepat 'dicopot' dari lingkup keluarga, guna masuk ke persaingan di liga kompetitif seperti Eropa.
Kefatalan yang dicontohnya Martin Demichelis antara lain ada pemain yang mabuk-mabukan, sampai membakar rumah dan akhirnya masuk penjara. Belajar dari itu, Martin Demichelis mewujudkan secara nyata dalam keluarganya.
Bastian, anak sulung Martin Demichelis, memiliki bakat dan minat pada sepak bola. Banyak orang tua mempertanyakan, mengapa Bastian tidak dikirim ke tim Real Madrid junior atau Barcelona junior. Tetapi baginya, klub paling tepat bagi seorang anak adalah keluarga.
Faktor Kesadaran
Perhatian dari keluarga, dan apabila tidak ada maka bantuan psikologis, memiliki peranan penting dalam proses peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa pubertas berada pada proses ini, da zona ini sangat krusial.
Pembentukan karakter awal sudah bisa dilakukan dari zona ini, meski kemungkinan menjadi ujian berat bagi pesepak bola junior. Contoh nyata, seorang anak atau calon pemain harus mendisiplinkan diri, mulai dari jam tidur sampai berlatih. Sementara itu, godaan datang dari area seusianya, seperti melewati hidup lebih santai sembari merokok.
Tidak hanya itu. Pengorbanan diri di atas kerap tidak seiring dengan prestasi. Seseorang yang sudah berdisiplin diri, tetapi pada saat bermain, ia hanya bisa duduk di bangku cadangan. Saat berada dalam situasi frustrasi, godaan untuk turun ke ritme hidup lebih santai akan menghampiri. Oleh karena itu, butuh pribadi kuat untuk mampu memaknai peristiwa yang terjadi.
Advertisement
Kelahiran Baru
Menjadi pemain sepak bola terkenal seperti Demichelis, kerap memunculkan salah sangka atau kesimpulan keliru. Banyak yang mengira, hanya kemampuan fisik seperti menendang dan menguasai bola yang dilatih.
Ketika seorang menjadi profeisional, hal itu ada benarnya tetapi tidak seluruhnya tepat. Bagi Demichelis, latihan itu hanya sekitar 2 jam sehari. Sisa harinya, seseorang harus banyak membaca, menonton, menganalisis permainan. Yang tidak kalah penting adalah ‘parte formaitiva’ yaitu pendidikan formal.
Kepribadian yang terbentuk akan menjadi nilai tak tergantikan, dan hal itu akan berkontribusi dalam proses perbaikan serta peningkatan prestasi secara gradual. Dengan kepribadian yang baik, seseorang dapat membuat prioritas dan mengambil keputusan yang tepat terhadap aneka pilihan.
Pada beberapa tahun terakhir, tim-tim besar di Eropa lebih fokus merekrut pemain yang sudah bermain di kawasan Benua Biru, ketimbang merekrut pemain baru dari luar zona kontinental yang secara kepribadian belum stabil. Bagi saya, kebersamaan dengan Martin Demichelis memberikan kesimpulan penting.
Mimpi mencetak prestasi, baik ilmu pengetahuan maupun olahraga, tidak mesti mengambil jalan pintas. Ia perlu dikelola lewat pembinaan, pendampingan, dan pembentukan melalui keluarga maupun keterlibatan psikolog dalam proses persiapan. Bagi keluarga, harapan agar anak memiliki prestasi, seharusnya tidak menjadi beban apalagi tekanan, yang seolah anak menjadi objek dari ilusi orang tua. Apalagi efek buruk bisa saja muncul. Bila terjadi dan anak tidak melakukan sesuatu dengan gembira, bakat awal akan redup secara perlahan.
Faktor Pendampingan
Kedua, butuh ketelatenan mendampingi calon olahragawan, untuk melewati masa remaja dengan gembira. Dalam bahasa psikolog dan pedagog asal Ameria Serikat, Granville Stanley Hall (1846-1923), masa remaja menjadi sebuah momen kelahiran baru. “Adolescence is a new birth, for the higher and more completely human traits are now born” yang berarti, masa remaja adalah kelahiran baru, karena sifat manusia yang lebih tinggi dan lebih sempurna sekarang lahir.
Dengan jelas ditekankan, harapan utama dari proses kelahiran baru adalah sifat. Bila kelahiran pertama adalah lebih kepada fisik dengan hadir ke dunia, kelahiran masa remaja lebih terarah kepada pembentukan sikap. Dengkan demikian, keberhasilan membentuk sikap dan sifat pada masa ini akan menghasilkan pribadi tangguh yang bisa mengelola seluruh diri dan menggunakannya secara kreatif serta kostruktif untuk perkembangan diri selanjutnya.
Oleh sebab itu, kalau kita mau menglola prestasi olahraga, juga prestasi lain, butuh fokus membangun sikap dengan menata pembinaan dan pembentukan selama masa pubertas.
Advertisement