Bola.com, Jakarta - Perdebatan soal siapa pesepak bola terhebat sejagat antara Diego Maradona dan Pele menjadi sebuah urban legend turun menurun di antara penggemar berat bal-balan. Dari masa ke masa menjadi pertanyaan besar lintas generasi, hingga era kekinian.
Bahkan dua nama pemain jadul tersebut tetap jadi sosok populer diobrolin walau 'dewa baru', Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, memesona pentas sepak bola dunia lewat aksi-aksi menawan di lapangan hijau.
Baca Juga
Hasil Liga Spanyol: Kylian Mbappe dan Rodrygo Impresif, Real Madrid Bungkam Sevilla dan Geser Barcelona dari Peringkat Kedua
Hasil Liga Inggris: Dipaksa Imbang Everton, Chelsea Gagal Kudeta Liverpool dari Puncak
Hasil Liga Italia: Bang Jay Gacor 90 Menit, Venezia Sikat Cagliari dan Keluar dari Posisi Juru Kunci
Advertisement
Buat publik sepak bola dunia, Maradona dan Pele tetaplah sosok terbaik. Dengan seabrek trofi, Messi dan Ronaldo yang amat luar biasa, masih kerap disebandingkan dengan dua legenda besar senior mereka.
Diskusi-diskusi serius hingga warung kopi tentang keempat figur besar kerap tersebut mencuat di keseharian.
"Messi fantastis, tapi... Dia belum sehebat Maradona. Blablabla... Blablabla."
"Ronaldo tajam, tapi... Pele jauh lebih luar biasa. Blablabla... Blablabla."
Kata-kata itu kerap penulis dengar atau bahkan bahas saat bicara soal sepak bola.
Setelah puluhan tahun masa kejayaannya berlalu, sihir Maradona dan Pele tetap terekam di benak banyak orang. Mereka mendapat label the greatest. Orang akan cepat menjawab pertanyaan, siapa pesepak bola Argentina serta Brasil terbaik sepanjang masa dibanding siapa Presiden Argentina serta Brasil saat ini. Kebayang toh, betapa populernya mereka berdua.
Diego Maradona dan Pele adalah simbol keajaiban. Apa yang mereka lakukan mewakili mimpi banyak orang. Menjalani kehidupan penuh kemiskinan pada masa kecil, kemudian menjadi superstar sepak bola dunia saat dewasa dengan harta berlimpah plus ketenaran tiada dua, sebuah dongeng menguras emosi yang terjadi dalam dunia nyata. Cinderella bukan cerita fiktif di dunia sepak bola.
Kembali ke pertanyaan di atas, siapa yang lebih hebat Maradona atau Pele? Jawabannya tidak pernah benar-benar absolut.
Bicara soal trofi, Pele dengan pencapaian tiga gelar Piala Dunia jelas lebih dahsyat dibanding Diego Maradona. Tapi, Pele sepanjang kariernya tak pernah menempa diri di kompetisi Eropa, Tanah Perjanjian bagi seluruh pesepak bola dunia.
Selain berkiprah di klub elite Brasil, Santos, penyerang kelahiran 23 Oktober 1940 itu hanya pernah membela klub Amerika Serikat, New York Cosmos, yang tidak pernah dianggap besar di persaingan level elite dunia. Sementara Maradona lebih sukses di Benua Biru. Ia sempat merumput di Barcelona, Napoli, dan Sevilla setelah mengawali karier di klub Argetinos Juniors dan klub legendaris Argentina, Boca Juniors.
Mau membandingkan dari sisi mana lagi? Bisa tiga hari hingga tiga malam kita berdebat mengenai sosok keduanya. Anda mau memilih Pele monggo, atau mencintai Maradona bebas-bebas saja. Akan tetapi kita pasti bersepakat mereka sama-sama sosok yang luar biasa. Mereka legenda besar, No debat!
