Bola.com, Jakarta - Alfin Tuasalamony (22) terbengong tak menentu, sesekali dia menggerak-gerakkan jemarinya di layar handphone untuk mengusir kejenuhan. Meski memiliki masa depan yang cerah tapi pria asal Tulehu itu kini hanya bisa duduk manis di kursi ruang tamu rumah pamannya di kawasan Rawasari, Jakarta Timur.
Sesekali dia ingin mengusir kebosanan dan keluar rumah untuk menghirup udara segar sembari melemaskan otot-otot kakinya. Jika sudah seperti itu, alat pertama yang ia cari tentunya adalah tongkat kruk. Alat bantu berjalan itu memang dibutuhkannya karena dia baru saja mendapatkan kecelakaan akhir April 2015 silam.
Advertisement
Alfin yang tengah duduk-duduk santai di pelataran ATM Center di kawasan Kalibata, Jakarta Timur, secara tiba-tiba diseruduk mobil yang baru masuk pelataran parkir di dekat ATM Center. "Kejadiannya begitu cepat, saya tidak bisa menghindar," ungkap Alfin.
Di tengah kesedihannya Alfin banyak bercerita ke Bola.com masa-masa indahnya saat menjalani program pelatnas jangka panjang SAD di Uruguay dan Belgia kala memperkuat klub Divisi Dua CS Vise.
"Saya di Vise satu setengah musim (2011-2013). Baru seminggu berada di Eropa, saya sudah kangen rumah. Beruntung ada Yandi Sofyan yang memberi dukungan, selain dia ada juga Demis Djamaoeddin (Ketua High Performance Unit Badan Tim Nasional)."
Alfin mengenang masa-masa sulit saat dirinya berangkat ke Uruguay tahun 2008. Ia terpilih masuk program pelatnas jangka panjang PSSI yang didanai pengusaha, Nirwan Dermawan Bakrie (NDB) setelah tampil memesona di ajang Piala Medco U-15 pada 2007.
Alfin mengaku sempat tidak kerasan di negara asal Luis Suarez tersebut. Ia terus teringat dengan ibundanya, Afifa Tuasamu serta kedua adiknya, Aldi Tuasalamony dan Norma Tuasalamony.
Semenjak ayahnya meninggal dunia, Alfin putra tertua jadi tulang punggung keluarga yang menetap di Ambon, Maluku. Lewat sepak bola ia membelikan rumah buat dipakai tinggal ibundanya. "Lewat sepak bola saya ingin kehidupan keluarga saya terangkat," cerita Alfin yang kehidupannya diangkat ke layar lebar dengan judul film Cahaya dari Timur.
Alfin sempat cengeng dan ingin pulang ke Tanah Air saat di Uruguay. Namun, Demis Djamaoeddin yang mendampingi Tim SAD di Uruguay memberi penguatan.
"Bang Demis berujar 'Alfin. Ada dua pilihan, pilihan pertama adalah kamu berlatih secara serius dan nama kamu akan dikenal di Indonesia, pilihan kedua kamu mengobati kerinduan sekarang tapi tak akan mendapat apa-apa. Dari situ, mata saya mulai terbuka." tutur pria 22 tahun tersebut.
Karier Alfin melesat di Uruguay. Di antara para pemain SAD ia digaet Vise, yang kebetulan mayoritas sahamnya dimiliki Nirwan Bakrie. Satu setengah musim di sana, ia jadi pemain yang paling sering tampil sebagai pemain inti. Walau prestasi klub tak bagus di level Divisi Dua Belgia, nama Alfin jadi perbincangan.
Ia disebut-sebut media lokal Belgia sebagai salah satu talenta muda berbakat asal Indonesia. Pemandu bakat asal Bologna (Italia) dan Benfica (Portugal) sempat memantau kemampuan sang pemain langsung ke Belgia.
"Saya bersama Vice President CS Vise, Roberto Regis Milano sempat membicarakan kemungkinan Alfin ke Bologna atau Benfica. Tawaran resmi telah disampaikan kedua klub," cerita Lalu Mara Satriawangsa, salah satu orang kepercayaan NDB yang duduk jadi petinggi CS Vise.
Sayangnya, hingga kontraknya berakhir di CS Vise pada 2013 angan-angan Alfin menetap di Eropa tak terwujud. "Saya akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia. Jujur saja, tinggal di Eropa lama-lama buat saya pribadi tidak menyenangkan. Saya selalu dihinggapi rasa kangen bertemu mama dan kedua adik," tutur Alfin.
RASA MENYESAL
Selepas membela Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2013 Myanmar, Alfin menerima pinangan Persebaya Surabaya. Padahal, saat bersamaan ia ditawari mengikuti trial di klub Ventforet Kofu (Jepang) dan DC United. Keputusan sang pemain yang lebih memilih bermain di Indonesia sempat menimbulkan pertanyaan banyak orang.
