Bola.com, Jakarta - Lazio absen mengangkat trofi Serie A sejak 1974. Tapi pada musim 1999-2000, Sven-Goran Eriksson, dibantu oleh Diego Simeone, Roberto Mancini, Fabrizio Ravanelli, Alessandro Nesta, dan Pavel Nedved, Elang Ibu Kota terbang tinggi di langit Italia membawa gelar scudetto.
Perjalanan Lazio bersaing di Serie A, terlepas dari fakta bahwa mereka sempat merajai Italia pada 1974, mengalami pasang surut. Bahkan, pada periode 1980-an, Gli Aquilotti, julukan Lazio, sempat dua kali terdegradasi.
Baca Juga
Advertisement
Bencana menimpa Lazio sejak akhir 70-an hingga awal 80-an. Kepergian Giorgio Chinaglia ke New York Cosmos, ditambah skandal Totonero yang menerpa Italia, sampai perginya Bruno Giordano membuat Lazio terguncang.
Sergio Cragnotti yang kelak mengambil alih kontrol Lazio pada 1992, merupakan satu di antara sosok paling berjasa buat rival AS Roma itu. Gerah dengan prestasi klub yang itu-itu saja, ia mendekati petinggi klub agar kepemilikan klub yang dipegang oleh Gianmarco Calleri dipindahkan kepadanya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, ia harus mengakuisisi 80% saham konglomerasi panganan terkemuka di Italia, Cirio. Buat penikmat Serie A lawas, pasti akrab dengan kata Cirio yang setia menjadi sponsor utama Lazio laiknya Parmalat, merek perusahaan susu yang pernah mendunia bersama AC Parma.
Entah apa yang merasuki Cragnotti kala itu. Keinginannya memiliki Lazio sangat kuat. Padahal, Lazio tak pernah bisa mengalahkan AS Roma pada Derby della Capitale sejak 1980. Prestasi tim berkostum biru langit itu juga ala kadarnya. Kalau ia mau, sebetulnya bisa saja ia kembali ke Brasil dan meneruskan usahanya sebagai praktisi finansial seperti yang ia lakukan 1970-an.
Namun, tekadnya sudah bulat. Cragnotti sampai harus melobi langsung seorang Calleri agar mau menyerahkan Lazio kepadanya. Sejak saat itu, kepak sayap Elang Ibu Kota mulai terlihat. Puncaknya, kejayaan di era 2000-an, termasuk gelar scudetto 1999-2000 dan Piala Super Eropa 2000.
Â
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kencan Pertama Tak Lantas Manis
Cragnotti tidak langsung menggebrak laiknya Roman Abramovich di Chelsea. Ia justru masih memercayakan Dino Zoff, kiper legendaris Juventus dan Timnas Italia sebagai pelatih pada dua musim perdananya sebagai pemilik klub.
Satu alasan mengapa Cragnotti masih memberikan kepercayaan kepada Zoff adalah karena ia sanggup memenangi duel Derby della Capitale untuk pertama kali sejak 1980, tepatnya di musim 1993-1994. Lazio unggul tipis 1-0 atas Roma berkat gol tunggal Giuseppe Signori, striker yang sempat berseragam Bologna jelang akhir kariernya.
Di musim ketiganya sebagai pemilik klub, Cragnotti mulai serius membenahi Lazio, termasuk keputusannya mengangkat Zdenek Zeman sebagai pelatih. Zeman bukan nama sembarangan di babad Calcio. Pelatih berdarah Ceko yang melambungkan nama Signori itu pernah membawa Foggia menjadi fenomena tersendiri di Italia berkat pola permainan full attack-nya.
Bersama Foggia, Zeman dikenal berkat keberaniannya memainkan sepak bola menyerang berbekal pemain muda potensial. Sebutan Zemanlandia pun disematkan kepada Foggia karena penampilan ciamiknya sejak promosi ke Serie A pada musim 1991-1992.
Berkat polesan Zeman, pada musim 1994-1995, Lazio berhasil menjadi runner-up Serie A. Sudah puas kah Cragnotti? Tentu tidak. Satu hal yang ia inginkan adalah trofi scudetto. Namun, alih-alih konsisten sebagai pesaing juara, prestasi Zeman justru cenderung menurun pada musim-musim berikunya hingga akhirnya pada musim 1996-1997, Cragnotti memecatnya.