Kamis, 26 November 2016 dini hari WIB jadi hari yang menyedihkan karena kita semua tidak akan lagi pernah melihat aksi-aksi Diego Armando Maradona. Si Tangan Tuhan berpulang ke Sang Pencipta karena serangan jantung. Kesedihan berjamaah dirasakan pelaku dan pencinta sepak bola di seantero dunia.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kota Depok yang Mendadak Sepi
Walau sudah lama pensiun, Diego Maradona tetaplah sosok yang menarik. Berbeda dengan Pele yang cenderung lurus-lurus saja hidupnya, Maradona sosok yang doyan membuat drama.
Kontroversi tak pernah lepas dari sang megabintang. Mulai dari kehidupan pribadi yang berantakan karena kebiasaannya yang doyan ganti-ganti pasangan, doping, narkoba, hingga komentar-komentar pedasnya menyoal isu-isu terkini sepak bola mengisi sebagian besar hari-harinya.
Namun, entah kenapa dengan segala kekurangannya, namanya tetap besar. Ini sebuah fenomena langka. Biasanya masyarakat luas cenderung akan antipati dengan hal-hal negatif yang dilakukan sosok idolanya. Lain kasus dengan Maradona. Ia tetap sosok yang dicintai.
Saat dimintai komentarnya soal Maradona yang baru saja mangkat, manajer Manchester City, Pep Guardiola, berujar:
"Suatu waktu saya melihat poster bertuliskan 'kami tidak peduli apa yang Diego perbuat saat hidupnya, yang terpenting, apa yang Diego berikan kepada kami luar biasa.' Itu sudah cukup mewakili betapa cinta para fans kepada Diego."
Well, komentar yang dilontarkan pelatih hebat tersebut menggambarkan kebesaran almarhum yang kelahiran Buenos Aires, 30 Oktober 1960 tersebut. Pemerintah Argentina menetapkan tiga hari ke depan sebagai hari libur nasional sebagai tanda duka cita.
Maradona buat rakyat Argentina merupakan pahlawan. Mereka enggak mau pusing dengan cerita-cerita negatif sang maestro. El Diego, sosok yang bisa mempersatukan rakyat Argentina lewat tarian Tango di lapangan hijau. Kontribusi gelar Piala Dunia 1986 buat negaranya akan selalu dikenang abadi.
Penulis dalam sejumlah kesempatan seringkali ngobrol dengan pesepak bola asal Negeri Tango yang berkiprah di Indonesia mengenai Maradona. Jawaban mereka seragam. Diego adalah segalanya.
"Saya ingin menjadi pesepak bola karena Diego. Saya berani jamin, semua pesepak bola asal negara kami terinspirasi oleh Maradona. Ia sosok yang terbesar," tutur Emmanuel De Porras, striker asal Argentina yang membela Persija pada medio tahun 2000-an.
De Porras luar biasa bahagia saat dirinya bisa punya kesempatan berkiprah di kompetisi Serie C Italia. Ia merasa bisa mengikuti jejak idolanya, walau dalam level berbeda tentunya.
Hidupnya terasa lengkap sebagai pesepak bola, bisa cerita ke anak-cucu sudah pernah mencicipi kompetisi Italia yang pernah ditaklukkan Maradona di pengujung 1980-an.
Hebatnya Maradona tidak hanya menginspirasi di negaranya, tapi di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia yang jaraknya amat jauh.
Indonesia, negara yang punya basis pencinta sepak bola berlimpah, sangat memuja sosok yang satu ini. Pada periode 1980 hingga awal 1990-an Anda akan mudah menemukan Maradona ala-ala di gang-gang kecil atau lapangan sepak bola kampung. Semua seakan ingin menjadi Maradona.
Poster-poster bergambar aksi Diego dengan mudah didapatkan. Kostum abal-abal Argentina dengan nomor punggung 10 yang identik dengan sang maestro bertebaran.
Penulis yang tumbuh dewasa pada masa itu merasakan benar sihir Maradona. Percaya atau tidak, Kota Depok mendadak sepi pada pagi hari 29 Juni 1986. Mayoritas pasang mata di sini tertuju ke layar televisi menyaksikan final Piala Dunia 1986 yang mempertemukan Argentina kontra Jerman.
