Sukses


Cerita Bola: 5 Hari Jadi Sultan di Armenia, Bukti Cinta kepada Henrikh Mikhtaryan dan Arsenal

Bola.com, Jakarta - Tidak terasa, tahun 2020 hampir berakhir. Saya, Anda semua, dan seluruh manusia di dunia, menghadapi situasi menyedihkan sepanjang tahun pandemi ini.

Saya, sudah sejak awal Maret 2020 bekerja dari rumah. Tak banyak yang bisa saya lakukan kecuali bekerja, memasak, bikin kue walau gagal melulu, mendekorasi kamar, nungguin paket olshop, ujung-ujungnya nonton drama Korea sambil rebahan. Alhasil, saya pun sakit pinggang dua minggu lalu. Hiks.

Sudah setahun lebih pula, saya tidak naik pesawat. Jangankan ke Bali atau luar negeri, pulang kampung saja masih belum berani. Dan, hasrat berkelana saya meronta-ronta tiap kali memandang foto-foto dan video perjalanan yang lama.

April 2019, literally, kata anak Jaksel, perjalanan jauh terakhir saya sebelum pandemi COVID-19 melanda dunia.

Tujuan utama saya waktu itu: Armenia. Ya, negara itu adalah asal leluhur Kim Kardashian. Lho? Maksud saya, Henrikh Mkhitaryan, mantan gelandang Manchester United dan Arsenal yang kini bersegaram AS Roma.

Saya satu di antara penggemarnya ketika memperkuat Arsenal. 

Saya bertemu dengan Mkhitaryan ketika Arsenal berlaga pada ajang International Champions Cup 2018 di Singapura. Kebetulan, pada waktu itu saya mendapat tugas untuk meliput. Saya menemuinya di mixed zone seusai laga Arsenal vs Atletico Madrid. Sambil meminta tanda tangan, saya berkata akan mengunjungi Armenia.

“Anda tahu negara saya. Jauh, tapi menyenangkan,” kata Mkhitaryan sambil tersenyum dan saya pun oleng.

Kalimat itu saja membuat saya makin mantap jalan-jalan ke Armenia. Pilihan saya memang mengunjungi negara asal pemain Arsenal yang antimainstream, hahaha.

Perjalanan saya dimulai dari Turki, berbekal tiket promo dari pohon duitnya Manchester City, Etihad. Setelah berlibur beberapa hari, saya langsung menuju Yerevan, ibu kota Armenia, menggunakan maskapai low cost yang berbasis di Yunani, Aegean.

Begitu tiba di Bandara Zvartnots, Yerevan, adem rasanya. Petugas imigrasi dengan ramah menyambut kedatangan saya.

"Welcome to Armenia! Have a nice holiday," kata sang petugas.

Saya merasa makin adem dan tentram karena buat turis low budget yang mengandalkan tiket geledek dan epic sale, biaya jalan-jalan di Armenia sangat terjangkau.

Saya hanya mengeluarkan uang 500 dram Armenia atau sekitar Rp15 ribu untuk airport transfer menuju ke pusat kota. Murah banget! Petualangan saya jadi sultan di Armenia pun dimulai! (Kim Kardashian tertawa melihat ini..)

Video

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 5 halaman

Sekali-kali Jadi Sultan

Ya, di Armenia semua serba murah. Ini pertama kali saya jalan-jalan di luar negeri tanpa memikirkan kurs rupiah. Benar-benar jadi sultan, sultan versi saya.

Saya menginap di hostel yang harga sewa per malamnya hanya Rp60 ribu, di Jakarta aja enggak dapat. Fasilitasnya pun sangat lengkap. Ada empat ranjang dalam satu dormitori wanita. Ada dapur dengan alat masak yang lengkap (ini penting untuk masak mie instan), mesin cuci, ruang berkumpul, dan meja kerja.

Naik metro atau kereta bawah tanah, bayar Rp5 ribu saja. Naik angkutan dalam kota, walau bentuknya jadul, sangat terjangkau, rata-rata Rp3 ribu sekali jalan. 

