Bola.com - Boaz Theofilius Erwin Solossa dikenal sebagai loyalis tulen. Semenjak menekuni karier profesional pada 2005 silam, striker kelahiran Sorong, 16 Maret 1986 tidak pernah pindah klub.
Boaz identik dengan klub kebanggaan masyarakat Papua, Persipura Jayapura. Bomber yang namanya meroket saat tampil membela Tim Papua di Pekan Olahraga Nasional 2004 sulit digoda gelimang materi.
Advertisement
Sebelum resmi jadi pemain Persipura, Boaz yang jadi rising star Timnas Indonesia di Piala AFF 2004, sempat ditawari Peter Withe, pelatih Tim Merah-Putih kala itu, untuk mencoba peruntungan di kompetisi Eropa.
Peter, yang notabene legenda hidup Aston Villa, berjanji akan membantu membukakan jalan Boaz dengan bantuan kolega-koleganya. "Boaz adalah fenomena sepak bola Indonesia. Ia layak bermain di Eropa. Saya serius, tidak main-main," dalam sebuah percakapan dengan saya menjelang duel final Piala AFF leg kedua di Singapura.
Boaz muda menampik tawaran itu. Ia lebih menurut ke pamannya, Jaap Solossa, Gubernur Papua saat itu, untuk membela klub kampung halamannya.
Jaap ingin keponakan yang berbakat itu menjadi bagian "tim super" bentukannya dengan target utama mengangkat kejayaan Tim Mutiara Hitam di kompetisi Liga Indonesia.
Dilatih Rahmad Darmawan Persipura sukses jadi jawara kompetisi kasta elite 2005. Boaz jadi salah satu kartu As berdampingan dengan dengan pemain-pemain belia Papua lainnya yang mentas di PON 2004 seperti Christian Worabay, Ian Kabes, Korinus Fingreuw, dan Immanuel Wanggai.
Mereka bagian dari "generasi emas" Bumi Cendrawasih setelah era PON edisi 1993.
Kegembiraan berujung duka. Jaap meninggal dunia karena serangan jantung usai Persipura juara kompetisi. Memasuki musim 2006, tim juara terlihat oleng.
Rahmad memilih hengkang ke Persija Jakarta. Selanjutnya sejumlah pemain kunci juga memilih pergi tergoda tawaran kontrak bombastis dari klub lain.
Boaz jadi gulali yang direbutkan banyak klub. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, yang berstatus sebagai pembina Tim Macan Kemayoran menginstrusikan ke Rahmad untuk membujuk Boaz agar mau merapat ke ibu kota.
Abang kandung sang pemain, Ortizan Solossa, yang kebetulan membela Persija juga diminta turun tangan membujuk adik bungsunya menerima pinangan Tim Jingga.
"Saya bingung dengan adik saya. Dia menolak kontrak bagus dari Persija. Boaz agaknya tidak suka merantau," ucap Orti sembari mengeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi wajah kecewa.
Berbeda dengan sang adik, Orti berani merantau keluar Papua di usia muda. Sebelum membela Persija, pemain yang berposisi sebagai bek sayap kiri tersebut sempat bermain di PSM Makassar.
***
Dalam sebuah percakapan santai di Hotel Relat, Jayapura, markas tim Persipura, Boaz bicara blakblakan alasannya emoh hengkang dari Tanah Papua.
"Kakak, saya putra daerah. Saya akan mengabdi buat klub kebanggaan kampung halaman, Persipura. Saya mau pensiun di sini," tegas pemain yang doyan menggunakan nomor punggung 86 sesuai tahun kelahirannya.
Dari mulut Boaz juga terucap rahasia kalau selain Persija, klub asal Malaysia, Perak FA juga sempat membuka negosiasi.
Selain faktor fanatisme kedaerahan, Boaz yang dikenal sebagai sosok manja dengan ibundanya, Merry Solossa, buka kartu soal alasan pribadi keengganannya merantau.
Pemain yang tiga kali cedera patah kaki dan bisa bangkit itu mengaku tidak bisa jauh dari keluarga.
Boaz menghabiskan sebagian besar hari-harinya dengan mamanya. Di usia kanak-kanak ia sudah kehilangan figur bapak. Papanya, Christopher Solossa, meninggal dunia akibat serangan jantung.