Suasananya mirip-mirip jika pebulutangkis asal Indonesia masuk final ajang bergengsi. Semua rame-rame nonton di stasiun televisi TVRI atau mendengar laporan pandangan mata RRI. Ini Argentina lho yang bertanding, bukan Timnas Indonesia yang memiliki keterikatan langsung dengan masyarakat luas di negara kita.
Penulis yang baru kelas satu sekolah dasar jadi saksi hidup kemenangan Maradona cs. dengan skor 3-2. Masih terngiang, ucapan ibunda: "Ayo, bangun nonton Maradona di final. Mama siapin roti dan susu."
Kami sekeluarga berteriak-teriak bak suporter yang ada di stadion saat Jose Luis Brown, Jorge Valdano, Jorge Burruchaga menjebol gawang Der Panzer yang dilatih libero legendaris, Franz Beckenbauer. Final dramatis yang mengesankan.
Tuntas pertandingan, lapangan sepak bola dekat rumah mendadak penuh sekumpulan bocah. "Gue jadi Maradona ya," celoteh salah satu teman masa kecil penulis ketika hendak memulai permainan bal-balan sebagai perayaan kesuksesan Argentina.
Padahal, Piala Dunia 1986 juga menjadi panggung pesepak bola beken dunia lainnya. Lothar Matthaus (Jerman), Enzo Scifo (Belgia), Bryan Robson (Inggris), Michel Platini (Perancis)Â adalah deretan gelandang serang bermutu yang meramaikan perhelatan akbar tersebut. Namun, entah kenapa Mexico 86 mendadak Maradona. Semua berharap melihat sang maestro bisa menembus final.
Momen yang aneh, mengingat Indonesia tak punya hubungan sejarah dengan Argentina. Bicara prestasi pun bak bumi dengan langit. Argentina juara dunia, sementara Timnas Indonesia baru sebatas nyaris lolos ke Meksiko 1986.
Uniknya, cerita gagal ke Piala Dunia karena kekalahan Indonesia dari Korea Selatan di Kualifikasi Piala Dunia 1986 itu jadi cerita legendaris hingga kini.
"Seandainya kita lolos ke Piala Dunia, Indonesia satu grup dengan Argentina," celoteh striker Timnas Indonesia era tersebut, Bambang Nurdiansyah.
Pada Piala Dunia 1986 Argentina ada di Grup A bareng Italia, Bulgaria, dan Korea Selatan.
Advertisement
Duel Kribo di Piala Dunia U-20
Popularitas Maradona di Indonesia sudah meroket jauh sebelum ajang World Cup 1986. Pada Piala Dunia U-20 1979, Timnas Indonesia U-20 bersua Argentina. Pertandingan ini heboh karena ada sosok Diego, yang saat itu berstatus wonderkid.
Ketika itu, ada dua pemain dengan bentuk fisik dan gaya permainan yang sama bentrok, yakni Zulkarnain Lubis dan Diego Maradona. Keduanya sama-sama berambut kribo, plus berpostur bogel.
Zulkarnain Lubis, dijuluki banyak media sebagai Maradona Indonesia. Dalam sebuah perbicangan santai dengan almarhum Zulkarnain di pendopo sebuah hotel tradisional di Yogyakarta, yang bersangkutan bercerita banyak soal momen bersejarah dalam hidupnya.
"Saya enggak banyak cerita ke orang, kalau jelang kick-off pertandingan itu kedua kaki saya gemetar. Gila, saya bertemu Maradona. Ada beban karena aksi saya di lapangan kerap disamakan dengan Maradona. Padahal kalau mau jujur apa lha saya ini. Maradona itu pemain hebat, saya hanya pemain kampung," kata Zulkarnain dengan tatapan mata tajam.
"Jika Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 1986, mungkin saya lebih tenar dibanding dia. Kami beda nasib. Diego Maradona kaya raya setelah masa jaya, sementara saya sempat hidup susah," timpalnya lagi dengan tertawa.