Sempat diisi oleh Dino Zoff lagi untuk sementara waktu, Sven-Goran Eriksson lantas resmi diangkat sebagai pelatih tetap pada awal musim 1997-1998. Kehadiran pelatih asal Swedia itu di Stadio Olimpico mengubah segalanya.
Â
Â
Advertisement
Pragmatis demi Trofi
Keputusan Cragnotti memilih Eriksson bukan tanpa alasan. Ia merasa Lazio butuh pelatih yang bisa memberikan gelar, bukan lagi seorang filsuf yang kenyang teori ini itu. Eriksson memiliki kualifikasi tersebut. Ia pernah memberikan gelar ketika membesut Roma, Sampdoria, Benfica, bahkan Goeteborg.
Cragnotti seakan bertaruh. Pria kelahiran Roma 1940 silam itu mengucurkan dana besar demi memboyong Matias Almeyda, Alen Boksic, dan sang megabintang, Roberto Mancini. Para pemain anyar itu bergabung dengan Luca Marchegiani, Alessandro Nesta, Diego Fuser, Giuseppe Pancaro, Roberto Rambaudi, hingga Pavel Nedved. Terbayang bagaimana mewahnya skuat Lazio saat itu.
Hasilnya langsung terlihat. Pada musim perdananya, Eriksson mampu memberikan gelar pertama sejak 1974, yakni Coppa Italia. Pada laga final, mereka mengalahkan skuat emas AC Milan dengan skor 3-1. Sayang, Lazio gagal mengawinkan dua gelar karena pada final Piala UEFA (sekarang Liga Europa), Nedved dkk. tumbang dari Inter Milan pada tahun yang sama.
Cragnotti senang bukan kepalang. Percaya bahwa Eriksson adalah sosok yang paling tepat, ia kemudian memboyong lebih banyak bintang lagi. Pada musim 1998-1999, ia mendatangkan Ivan de la Pena, Christian 'Bobo' Vieri, Marcelo Salas, dan Fernando Couto. Selain itu, duet Eropa Timur, yakni Sinisa Mihajlovic dan Dejan Stankovic juga didaratkan ke Stadio Olimpico.
Lazio bak kesetanan. Gelar Piala Winners dan Supercoppa Italia berhasil ia rengkuh. Bahkan, jika bukan karena kemenangan AC Milan atas Perugia berkat gol Andres 'Guly' Guglielminpietro dan Oliver Bierhoff berbalas satu gol lewat gol Hidetoshi Nakata, Lazio bisa meraih tiga gelar pada musim tersebut. Lazio pada akhirnya harus puas kembali keluar sebagai runner-up saja, kalah satu poin dari Milan yang meraih scudetto musim 1998-1999.
Sudah puas kah Cragnotti? Ternyata tidak. Agaknya, ia memang hanya menginginkan satu trofi, yakni scudetto. Langkah berikutnya yang ia lakukan justru di luar dugaan: menjual Vieri dan Diego Simeone ke Inter Milan pada musim berikutnya dengan mahar mencapai 30 juta pounds.
Namun, Cragnotti menggunakan uang hasil penjualan itu dengan bijak. Ia memboyong dua eks Parma yang sukses memberikan gelar Piala UEFA, Juan Sebastian Veron dan Nestor Sensini. Cragnotti juga mengamankan Simone Inzaghi, sosok yang saat ini menjadi pelatih Lazio, adik dari Filippo Inzaghi.
Musim 1999-2000, Lazio bersiap. Target Cragnotti masih sama, yakni scudetto. Juventus menjadi pesaing terberat menyusul kembalinya Alessandro Del Piero dari cedera.
Â
Gol Fabio Cannavaro Dianulir, Karma buat Juventus, dan Sengatan Perugia
Lazio mengemas kemenangan 1-0 pada ajang Piala Super Eropa atas raksasa Manchester United. Ini menjadi bekal yang luar biasa buat Elang Ibu Kota menyambut musim 1999-2000.