Christopher yang mewariskan bakat sepak bola meninggal di lapangan, saat berlaga di sebuah pertandingan antarkampung di Sorong. Christopher adalah pendiri PS Putra Yohan, klub pertama Boaz di level junior.
Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, Boaz amat dimanja. Selain itu, Boaz enggan pergi jauh-jauh dari Tanah Papua karena faktor kekasihnya, Adelina. Memadu kasih sejak masa sekolah dasar, Boaz hampir tak pernah terpisahkan dari wanita yang kini menjadi istrinya. Alasan yang manusiawi.
Tak terasa 10 tahun berlalu, Boaz masih setia berkostum Persipura. Ia kini menjadi pemimpin Tim Mutiara Hitam.
Ban kapten melekat di lengan kiri sejak musim 2010-2012. Ia menggantikan peran pemain senior, Eduard Ivakdalam. Selama membela klub berkostum Merah-Hitam itu, ia berperan besar dalam kesuksesan Persipura juara kompetisi kasta tertinggi musim 2005, 2008-2009, 2010-2011, dan 2012-2013.
Tak hanya itu saja, Boaz juga jadi top scorer Indonesia Super League (ISL) di musim 2008-2009, 2010-2011, dan 2012-2013. Secara berbarengan ia juga dinobatkan sebagai pemain terbaik. Mengantongi seabrek gelar, Boaz terlihat menikmati hari-hari bersama Persipura.
Ia bahkan sama sekali tak tergoda ikut berkelana ke Malaysia mengikuti jejak Jacksen F. Tiago, pelatih asal Brasil yang jadi mentornya di Persipura. Jika Boaz mau, Jacksen tak akan ragu-ragu membawa Boaz ke klub barunya, Penang FA, di musim 2015 ini.
***
Boaz memendam kekecewaan amat sangat ketika kompetisi ISL 2015 terhenti secara paksa karena macetnya izin kepolisian imbas keputusan Menpora, Imam Nahrawi, yang membekukan PSSI.
Walau merasa galau, Boaz yang kini jadi figur panutan di usia menginjak 29 tahun, sempat melontarkan petuah bijaksana ke rekan-rekan sesama pesepak bola nasional.
"Sepak bola boleh berakhir tapi apa yang pemain bola pikirkan tidak lantas berakhir. Tetaplah berlatih dan terus berlatih karena inilah kehidupanmu, karena kita pemain bola," Demikian petikan pernyataan penyerang yang biasa beroperasi di sektor sayap kiri di akun jejaring sosial Path pribadinya.
Pernyataan yang dalam maknanya. Menegaskan begitu besar rasa cinta Boaz ke si kulit bundar, yang memberikan segalanya bagi dirinya. Kebanggaan, materi, kejayaan, dan banyak hal lain yang mungkin tak terhitung oleh jari.
Boaz hanya bisa tertunduk lesu setelah manajemen Persipura membubarkan tim pada 5 Juni, karena melihat kompetisi ISL 2015 tidak akan mungkin berlanjut lagi. Ketika aktivitas bermain dan belatih berhenti, Boaz menjalani kegiatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Otonomi Daerah Provinsi Papua. Ia punya lebih banyak waktu berkumpul dengan istri dan ketiga anaknya.
Bochi bisa dibilang tak kekurangan materi karena tiap tahun ia mendapat bayaran dari Persipura di atas rata-rata pemain sepak bola Indonesia yang angkanya menembus Rp 1 milar.
Namun, lagi-lagi hati nurani tidak bisa berbohong. Berlama-lama menepi dari lapangan hijau menimbulkan sebuah kerinduan. Sebuah keputusan berani pun diambil sang bintang.
Pada Kamis (2/9/2015) Boaz Solossa kembali ceria. Ia menjalani aktivitas latihan bersama pemain Pusamania Borneo FC. Boaz dipinang klub yang dimiliki pengusaha muda asal Samarinda, Nabil Husein, untuk tampil di Piala Presiden.
Proses merekrut Boaz tak semudah membalikan telapak tangan. Sang pemain hampir tak bisa berlaga di turnamen garapan Mahaka karena belum mengantongi surat keluar dari Persipura.
Petinggi klub Boaz beralasan tim sudah bubar, semua pemain sudah diputus kontrak. Siapapun yang ingin memakai jasa pemain Persipura tinggal pakai saja karena mereka berstatus bebas transfer.