Mau wine? Tinggal ke minimarket, berjejer aneka minuman anggur dengan harga paling murah Rp50 ribuan!

Soal makan, lagi-lagi saya jadi sultan. Contohnya, makan mewah dengan menu ikan, sup, sosis, kentang, plus sebotol sampanye dan air mineral, cuma Rp180 ribu untuk dua orang. Porsinya pun luar biasa, big! Atau beli paket kentang dan sosis, cuma Rp45 ribu dapat sekebon.

Kesan kedua terhadap negara bekas Uni Soviet itu ialah super nyaman. Menurut saya, tingkat keamanan di Yerevan setara Singapura dan keramahan penduduknya seperti di Jepang.

Di negara ini pula saya memberanikan diri hitchhiking alias nebeng orang karena kepepet sudah tidak ada angkutan dan taksi lewat. Sultan kok nebeng..

Orang-orang Armenia agak asing dengan turis Asia Tenggara. Kebanyakan, mereka mengira saya dari China. Di pasar, saya selalu disapa ni hao, tapi mereka sangat ramah. 

Jalan-jalan di Armenia. Vazgen Sargsyan Republican Stadium, Yerevan (AFP/Franck Fife)

Ada banyak momen yang berkesan dengan penduduk lokal. Ketika naik taksi ke Gharni Monastery, saya dan teman seperjalanan ditawari singgah ke rumah si sopir. Di sana, kami disuguhi kopi, kue, manisan buah apricot, dan brandy segentong! Armenia memang dikenal sebagai produsen brandy.

Lalu, saat berbelanja tas homemade di pasar tradisional, saya ditawari minum dan apel oleh si penjual.

Orang-orang Armenia cukup fasih berbahasa Inggris. Kesulitan yang saya temui ialah hampir semua petunjuk jalan dan tulisan di bus dan angkot menggunakan alfabet Armenia, jelas saya tidak bisa membacanya.

Beruntung, saya dapat teman jalan seorang turis Rusia yang berada dalam satu dormitori. Orang Rusia kebanyakan bisa berbahasa Armenia, begitu juga sebaliknya.

Selama di Armenia, saya mengunjungi beberapa monastery, di antaranya Tatev, Geghard, Gharni, dan reruntuhan Zvartnots Cathedral (dibangun pada abad ke-7). 

Armenia membuat saya terkesan. Keramahan penduduknya, kota yang bersih dan lengang, semua serba murah, pemandangan pegunungan Kaukasus yang eksotik, hingga bangunan di kota yang klasik.

Banyak agen tur lokal yang menyediakan paket jalan-jalan harian. Harganya pun sangat murah, mulai Rp 300 ribuan saja. Ikut paket tur wajib karena lokasi tempat-tempat wisata di luar kota Yerevan jauh.

Pengalaman jadi sultan berikutnya ialah nonton Armenian National Phillarmonic Orchestra. Saya hanya membayar Rp85 ribu saja untuk menikmati konser musik klasik dua jam lamanya. Saya jadi ingat waktu ngetrip di Praha, Republik Ceska. Saya pengen nonton orkestra. Tapi, saya mundur teratur setelah tahu harga tiketnya paling murah 115 euro. Yah, diketawain sandal jepitnya Kylie Jenner, deh..

Saya lalu mengunjungi satu di antara stadion besar di Yerevan, yaitu Vazgen Sargsyan Republican Stadium. Stadion ini merupakan markas Timnas Armenia yang digunakan untuk pertandingan kualifikasi Piala Eropa 2020 dan Piala Eropa U-19 2019. Sayangnya, tidak ada event saat saya berkunjung ke sana.

3 dari 5 halaman

Henrikh Mkhitaryan, Pemain Bola Paling Terkenal

Henrikh Mkhitaryan adalah pesepak bola paling terkenal di Armenia. Menurut warga, semua orang Armenia kagum padanya. Kalau bicara sepak bola, ya Mkhitaryan.

Di mata orang Armenia, Mkhitaryan adalah kebanggaan. Di semua toko-toko olahraga, pasti menjual jersey Mkhitaryan. 