Dengan percaya diri baru, sama seperti dua musim sebelumnya, Lazio memulai Serie A 1999-2000 tanpa hambatan berarti. Sembilan laga tanpa kekalahan diraih Lazio. Satu cela, kekalahan telak 1-4 pada Derby della Capitale pada giornatta ke-10 atas AS Roma.
Sepekan kemudian, Lazio ditahan imbang Juventus tanpa gol dan melahap tiga laga berikutnya dengan kemenangan. Inkonsistensi kembali terlihat tatkala Lazio tumbang 0-2 dari tim yang pada akhir musim terdegradasi, Venezia.
Setelah itu, Lazio meraih tiga kemenangan dan tiga kali imbang pada enam laga berikutnya. Namun setelah itu, mereka kembali kalah 1-2 dari pesaingnya, AC Milan. Bahkan pada giornatta ke-26, Lazio kalah lagi 0-1 dari Verona.
Hingga pekan ke-27, Lazio tertinggal enam poin dari Juventus. Pertemuan kedua tim terjadi pada pekan ke-28. Alih-alih dalam tekanan, Lazio berhasil membungkam Juve di Turin dengan skor tipis 1-0. Adalah gol Simeone yang membuat perbedaan poin terpangkas dan membangkitkan semangat Lazio di sisa musim. Buat Juventus, itu adalah kekalahan kedua beruntun usai dikalahkan AC Milan pada laga sebelumnya.
Lazio tancap gas. Tiga kemenangan beruntun diraih meski terganjal Fiorentina pada giornatta ke-30. Tapi, hingga pekan ke-33, Lazio sanggup mengemas kemenangan.
Pada pekan 33, ada kontroversi yang terjadi di Stadio delle Alpi, tepat pada 7 Mei 2000. Menjamu Parma, tim tamu sebetulnya sanggup mencetak gol ke gawang tuan rumah melalui sundulan bek Fabio Cannavaro. Namun, gol itu dianulir karena wasit menilai ada pelanggaran yang terjadi, entah pelanggaran apa yang dimaksudnya.
"Semua orang tahu ada apa di Turin. Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, mengapa gol Cannavaro dianulir. Saya tidak tahu. Lazio berhak meraih juara, baik itu secara moral dan untuk keutuhan sepak bola Italia," protes Cragnotti dinukil dari The Telegraph.
Juventus pun menang dengan skor 1-0 berkat gol Del Piero. Kemenangan itu disambut seakan-akan Juve sudah dipastikan meraih juara meski pada pekan yang sama, Lazio juga menang atas Bologna dengan skor 3-2. Pasalnya, Si Nyonya Tua, julukan Juventus, hanya akan menghadapi Perugia di laga pamungkas alias giornatta ke-34.
Pada pekan terakhir itu, karma seakan menimpa Juventus. Diwarnai hujan lebat di Stadio Renato Curi yang membuat laga tertunda sekira satu jam, Juventus dan publik Italia, termasuk mungkin mayoritas fans Lazio, tak menyangka bahwa Perugia bisa menekuk Zinedine Zidane dkk.
Lazio sudah mengakhiri pertandingan kontra Reggina lebih dini fokus perhatian berpindah ke Juventus. Bahkan, ribuan fans masih bertahan di Olimpico demi menunggu skor akhir Perugia kontra Juventus. Saat itu, usia pertandingan Perugia kontra Juventus baru berjalan sekira setengah jam.
Gawang Juve bobol pada babak kedua, tepatnya menit 49'. Alessandro Calori mengutuk Juventus lewat golnya ke gawang Edwin van der Sar. Ribuan fans di Olimpico bersorak menyambut gol tersebut. Untuk sementara, Lazio unggul satu poin atas Juventus.
Juve yang kala itu dilatih Carlo Ancelotti terus berupaya menyamakan kedudukan. Hasil imbang saja seharusnya bisa membawa Juventus juara, namun hingga akhir laga, skor 1-0 untuk kemenangan Perugia tak berubah. Lapangan di Stadio Olimpico Roma sontak diserbu oleh tifosi. Para pemain Lazio juga tumpah ke lapangan. Sang top scorer, Marcelo Salas diarak bak pahlawan, juga Veron, Nedved, Stankovic, dan seluruh penggawa Lazio.
Advertisement