Beruntung, belakangan hati pengurus Persipura luluh. Surat sakti bekal untuk striker yang sudah 32 kali membela Timnas Indonesia untuk bisa berlaga di Piala Presiden keluar juga.
Buat Bochi (panggilan akrab Boaz Solossa), kepindahan sementara ke Borneo FC merupakan salah satu keputusan penting dalam hidupnya. Boaz harus "membunuh" egonya menjalani karier di klub luar kampung halamannya Papua.
"Saya ingin bermain bola." Komentar tegas dilontarkan Boaz, yang menyiratkan ia ingin menuntaskan rindu berlaga di lapangan sesegera mungkin.
Pembelotan sementara Boaz bisa dimaklumi, mengingat Persipura absen dari pentas turnamen yang diikuti 16 klub tersebut. Boaz sejatinya tetap ingin jadi loyalis tulen buat klub yang membesarkannya.
Hanya saja sebagai pesepak bola profesional ia butuh pentas bermain. Berlama-lama tak menendang bola membuat kakinya gatal dan pegal-pegal menahan hasrat berkompetisi. Sayangnya hal itu tidak bisa diberikan Persipura saat ini. Walau berganti kostum hati Boaz tetap ada di Persipura.
***
Suara hati Boaz sebenarnya juga dirasakan banyak pemain lain. Bambang Pamungkas, yang dikenal sebagai sosok teguh dalam memegang prinsipnya, mau mengalah bergabung membela Persija.
Padahal, klub tersebut belum tuntas melunasi tunggakan gaji ke seluruh pemain. Bepe pada musim 2013 memilih menganggur, menepi dari hingar-bingar dunia yang membesarkannya, demi menjaga semangat perjuangan membela hak-hak pemain.
Di usia yang menginjak 35 tahun Bepe realistis dan cenderung pragmatis. Ia tidak punya waktu lama lagi bermain di level elite. Amat tidak mengenakkan menggantung sepatu secara paksa karena ketiadaan kompetisi.
Pemain Persipasi Bandung Raya (PBR) berlaga di lapangan tanpa mendapat bayaran sepeser pun dari manajemen klub yang tengah terjerembab krisis finansial. Bayaran mereka mengandalkan match fee dan uang hadiah Piala Presiden yang digelontorkan penyelenggara turnamen, Mahaka.
Menuntaskan rasa rindu berlaga di sebuah pertandingan dengan tingkat persaingan level tinggi tak bisa hanya diukur dengan berapa besar bayaran yang didapat para pemain dari klub yang mereka bela.
Keriuhan suporter dari pinggir lapangan kian memacu adrenalin para pemain yang berlaga di lapangan. Momen-momen itu terasa hilang ketika konflik Kemenpora-PSSI memanas.
Bukan sekadar hanya kehilangan mata pencarian, para pesepak bola berasa kehilangan setengah jiwanya. Jangan heran apapun dilakukan agar bisa ikut berlaga di ajang Piala Presiden. Soal besaran honor atau sistem pembayaran per laga yang mirip turnamen antarkampung (tarkam) tak menjadi soal.
Sejumlah pemain rela meninggalkan klub yang absen di perhelatan turnamen, asal demi merasakan sensasi yang memuaskan kerinduan bertanding.
Dalam lubuk hati yang paling dalam, para pesepak bola Tanah Air amat berharap Piala Presiden menjadi momen awal kembali bergulirnya kompetisi profesional yang mati suri selama empat bulan terakhir.
Publik sepak bola nasional berharap aksi jabat tangan antara Menpora, Imam Nahrawi, dengan Presiden PSSI, La Nyalla Mattalitti, di sela-sela pembukaan Piala Presiden 2015 di Bali jadi awal yang baik perdamaian antarakeduanya. Mungkinkah?
Sepak bola sejatinya pertandingan adu skill di lapangan hijau, bukan adu opini di media. Kepedulian terhadap babalan dituangkan dengan rasa cinta, bukan dengan amarah. Rasa cinta yang membuat banyak pemain berlaga di Piala Presiden.
Baca Juga:
Boaz Solossa Pilih Nomor Punggung 69 di Borneo FC
Wawancara Boaz Solossa: Dibayar Borneo FC Rp 70 Juta?
Boaz Solossa Tiba di Makassar Hari Ini, Borneo FC Kian Glamor