"Jujur saja sekarang ini kadang-kadang sering timbul rasa penyesalan. Andaikan bermain di luar negeri karier saya lebih maju lagi," ujar Alfin.
Di Persebaya Surabaya, Alfin merasakan pahit tersendat pembayaran gaji. Kondisi serupa kembali dialaminya pada musim 2015. Alfin yang mengikuti jejak pelatih, Rahmad Darmawan, pindah ke Persija Jakarta nasibnya terkatung-katung.
Dengan alasan kompetisi ISL 2015 terhenti karena konflik PSSI-Kemenpora yang kemudian membuat pemasukan klub tersendat, manajemen Tim Macan Kemayoran belum juga[ melunasi tunggakan gaji ](2261281/ "")pemain kelahiran 13 November 1992.
"Makin sedih rasanya setelah saya jadi korban tabrakan. Kalau bisa mengulang kembali, saya akan ambil jalan berbeda. Di Eropa, tidak ada yang namanya gaji mampet, di sini sudah biasa itu terjadi. Menyesal juga sih kembali ke Indonesia," jelas pemain yang menangis saat laga Trofeo Charity Matches "AlfinBisa", untuk membiayai pengobatan cederanya di Lapangan Pertamina, Simprug, Jakarta, Minggu (28/6/2015).
"Tapi hidup harus berlanjut, saya tidak boleh terjebak dengan penyesalan. Saya hanya bisa berdoa semoga suatu saat nanti bisa kembali bermain sepak bola lagi demi ibu dan kedua adik saya."
KENANGAN DI EROPA
Alfin kemudian berbicara soal perbedaan antara suasana ruang ganti pemain klub Eropa dengan Indonesia. Menurut pemain yang berposisi sebagai bek sayap kanan itu, semasa di Vise suasana jauh lebih cair.
"Di Persija, saya tidak berani banyak berbicara paling kalau sudah ada pemain yang memulai bercanda, baru saya menimpali. Kalau sendiri, saya takut, lebih banyak diam, hahaha..."
"Di Eropa, tak ada status pemain bintang dan para pemain yang sudah lama berada di klub memberikan saran. Namun bukan berarti pemain Persija sombong-sombong, saya kan juga statusnya anak baru. Mereka juga belum terlalu kenal dekat dengan saya," sepintas sedikit tawa Alfin membuatnya melupakan sejenak kesengsaraanya.
"Tapi kalau bicara suporter di Belgia kalah jauh. Lihat saja sekarang ini. Saya baru dua kali bermain buat Persija di laga resmi, tapi saya diperlakukan seperti pemain yang telah lama oleh kelompok suporter The Jakmania. Fanatisme yang luar biasa," sambung Alfin.
Saat bercerita tengan kehidupannya di Eropa, Alfin juga dengan sukarela bercerita pengalaman kocaknya. Alfin mengaku sempat tertarik merajah badannya dengan sebuah tato.
"Sempat terpikir untuk membuat tato, suatu hari saya diajak oleh Federico Conti yang sekarang jadi kapten Catania U-23. Sudah datang ke tempat pembuatannya, saya kemudian melihat bor tato menyentuh Federico. Langsung saya pikir: "Ah tidak jadi! Itu seram sekali, terngiang-ngiang di kuping rasanya mendengar suara bor tato!"
"Tak pikir panjang, saya lari tunggang langgang dan besoknya saya bertemu dengan Federico, dia berkata: 'Ah kamu penakut sekali seperti wanita.' Namun saya tak peduli. Dipikir-pikir ada-ada saja cerita selama di Eropa," tutup Alfin sembari tersenyum.
"Alfin lebih dari sekadar teman buat saya. Ia sahabat terbaik saya. Banyak pengalaman susah dan senang kami alami di Uruguay dan Belgia," papar Syamsir Alam, striker Pelita Bandung Raya kompatiot Alfin di SAD dan CS Vise.
Bantuan dari rekan-rekan seprofesi lewat ajang Trofeo Charity Matches bertajuk "Alfin Bisa" amat berarti bagi Alfin. Harapan agar sang pemain bisa menjalani proses pemulihan patah kaki dengan fasilitas terbaik terbuka. Tidak seperti selama ini di mana Alfin harus menjalani pengobatan di kelas bawah RSCM.
Alfin yakin kalau keapesannya ini hanya sebuah sandungan kecil dalam kariernya. Dia ingin mendapatkan lebih banyak cerita dan berharap suatu hari nanti bakal kembali berpentas di Eropa. Jangan menyerah Nyong!
Baca juga :
Karier Sepak Bola Alfin Tuasalamony di Persimpangan (1)
Alfin Tuasalamony Kapten Timnas Indonesia U-23 Berjuang Sembuh dari Cedera
COVER STORY : Karier Sepak Bola Alfin Tuasalamony di Persimpangan