Bola.com, Jakarta - Halo Sahabat Bola.com. Semoga kalian dalam kondisi sehat saat membaca tulisan ini. Cerita Bola kali ini, penulis akan meminjam pepatah kuno, banyak jalan menuju Roma. Tapi, bukan kota Roma yang menjadi objek utama, melainkan tim terbesar dari kota tersebut, AS Roma.
Ya, berkat AS Roma, penulis bisa mendapatkan hati seorang wanita, kini sudah menjadi istri, dan memiliki dua anak. Kok bisa? Kembali lagi, banyak jalan menuju Roma.
Advertisement
Singkat cerita, dalam sebuah momen, penulis sedang melakukan pendekatan dengan seorang wanita. Bahasa gaulnya pedekate. Segala cara sudah berusaha dilakukan, tapi tampaknya hati sang wanita belum juga luluh.
Sampai pada akhirnya suatu hari, wanita itu terlibat perbincangan dengan seorang teman yang ternyata juga fans berat AS Roma layaknya penulis. "Eh, suka AS Roma ya," kurang lebih begitulah sang wanita memulai pembicaraan.
"Oh tentu, sering nobar juga sama kelompok suporter AS Roma di Indonesia. Kenapa gitu?" sang teman balik bertanya. "Iya, ada cowok yang lagi deketin, dia suka AS Roma juga," wanita itu menjawab.
"Wah, sudah pasti itu cowok tipe setia dan penyabar," jawab temannya tersebut. Sebuah obrolan warung kopi yang tak disangka telah mengubah segalanya. Jawaban jikalau fans AS Roma seorang yang setia dan penyabar telah mengubah keraguan menjadi keyakinan.
Siapa sangka, kecintaan terhadap sebuah klub sepak bola ternyata ikut membantu mendapatkan jodoh. Ya, tidak ada yang tak mungkin. Sekali lagi, pepatah kuno: banyak jalan menuju Roma, kembali terbukti. Oh indahnya.
Saksikan Video Pilihan Kami:
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Belajar Setia dari Francesco Totti
Berbicara setia dan sabar, dua hal ini juga yang membuat penulis jadi fans berat AS Roma. Tim asal Liga Italia, yang jika melihat prestasi, tidak sementereng nama-nama seperti Juventus, AC Milan atau Inter Milan.
Ya, lewat seorang Francesco Totti, penulis jadi paham betul, sebuah kebanggaan mencintai tim seperti AS Roma. Siapa yang berani meragukan kemampuan seorang Totti? Sinisa Mihajlovic, yang notabene pernah memperkuat Lazio, rival sekota AS Roma punya jawabannya.
"Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, Roberto Mancini, Gianfranco Zola, Francesco Totti lebih komplet ketimbang mereka semua," ucap Mihajlovic dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Memang jumlah gelar yang diraih Totti di AS Roma tidak sebanyak empat pemain lain yang disebutkan di atas. Namun kecintaannya dan kesetiaan terhadap AS Roma, tim tempat kelahirannya, hampir mustahil ditemui dari pesepak bola era sekarang.
Totti dengan segala kemampuannya, bahkan pernah dilirik tim sekaliber Real Madrid. Tapi ia menolak nilai kontrak yang pastinya lebih besar dan kans merasakan banyak trofi, hanya untuk bermain bersama AS Roma.
Presiden Real Madrid Florentino Perez mengakui dulu pernah mencoba mendatangkan Francesco Totti saat masih memperkuat AS Roma. Namun, ternyata upayanya gagal.
"Totti merupakan legenda yang diinginkan banyak pihak," kata Perez kepada La Gazzetta dello Sport.
"Sebelum 2006, pada awal kepemimpinan di Madrid, saya meneleponnya dan memintanya untuk datang. Namun, Totti mengatakan kepada saya tidak dapat pindah dari Roma," lanjutnya.
Pada akhirnya, Francesco Totti memang menunjukkan kesetiaan dengan hanya memperkuat AS Roma sepanjang kariernya. Dia mencatat 786 penampilan dan membukukan 307 gol.
Jika trofi jadi ukuran, Il Capitano menyumbangkan satu scudetto musim 2000/2001, Piala Italia musim 2006/2007 dan 2007/2008, plus Piala Super Italia tahun 2001 dan 2007. Puncak kariernya terjadi pada Piala Dunia 2006.
Dia turut memberikan kontribusi besar mengantarkan Italia menjadi juara. Buat Totti, kecintaan terhadap AS Roma telah mengalahkan iming-iming nilai kontrak besar dari tim lain dan kans meraih lebih banyak trofi. Jadi belajarlah setia dari Totti.
Advertisement
Pahit dan Manis Jadi Fans AS Roma
Menjadi fans tim yang tidak hebat-hebat banget seperti AS Roma memang butuh kesabaran. Intinya harus siap menerima hasil tidak sesuai ekspektasi bahkan terkadang berujung pembantaian. Dan satu lagi harus siap di-bully.
