Bola.com, Jakarta Sudah 15 tahun Rio Haryanto malang melintang di dunia balap. Berbagai suka dan duka telah dilaluinya, hingga ia saat ini bertengger di peringkat kedua klasemen sementara GP2. Pebalap asal Solo itu masih memelihara asa untuk mencicipi arena F1. Apa harapan Rio selanjutnya? Saat berkunjung ke redaksi Bola.com di SCTV Tower, Jakarta, Jumat (31/7/2015), Rio pun bersedia buka-bukaan tentang karier, harapan, hobi, dan cinta. Berikut penuturannya.
Selain Indonesia, bahasa apa saja yang sekarang sudah Anda kuasai?
Advertisement
Bahasa Jawa dihitung tidak? Hahaha. Berarti bahasa Indonesia, Inggris, dan sedikit bahasa Spanyol.
Alasan apa yang membuat Anda pindah dari tim EQ8 Caterham Racing ke Campos Racing musim ini?
Pertama Campos Racing memiliki potensi, karena tahun lalu mereka memiliki pebalap rookie of the year. Kami merasa Campos memiliki mobil, settingan, dan kru yang kompetitif. Saya bisa saya bekerja sama (dengan mereka). Saya sangat senang bergabung dengan Campos. So far musim ini berjalan bagus.
Musim ini bisa dibilang yang terbaik untuk Anda di GP2. Apa perubahan yang Anda rasakan di Campos Racing sehingga hasilnya seperti ini?
Bisa dibilang agak sedikit surprise. Tahun ini saya memutuskan tinggal di Valencia, Spanyol, baru sekali ini pulang ke Indonesia. Saya bekerja keras mengetahui mobil lebih dalam dan berlatih dengan simulator di markas Tim Campos. Itulah kunci saya bisa tampil konsisten di enam seri. Saya hanya tidak mendapatkan poin di Monaco, karena ada sedikit kesalahan teknis di sana. Setelah itu saya selalu dapat poin cukup banyak, sekarang di tengah musim saya menduduki posisi kedua klasemen.
Apa sirkuit favorit Anda? Lalu sirkuit mana yang paling sulit?
Saya sangat suka Sirkuit Silverstone. Apalagi saya menang di sana, jadi tambah suka. Untuk sirkuit paling sulit...setiap sirkuit punya kesulitan berbeda. Monaco adalah salah satu sirkuit tersulit, sangat narrow, kami tak bisa membikin kesalahan sedikit pun. Kalau bikin kesalahan, mobil akan mengalami kerusakan besar.
Anda mengidolakan Ayrton Senna. Mengapa?
Saya sangat suka filosofi dia. Dia pembalap yang sangat fokus, sangat intens, sangat kritis pada dirinya sendiri. Bisa dibilang dia selalu mengevaluasi dirinya sendiri dengan sangat cermat. Jadi saya merasa memang pebalap harus mengevaluasi diri sebanyak-banyaknya supaya bisa improve. Mungkin banyak faktor di balap, ada mobil, teknis, kru, dan tim tim yang harus bekerja sama. Tapi more than that, dari segi driver sendiri harus memiliki kontrol for everything. Itu yang saya sukai tentang Ayrton Senna.
Anda sangat dekat dengan ibu. Tapi, adakah orang lain yang sering diajak berbincang tentang karier atau urusan lain?
Ada pelatih saya Dennis Van Rhee. Ada juga Moises Villa (trainer) yang selalu menjaga saya ketika ada sedikit masalah, mungkin badan dan fisik. Mereka yang memberikan saya motivasi. Saya sangat bersyukur dan berterima kasih atas adanya mereka di samping saya, selain keluarga.
Tak ada orang yang sempurna. Apa kesalahan besar dalam hidup yang malah memotivasi Anda?
Tahun lalu bisa dibilang tahun yang cukup mengecewakan. Saya berharap sangat tinggi untuk mendapatkan hasil bagus di GP2, tapi ternyata tidak memuaskan. Saya sempat down tahun lalu. Saya sangat kesulitan untuk menjadi juara. Hanya mendapat satu podium. Tapi di akhir tahun lalu saya mengubah gaya pikiran. Saya memilih untuk selalu think positive dan itu salah satu kunci kesuksesan. Itu salah satu yang saya ubah tahun ini.
Pada 2013 Anda dilatih Dennis. Pada 2014 tidak, lalu pada 2015 kembali bersama Dennis. Ada pengaruhnya atau tidak kehadiran Dennis?
Berpengaruh. Saya merasa cocok dengan semuanya, dengan tim, dengan trainer, dengan dukungan masyarakat, dukungan keluarga. Untuk sukses sebagai atlet butuh mental kuat. Saya merasa Dennis menangani saya dengan full of motivation. Bisa dibilang 2014 saya cukup down, kemudian dengan adanya dia saya bisa bangkit kembali. Dia salah satu orang yang membangkitkan saya.
Baca juga:
Kejutan! Toni Elias Kembali ke MotoGP