"Dia yang paling menonjol di antara pemain bola asal Armenia. Makanya hampir semua orang di sini mengidolakan dia, terutama anak-anak," kata penjaga hostel tempat saya menginap.

Soal sepak bola lokal, Armenia hanya memiliki 10 klub yang berlaga di liga utama. FC Pyunik, adalah klub yang paling banyak memenangi gelar, 14 kali. Pyunik merupakan klub pertama Mkhitaryan, dari tim junior (1995) hingga 2009.

"Tiket pertandingannya sangat murah. Tapi, sepak bola di sini biasa saja, setelah Mkhitaryan gabung Manchester United, euforia sepak bola di negara saya makin besar," imbuhnya.

"Ya, saya dan teman-teman sekolah tahu dia sejak main di MU," lanjutnya lagi. Saya pun manggut-manggut, sambil merengut.

Gelandang AS Roma, Henrikh Mkhitaryan mengontrol bola saat bertanding melawan CFR Cluj selama pertandingan grup A Liga Europa di Cluj-Napoca, Rumania (26/11/2020). AS Roma menang 2-0 atas CFR Cluj. (AFP/Alex Nicodim)

Micky, panggilan akrab Mkhitaryan, yang juga menjadi kapten Timnas Armenia, adalah orang Armenia pertama yang bermain di Liga Inggris dan meraih trofi kompetisi elite Eropa, yakni saat berseragam Manchester United. Micky mencetak gol kedua MU pada partai final Liga Europa 2017 melawan Ajax.

Micky, oleh orang Armenia dipanggil Heno. Ia menguasai enam bahasa, yakni Armenia, Rusia, Inggris, Jerman, Prancis, dan Portugis. Ia juga lulusan Armenian State Institute of Physical Culture. Ia juga mengenyam pendidikan di St. Petersburg Institute of Foreign Economic Relations.

Saya ABG 1990-an. Sejak era Dennis Bergkamp, saya menyukai Arsenal. Ya, di antara klub-klub Eropa saat itu, cuma Arsenal yang bikin saya tertarik. Dulu, buat saya, klub Serie A jadi pengecualian karena banyak pria tampan bertebaran di sana. Jadi, saya suka semua, asal ada yang ganteng, hehehe.

Mungkin karena sudah lama Arsenal melempem, saya pun sudah enggak baper. Apalagi sejak pertengahan 2000-an, saya lebih melokal, suka PSIS Semarang. 

Saya pun enggak baper waktu Micky dipinjamkan ke AS Roma dan sekarang sudah permanen. Sudah biasa lah pemain pindah-pindah. Yang penting, dia masih eksis di manapun berada.

Seharusnya sih, saya ke London nonton Arsenal di Emirates Stadium. Tapi, memang belum kepengen banget jalan-jalan ke Inggris. Faktor dompet jadi alasannya. Lha wong piknik di Eropa Barat pipis bayar 3 euro saja masih enggak rela sampai sekarang..

Yak, cosplay jadi sultan pun berakhir. Hahaha.

4 dari 5 halaman

Drama di Perbatasan

Setelah lima hari, piknik saya di Armenia pun tuntas. Ada sedikit drama di pengujung trip.

Ceritanya, saya melanjutkan perjalanan ke Georgia via darat. Pada waktu itu, hanya ada satu pilihan transportasi dari Yerevan ke Tbilisi (ibu kota Georgia), yakni travel. Dan, karena penumpang hanya tiga, travel pun dibatalkan.

Alhasil, saya nekat bergabung dengan dua penumpang lain untuk menyewa mobil ke Tbilisi. Satu penumpang ialah dokter asal Armenia, yang lainnya pria asal Peru yang baru berkunjung ke rumah pacarnya. Saya yang jomblo pun merintih melihat adegan mesra ketika sepasang kekasih itu berpamitan.

Di tengah perjalanan, tepatnya di perbatasan darat Armenia-Georgia (Bagratashen - Sadakhlo), si pria asal Peru itu tertahan di imigrasi Armenia karena overstay. Kami pun tinggal dua orang melanjutkan perjalanan malam hari ke Tbilisi.

