Bola.com, Jakarta - Pekan ini dipastikan bahwa Bundesliga kembali akan bergulir dalam waktu dekat dan bisa dipastikan saat itu pandemi COVID-19 belum berakhir. Kenapa keputusan ini berani mereka ambil?
Saya bersyukur fenomena ini terjadi setelah kita memutuskan PON Papua diundur ke 2021, sebab jika tidak saya amat yakin pemerintah dan KONI daerah akan menimbang juga untuk mengikuti jejak Bundesliga dan tetap menggelar hajatan tahun ini.
Advertisement
Kewajiban kepada para stake holder, termasuk sponsor dan penjadwalan untuk mencairkan APBD memang menjadi faktor pendorong agar keputusan yang kurang populer tersebut dipertimbangkan untuk diambil Kemenpora RI. Apakah para administrator Bundesliga, DFL, juga mengambil pilihan yang sulit karena tekanan faktor-faktor yang kurang lebih sama?
Retorika penulis akan tergambar jawabannya dengan data di akhir kolom ini, tapi saya akan bercerita dulu tentang sebuah memori saya dari kurun 16 tahun silam. Kala itu adalah salah satu momen terindah dalam hidup saya karena mata ini sempat sangat segar menatap hijaunya bentang alam yang mengisi perjalanan saya dengan kereta api antara Manchester hingga Glasgow.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Leap of Faith
Akan tetapi, bukan mata melainkan telinga yang menangkap pesan penting dalam perjalanan itu. Dalam sebuah tugas liputan di musim panas 2004 itu saya bicara ngalor ngidul dengan seorang mahasiswa lokal yang kuliah di Glasgow. Pemuda cerewet bernama Geoff itu membanggakan kecintaannya pada klub Inggris, West Bromwich Albion (WBA), saat duduk di samping saya.
Ia saat itu menyatakan keyakinannya bahwa The Albion akan segera kembali berpromosi ke Premier League setelah mereka terdegradasi ke Championship Division. Geoff bercerita ia adalah generasi keenam dalam keluarganya yang sampai mati bakal mendukung WBA. Well, semangat spartan semodel inilah yang akhirnya mendorong klub yang dicintainya itu naik lagi ke divisi utama di musim berikutnya. Luar biasa, ini sebuah leap of faith!
Dari Geoff saya belajar bahwa tidak semua kredo yang menjadi bahan bakar sebuah industri itu haruslah sama. Pada periode working from home di minggu lalu saya sempat menonton sebuah tayangan dokumenter soal Ferrari di kanal National Geographic. Dalam tayangan itu salah satu eks petinggi tim Formula 1 Ferrari, Maurizio Arrivabene, menyebut dirinya tidak suka sekadar berpartisipasi tapi harus menjadi juara.
Advertisement
Tidak Perlu Juara untuk Meraih Untung
Berbeda dengan Maurizio, Geoff justru lebih suka berpartisipasi ketimbang mengejar piala. Dengan tersipu Geoff menyebut bahwa bahkan sebuah kekalahan WBA di kandang tetap “berharga untuk ditonton” bila yang jadi lawan adalah Manchester United. Ia juga (dengan cara yang agak ganjil) sangat menyukai perangai keras penuh energi dari pilar Manchester United, Roy Keane, terutama saat Keano menghadapi The Albions.
Nah, dalam perspektif bisnis pada akhirnya ribuan orang seperti Geoff inilah yang mendorong perputaran uang di industri sepak bola. Anda tidak perlu menjadi juara untuk meraih profit, keuangan klub yang sehat muncul dari terjaganya romantisme Geoff dengan The Albions dan dengan Roy Keane. Nyawa sebuah kompetisi adalah rivalitas dan bagaimana para suporter memandang sebuah perjalanan persaingan abadi inilah yang membuat nilai jual eyeballs mereka jadi penting.
Geoff bercerita bahwa sebagian uang sakunya dipakai untuk membayar biaya berlangganan televisi kabel guna memantau Premier League dari Glasgow. Nah, pada titik inilah saya ingin kembali ke Bundesliga, yang dari sisi kedekatan dengan para suporter domestiknya sangat-sangat intim. Ketimbang Premier League, loyalitas para suporter Liga Jerman lebih baik karena tingkat penjualan tiket terusan mereka adalah 100%!
Tanpa Penonton Tidak Masalah
Ya, bukan hanya para elite seperti Borussia Dortmund atau Bayern Munchen yang tiketnya laku terjual sebelum musim baru digelar, tapi tiket terusan klub-klub sekelas Paderborn dan Union Berlin pun selalu ludes tanpa tersisa. Hebatnya lagi, dalam laporan ekonomi DFL 2020 yang dibagikan oleh salah satu anggota komite eksekutif, Christian Seifert, kepada para pemimpin redaksi media olahraga top dunia, diketahui bahwa penghasilan Bundesliga dari tiket ini nilainya hanya 12,9% saja.
Jangan salah ya, besaran absolut dari angka 12,9% itu setara dengan “hanya” 520,1 juta euro (Rp 8,48 triliun). Bundesliga kehilangan uang cukup besar karena Pandemi COVID-19 itu sudah pasti, tapi memutar kembali kompetisi dengan cara yang sangat disiplin dari sudut kesehatan dan tanpa penonton adalah sebuah solusi yang tepat sasaran karena nilai total uang hak siar itu besarnya tiga kali lipat dari perolehan uang dari penjualan tiket.
Media revenue ini adalah porsi terbesar mereka (36,9% alias setara Rp 24,22 triliun) dari seluruh penghasilan Bundesliga dan itulah sebabnya upaya pembangkitan kompetisi harus berdasarkan pertimbangkan dihidupkannya kembali siaran langsung pertandingan sebagai langkah pertamanya. Sejak akhir Februari, diam-diam Seifert dkk. telah memikirkan cara untuk membentuk prosedur tetap guna memutar kompetisi tanpa penonton di stadion yang relatif aman bagi awak media, para atlet, dan ofisial klub.
Dengan disiplin ketat ala Jerman saya mendukung langkah Bundesliga untuk kembali bergulir dan dengan prinsip yang sama saya juga akan mendukung manuver untuk menggulirkan event olahraga nasional seperti PON Papua. Apakah kita punya tingkat kedisiplinan yang sama? Tengoklah bagaimana penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di beberapa daerah di Indonesia saat ini untuk merenungkan jawabannya.
*Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.net serta Bola.com, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.
Advertisement