Timnas Indonesia U-20 seperti mendapatkan durian runtuh kala itu. Sebab, tiket ke Piala Dunia U-20 1979 yang berlangsung di Tokyo, Jepang, tidak didapat melalui jalur kualifikasi, melainkan karena alasan politis.
Seharusnya juara dan runner-up Piala Asia Junior 1978, Korea Selatan dan Irak, yang berhak lolos, tapi ternyata nasib mujur menimpa Timnas Indonesia U-20.
Irak mengundurkan diri dan Korea Utara yang ditunjuk sebagai pengganti menolak untuk tampil. Timnas Indonesia U-20 yang gugur di perempat final Piala Asia Junior 1978 akhirnya yang terpilih mengikuti putaran final Piala Dunia U-20 1979 digelar 25 Agustus-7 September 1979.
Hasil undian Piala Dunia U-20 1979 menempatkan Timnas Indonesia U-20 bersama Argentina, Polandia, dan Yugoslavia di Grup B, yang kala itu tergolong sebagai grup neraka.
Bisa ditebak, Timnas Indonesia U-20 tidak mampu berbicara banyak meladeni lawan-lawannya, termasuk ketika menghadapi Timnas Argentina. Anak asuh Soetjipto Soentoro tumbang 0-5 dari Diego Maradona cs.
Ada dua pemain Argentina yang menjadi bintang lapangan pada laga itu. Yang pertama, sudah pasti Diego Maradona. Dia mencetak dua gol ke gawang Timnas Indonesia U-20. Tiga gol Argentina lainnya diborong oleh tandem Diego Maradona di lini depan, Ramon Diaz.
"Asli Maradona memang jago. Bola seperti lengket di kakinya," komentar Mundari Karya, bek Timnas Indonesia U-20 yang ditugasi secara khusus mengawal pergerakan sang legenda.
Pertemuan antara Indonesia melawan Argentina dikenang hingga kini, melebihi pencapaian Tim Merah-Putih sendiri di ajang turnamen yang hanya jadi ayam sayur.
Netizen +62 mendadak heboh saat Diego Maradona di akun Instagram pribadinya pada 28 Agustus 2020 memajang foto laga ini. Hal tersebut jadi sebuah kebanggaan, mengingat kenyataan pahitnya sepak bola Indonesia hingga puluhan tahun selanjutnya setelah ajang Piala Dunia U-20 masih jalan di tempat.
Jangankan lolos ke Piala Dunia, berlaga di pentas Piala Asia menjadi sesuatu yang sulit menjurus mustahil. Sepak bola Indonesia lebih banyak disuguhi drama konflik PSSI dibanding sensasi pertandingan di lapangan hijau.
Kenangan Jersey
Ini mungkin terkesan subjektif, buat penulis Diego Maradona adalah yang terhebat. Bahkan dibanding Pele sekalipun. Meminjam jargon andalan pelawak beken Cing Abdel ini sifat No debat! Suka-suka saya. Sekali-kali boleh dong curcol.
Ini kan pilihan saya pribadi, bebas saja kalau pembaca Bola.com punya pendapat berbeda. Dibawa asyik saja.
Argumennya?
Lionel Messi, yang kerap dijuluki Greatest of All Times (GOAT), boleh banjir gelar bersama Barcelona. Tapi dia belum pernah memenangi gelar prestisius apa pun bersama Argentina. Faktanya Messi hebat karena ia dikelilingi pemain-pemain luar biasa lainnya jebolan La Masia.
Begitu generasi emas akademi legendaris ini macam Xavi dan Andres Iniesta mulai uzur dan pensiun, ia seperti kesulitan menjaga dominasi Barcelona di pentas La Liga dan Liga Champions. Sampai detik ini Messi tak pernah keluar dari sarang Camp Nou.
Bandingkan dengan Maradona yang berani memilih meninggalkan kemapanan di Barcelona menuju klub antah berantah Napoli untuk kemudian memenangi gelar Serie A musim 1986-1987 dan kemudian 1989-1990.
Hebat mana Cristiano Ronaldo dengan Maradona? Sama seperti Messi, CR7 yang juga ada di level dewa dengan seabrek piala, mencapai kesuksesan di klub-klub mapan. Manchester United, Real Madrid, dan Juventus, klub-klub raksasa bertabur bintang yang tak perlu berdarah-darah untuk memenangi kompetisi atau turnamen besar.
Meminjam komentar pedas striker AC Milan, Zlatan Ibrahimovic, saat Ronaldo memutuskan pindah ke Juventus tiga musim silam: "Ronaldo tak mencari tantangan. Juventus tim besar di Italia. Jika ia mencari tantangan ia akan datang ke klub lainnya."
Bagaimana dengan Pele? Ya, benar ia satu-satunya pemain yang memenangi tiga Piala Dunia. Tapi, gelar 1958, 1952, dan 1970 diraih tidak sendirian.
Timnas Brasil dihuni pemain-pemain hebat lainnya saat itu. Garrincha, Zito, Carlos Alberto, adalah deretan pesepak bola ajaib dengan skill individu di atas rata-rata. Saya ingatkan lagi, ini No Debat!
Maradona pemain yang bisa mengubah peruntungan sebuah tim. Ia hanya didampingi bintang Brasil semenjana macam Careca dan Alemao, saat memenangi gelar Serie A bersama Napoli. Para pemain Timnas Argentina di Piala Dunia 1986 hanya seperti pelayan bagi Maradona. Nama mereka ikutan populer karena aksi memesona Maradona
Gary Lineker, top scorer Piala Dunia 1986 asal Inggris mengaku punya perasaan campur aduk saat negaranya dipecundangi Argentina di fase perempat final. Tim Tango menang 2-1, sebuah gol dicetak Maradona dengan tangan. Istilah Gol Tangan Tuhan menjadi populer saat itu.
Â
"Maradona melakukan hal tak sportif, tapi hal itu tak mengurangi kehebatannya. Kalaupun saat itu gol Tangan Tuhan dianulir wasit, kami belum tentu menang. Maradona membuat orang langsung lupa dengan gol kontroversialnya, setelah ia kemudian mencetak gol sensasional menggiring bola dari tengah lawan melewati banyak pemain. Saya pribadi sempat bersorak dalam hati kagum dengan gol itu. Dia pantas memenangi Piala Dunia," tutur Gary dalam film dokumenter produksi BBC yang mempertemukannya kembali dengan Maradona di kampung halamannya.
Â
Gary ceplas-ceplos menanyakan langsung soal Gol Tangan Tuhan ke Maradona dalam sesi perbincangan empat mata penuh keakraban. "Diego, jadi siapa yang mencetak gol Tangan Tuhan?"
Jawab Maradona: "Ya, saya melakukannya dengan tangan. Tangan yang diberkahi Tuhan," ucapnya enteng.
"Tenang, kami sudah melupakannya, gol kedua kamu luar biasa," timpal Gary sambil tersenyum.
Secara pribadi penulis tidak mengenal sosok pribadi Maradona. Bersua langsung dalam momen kerja jurnalistik pun juga belum pernah. Namun, keajaiban yang ia buat di lapangan hijau berpengaruh besar dalam kehidupan pribadi dari masih bocah hingga saat ini.
Eks pesepak bola dengan rekor 34 gol dari 91 penampilan di Timnas Argentina membuat saya memercayai keajaiban itu ada di dalam sepak bola. Hidup mengajari mentalitas pemenang dan semangat pantang menyerah.
Pigura foto aksi The Golden Boy masih terpajang rapih di dinding kamar ruang kerja saya. Juga foto prewedding dengan kostum Napoli dan Argentina dengan nomor punggung kebesaran sang legenda di area ruang tamu.
Walau tak sempat bersua secara langsung saat Anda mengunjungi Indonesia, terimakasih mau menandatangani jersey Timnas Argentina milik saya. Banyak orang akan merindukan Anda Senor.Â
Adios, Diego Armando Maradona. Gracias!
Advertisement