Ada beberapa momen terburuk yang dirasakan penulis selama menjadi fans AS Roma. Namun paling membekas tentu pembantaian dari Manchester United pada perempat final ajang Liga Champions musim 2006/2007.
Kala itu harapan fans begitu besar. Apalagi tim asuhan Luciano Spalletti memang berada pada level tertinggi. Terbukti pada leg pertama yang berlangsung di Olimpico, I Giallorossi bisa menang dengan skor 2-1. Dalam pikiran saat itu, AS Roma pasti bisa mengimbangi Manchester United yang diperkuat Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo.
Namun faktanya tak seindah angan-angan. Manchester United asuhan Sir Alex Ferguson bisa menang telak 7-1. Sebelum menit 20, Setan Merah bahkan sudah unggul 3-0 lewat gol Michael Carrick, Alan Smith, dan Wayne Rooney. AS Roma akhirnya hanya bisa mencetak sebiji gol lewat kontribusi Daniele De Rossi menit ke-69.
Hanya saja kenangan menjadi fans AS Roma tidak melulu dipenuhi tinta merah. Penulis juga merasakan momen manis, membanggakan dan dipastikan bakal terus diingat seumur hidup. Kalau sukses tim meraih scudetto dengan kombinasi Gabriel Batistuta, Francesco Totti dan dilatih Fabio Capello musim 2000/2001 sudah tidak perlu ditanya lagi level spesialnya.
Tapi momen tidak kalah manis, penulis rasakan ketika 'Romantada' atau saat AS Roma membalikkan ketinggalan 1-4 di leg pertama perempat final Liga Champions 2016/2017 kontra Barcelona dan kemudian berbalik unggul 3-0 saat bermain di kandang. Ada cerita menarik di balik sukses ini.
Malam itu, setelah deadline, penulis bersiap pulang dan menyaksikan laga AS Roma versus Barcelona di rumah. Penulis termasuk orang yang tidak berani nobar bareng rekan kerja di kantor. Ajakan selalu ditolak. Tentu tahu alasannya apa.
Apalagi jujur saja, kala itu, bisa dibilang pesimistis. Dalam pikiran, AS Roma pasti dibantai lagi. Tapi takdir berkata lain. Saat hendak pulang, tiba-tiba kendaraan tidak bisa distarter. Aki soak. "Sial dua kali. Aki soak, harus nonton AS Roma juga di kantor," inilah yang ada di benak penulis.
Momen Menegangkan: Nobar AS Roma di Kantor
Kick-off leg kedua pertandingan AS Roma versus Barcelona pun dimulai. Suasana tegang yang dirasakan penulis semakin terasa. Apalagi memang tidak ada rekan kerja yang berstatus fans rival sekota Lazio ini. Ditambah banyak tifosi garis keras Juventus di kantor penulis bekerja saat itu. "Ah, AS Roma kena bantai lagi ini," celetuk seorang rekan kerja.
Rasa pesimistis semakin tinggi. Saat pelatih Eusebio Di Francesco justru menurunkan skema permainan yang berbeda dari sebelumnya. Pakem 4-3-3 ditinggalkan. Kemudian eks allenatore Sassuolo itu menerapkan 3-5-2. Dalam hati, bisa apa tiga pemain belakang: Juan Jesus, Federico Fazio, dan Kostas Manolas mengadang Lionel Messi dan Luis Suarez.
Namun keraguan seketika berubah menjadi rasa percaya diri. Formasi 3-5-2 justru membuat AS Roma menguasai pertandingan. Apalagi sangat tampak Barcelona terlalu over confidence saat itu. Gol pertama tuan rumah bahkan sudah tercipta berkat aksi Edin Dzeko menit ke-6.
Asa mengalahkan Barcelona tambah tinggi usai Daniele De Rossi mencetak gol kedua melalui titik penalti. Gol kemenangan dan yang mengantarkan AS Roma ke semifinal akhirnya hadir melalui sundulan Kostas Manolas menit 82.
"Roma telah bangkit dari reruntuhan! Manolas, Dewa Yunani di Roma! Hal yang tak terpikirkan terbentang di depan mata kita!' ucap Peter Drury, komentator pada pertandingan tersebut.
Pertandingan pun berakhir. Pemain sekaliber Suarez sampai Messi seperti tak percaya apa yang terjadi. Tatapan mata Anders Iniesta kosong. Semua rekan kerja yang ikut nobar dibuat tercengang. Sebaliknya, rasa senang yang tak bisa diukur lagi dirasakan oleh penulis.
Ya, inilah seni mendukung tim yang tidak hebat-hebat banget seperti AS Roma. Sekalinya merasakan sebuah sukses, euforia sudah seperti baru saja juara Liga Champions atau meraih scudetto. Roma Siamo Noi (Kami adalah Roma).
Advertisement