Ini menjadi pengalaman seru sekaligus ternekat saya sepanjang sejarah jalan-jalan. Tapi, saya selalu percaya, di manapun pasti ada orang baik. Kita berbuat baik, maka Tuhan akan mempertemukan kita dengan orang baik. 

Sopir dan satu penumpang lain, si dokter itu, benar-benar ramah dan tidak membuat saya canggung. Kami pun mengobrol sepanjang perjalanan dan tibalah saya di Georgia.

Saya mendapat pengalaman baru begitu tiba di Tbilisi. Di kota itu, ada lebih banyak ekspatriat dan didominasi warga India. Selain itu, turis pun lebih beragam. Ada dari Azerbaijan, Israel, China, bahkan saya bertemu backpacker dari Vietnam. Orang-orang Turki sangat banyak di Georgia karena mereka hanya butuh KTP saja untuk masuk, begitu juga sebaliknya.

Pengalaman lainnya ialah, bertemu orang Azerbaijan. Saya sangat hati-hati, merasa tidak enak jika menyebut Armenia dalam trip saya. Sebenarnya mereka tidak masalah sih, tapi sayanya aja yang segan.

Armenia dan Azerbaijan terlibat perang sejak tahun 1988. Saya senang membaca berita terkini, Armenia dan Azerbaijan, ditengahi Rusia, gencatan senjata. Semoga kedua negara itu segera berdamai.

Saya pun batal mengunjungi Azerbaijan, padahal awalnya berencana mengikuti pemilu di Baku. Sebagai informasi, di Armenia tidak ada Kedutaan Republik Indonesia. Untuk Armenia dan Georgia, masuk Kedutaan RI di Kiev, Ukraina.

Azerbaijan juga masuk bucket list saya. Kalau ada kesempatan, saya pasti akan berkunjung. Apalagi, Azerbaijan sudah beberapa kali jadi venue ajang sepak bola Eropa, termasuk final Liga Europa 2019, yang mempertemukan Chelsea dan Arsenal.

 

5 dari 5 halaman

Pandemi dan Rindu Sepak Bola Indonesia

Pandemi COVID-19 memukul banyak sektor kehidupan manusia. Pariwisata dan olahraga, dua di antara yang merasakan dampak besar dari pandemi ini.

Mayoritas liga sepak bola di dunia memang sudah dimulai lagi. Tetapi, atmoster jauh berbeda karena tak ada penonton. Kami di Jakarta, juga harus bersabar untuk kembali menyaksikan sepak bola lokal yang belum juga dimulai.

Dan yang paling akut ialah, kangen sekali nonton Timnas Indonesia. Uji coba Timnas Indonesia U-19 di Kroasia beberapa waktu lalu cukup menghibur. 

Tapi, bagi jurnalis olahraga, sedih memang setelah sekian lama tidak berkunjung ke stadion.

"Terakhir ke lapangan waktu Timnas Indonesia uji coba melawan Persita, Februari," kata jurnalis Bola.com, Muhammad Adiyaksa.

Rekan Adiyaksa, Fitri Apriani, beruntung bisa berkunjung ke Birmingham, Inggris, meliput Garuda Select, sebelum pandemi benar-benar parah.

"Itu juga lumayan deg-degan karena sudah mulai wabah, kan. Alhamdulillah aman sampai perjalanan pulang," kata jurnalis Bola.net itu.

Tak dipungkiri, kami semua rindu sekali kembali ke lapangan. Masih inget betul dua tahun lalu, kami hura-hura di Asian Games. Tepat setahun yang lalu, kami juga meliput SEA Games di Manila. Tidak pernah terbayangkan setahun kemudian semua agenda olahraga benar-benar vakum.

Kalau saya, sampai lupa kapan terakhir ke stadion karena 100 persen pekerjaan saat ini berada di meja. Tapi, saya sangat bersyukur karena masih bisa bekerja, berkarya, dan yang penting sehat. 

Rasanya tak sabar untuk memulai tahun depan, dengan harapan pandemi ini cepat berlalu. Ada puluhan agenda menanti dan saya berharap tidak ditunda lagi.

Amin.

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer