Sukses


Cover Story: Runtuhnya Saksi Kejayaan Persija (1)

Bola.com, Jakarta - Persija Jakarta sampai saat ini tercatat sebagai klub pengoleksi gelar terbanyak kompetisi kasta elite. Yang terasa mengenaskan saksi sejarah kejayaan Tim Macan Kemayoran runtuh satu per satu jadi korban penggusuran.

Sejarah mencatat Persija juara kompetisi perserikatan sebanyak sembilan kali, yaitu pada musim 1931, 1933, 1934, 1938, 1954, 1964, 1973, 1975, dan 1979.  Tim kebanggaan ibu kota juga tercatat sekali menjadi kampiun Liga Indonesia pada musim 2001.

Saat menjadi yang terbaik di seantero nasional, Persija berpindah kandang sebanyak empat kali. Pasukan Macan Kemayoran bermain di Stadion VIJ, Ikada, Menteng, dan Lebak Bulus.

Stadion VIJ jadi kandang pertama Persija yang masih menggunakan nama Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) di masa perjuangan kemerdekaan.

Penggunaan stadion ini erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Persija pada 28 November 1928. Tulisan budayawan Betawi, Alwi Shahab, di Harian Republika edisi  19 Maret 2012 dengan judul "Dari Petojo Lahirlah Persija" menyatakan bahwa lahirnya perkumpulan sepak bola di tanah Jakarta memiliki keterkaitan erat dengan tragedi kebakaran di Gang Bunder, salah satu kawasan di Pasar Baru tempo dulu.

Pada tahun 1927, kebakaran hebat melanda Gang Bunder, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sebagai bentuk solidaritas, perkumpulan-perkumpulan sepak bola kampung ingin mengumpulkan dana untuk menolong para korban dengan menggelar sebuah laga amal. Ketika hendak memakai Lapangan Hercules di Deca Park (kini bagian dari Monas), mereka tidak dizinkan oleh perkumpulan sepak bola yang dikelola Belanda.

Pada masa kolonial, diskriminasi dalam bidang olah raga, khususnya sepak bola, memang nyata terjadi. Warga pribumi yang dijuluki Inlanders tidak diizinkan bergabung dengan klub-klub sepak bola Belanda yang menganggap dirinya golongan elite.

Di zaman penjajahan klub-klub anggota VIJ (nama lawas Persija) memainkan pertandingan kompetisi di sebuah lapangan di kawasan Petojo. (Repro Padji Poestaka)

Siapa sangka dari niat ingin membantu korban kebakaran ini kemudian berujung pada berdirinya Voetbalbond Indonesia Jakarta. VIJ lahir dari semangat pergerakan dan juga keinginan kuat penduduk pribumi untuk merdeka.

Karena mendapat penolakan dari kompeni, bond pada akhirnya berpindah markas ke Lapangan Laan Trivelli dan Pulo Piun di kawasan Petojo (belakangan berubah nama menjadi Lapangan VIJ). Saat jadi juara kompetisi antar bond nusantara yang digelar PSSI 1931, 1933, 1934, 1938, Persija memainkan pertandingan di dua tempat ini.

Dari Ikada ke Menteng

Pada 1951 Persija punya kandang baru. Atas restu Presiden RI, Soekarno, mereka bersama PSSI boleh menggunakan Stadion Ikada. Kala itu venue yang terletak dekat Istana Negara itu jadi salah satu stadion yang megah di Indonesia.

Stadion yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada 18 Juli 1951 tersebut jadi stadion pendamping Stadion Utama Gelora Bung Karno di ajang multievent Asian Games 1962.

Persija menjamu lawan-lawannya pada penyisihan kompetisi perserikatan di stadion ini sebelum menggenapi gelar juara di SUGBK. Saat bermarkas di Stadion Ikada Persija disebut-sebut dihuni generasi emas dengan bukti gelar juara pada 1954.

Legenda-legenda Persija macam Sucipto Soentoro, Endang Witarsa, serta Sinyo Aliandoe ditempa di stadion dengan daya tampung 30 ribu penonton.

Stadion Utama Gelora Bung Karno kerap jadi saksi kejayaan Persija di masa kompetisi perserikatan. (Repro Buku 60 Tahun Persija)

Sayang kebersamaan Persija dengan Stadion Ikada berakhir pada November 1962. Stadion ini digusur untuk keperluan membangun Monumen Tugu Monas.

Persija menempati homebase baru Stadion Menteng yang terletak di Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat.

Pada awalnya stadion Menteng ini adalah lapangan sepak bola yang didirikan oleh oleh arsitek Belanda, F.J. Kubatz dan P.A.J. Moojen. Didirikan tahun 1921, stadion ini awalnya diberi nama Voetbalbond Indische Omstreken Sport (Viosveld).

Di zaman penjajahan VOC lahan seluas 3,4 hektar tersebut sudah digunakan sebagai tempat berolah raga orang-orang Belanda. Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka stadion itu digunakan untuk masyarakat umum.

Pada 1961 dilakukan pemugaran besar-besaran untuk kemudian dibangun stadion dengan fasilitas tribun penonton. Wajah baru Stadion Menteng menjadi tempat bertanding dan berlatih Persija.

Persija mengalami pasang-surut prestasi di stadion ini. Banyak legenda pesepak bola Indonesia binaan Persija lahir di sini, sebut saja: Bob Hippy, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Anjas Asmara, Andy Lala, Patar Tambunan, dan Marzuki Nyak Mad.

Selain banyak menghasilkan pemain-pemain top, pada 1975, Surat Keputusan Gubernur Jakarta Tahun 1975 menetapkan stadion ini sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang harus dilindungi.

Atas permintaan Presiden Soekarno Persija pindah markas dari Stadion Ikada ke Stadion Menteng pada 1961. Ironisnya pada 2006 stadion yang dijadikan salah satu cagar budaya digusur Gubernur DKI, Sutiyoso. (Repro Buku 60 Tahun Persija)

Ironisnya, pada tanggal 26 Juli 2006, penguasa ibu kota, Sutiyoso, menginstruksikan Satpol PP merobohkan Stadion Menteng. Padahal Sutiyoso, Gubernur DKI kala itu, berstatus Pembina Persija.

Tim Jingga sendiri sejatinya sejak tahun tahun 2000 sudah menjalani pertandingan resmi di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Stadion berkapasitas 15.000 penonton itu tadinya jadi markas klub eks kontestan kompetisi Galatama, Pelita Jaya, yang belakangan pindah ke Solo.

Stadion Menteng sendiri hanya dipakai buat latihan, mes, dan tempat menggelar kompetisi internal klub anggota Persija.

Insiden penggusuran Stadion Lebak Bulus menyisakan luka bagi petinggi klub internal. Saat aksi penggusuran prasasti kejayaan tercerai berai.

Piala yang Hilang

Piala-piala simbol kejayaan di era perserikatan sempat hilang tak ketahuan rimbanya sebelum kembali ditemukan pada 25 Maret 2014. Total 73 piala ditemukan tergolek di sebuah rumah tua di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Biner Tobing, mantan Ketua Umum Persija bercerita kenapa hal itu bisa terjadi.

"Waktu itu karena panik saya meminta anak-anak PS Mahasiswa menyelamatkan piala-piala Persija yang berserakan di pinggir jalan saat pengusuran terjadi. Miftah salah satu pengurus PS Mahasiswa berinisiatif menitipkan ke salah satu temannya mahasiswa Universitas Indonesia," cerita Biner.

Fauzan Zidni, nama mahasiswa tersebut meletakkan piala-piala Persija di rumah orang tuanya yang tidak ditempati. Rumah tua yang sudah lama ditinggal penghuninya ke Amerika Serikat menjadi tempat pengungsian benda-benda mati saksi kejayaan Persija.

Terlepas dari segala kontroversinya, Persija menikmati momen-momen berlaga di Stadion Lebak Bulus. Lapangan yang dibangun pada 1987 dengan desain mirip stadion-stadion di Inggris itu dianggap homebase yang paling angker bagi tim lawan.

Sebuah alat berat menghancurkan bangunan tribun penonton Stadion Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (8/9/2015). Stadion ini berkapasitas 12.500 orang dan menjadi salah satu stadion bertaraf internasional di Indonesia. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Jarak antara penonton dengan lapangan amat dekat. Jika bertanding para pemain dan ofisial bisa mendengarkan dengan jelas suara teriakan penonton.

Terkadang saat Persija kalah para pemain Macan Kemayoran juga merasakan teror dari suporter sendiri yang meluapkan kekecewaan. "Makian yang terdengar jelas di kuping bikin hati mendidih. Kalau bertanding di Lebak Bulus harus kuat mental," ujar Leonard Tupamahu, mantan pemain Persija yang kini berkiprah di Persipasi Bandung Raya.

Lebak Bulus Saksi Kejayaan Terakhir

Buat suporter Persija, The Jakmania stadion ini amat sentimentil. Pasalnya, stadion ini jadi rumah mereka. Sekretariat The Jakmania terletak tepat di bawah tribun Barat Stadion Lebak Bulus.

Persija memainkan sebagian besar pertandingan di Stadion Lebak Bulus saat mereka juara Liga Indonesia 2001. Momen kejayaan yang sampai sekarang belum bisa terulang lagi.

”Tim lawan pasti merinding melihat lautan orange di segala penjuru Stadion Lebak Bulus. Atraksi yang digeber selalu meriah, setiap sudut tribun selalu ramai bernuansa orange,” tutur Ferry Indrasjafrief, mantan Ketua Umum The Jakmania.

Cerita-cerita penuh ketegangan menghiasi perjalanan Persija sepanjang bermarkas di stadion ini. Pada 2005 musuh bebuyutan mereka Persib Bandung dinyatakan kalah Walk Out (WO) karena menolak bertanding. Kala itu stadion penuh sesak ribuan manusia. Penonton sampai memenuhi sisi lapangan. Pasukan Maung Bandung yang khawatir jadi korban kekerasan emoh turun ke lapangan.

Kenangan indah juga dirasakan para pemain Persija, Ismed Sofyan. Bek sayap kanan yang membela Persija sejak musim 2002 tersebut pernah  mencetak gol fantastis tendangan jarak jauh berjarak 40 meter saat melawan Persik Kediri di Liga Indonesia musim 2005. 

Pekerja membongkar Stadion Lebak Bulus, Jumat (24/7/2015). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

”Saya tidak akan melupakan momen tersebut seumur hidup. Gol tersebut masuk daftar gol terbaik versi ESPN. Lebak Bulus salah stadion yang bersejarah dalam perjalanan karier saya,” ucap Ismed Sofyan.

Sayangnya, kebersamaan penggawa Macan Kemayoran berakhir pada Indonesia Super League musim 2008-2009. Badan Liga Indonesia menganggap stadion ini tidak layak menggelar pertandingan resmi kompetisi kasta elite. Jadilah Persija mengungsi ke Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Jika bicara kapasitas, SUGBK lebih ideal bagi The Jakmania yang dari tahun ke tahun pertumbuhan anggotanya terus melesat. Namun, entah mengapa semenjak pihak ke stadion termegah di Tanah Air itu Persija seperti kehilangan taring. Cerita sedih krisis finansial dan kering prestasi mewarnai Persija yang kini dikelola Ferry Paulus tanpa mendapat bantuan APBD dari Pemprov DKI Jakarta.

Minggu, 21 Desember 2014, jadi momen mengharukan bagi The Jakmania. Ribuan suporter setia Persija memadati Stadion Lebak Bulus. Pada hari tersebut The Jakmania merayakan HUT ke-17 sekaligus acara perpisahan. Mereka diminta pindah karena stadion akan digusur Pemprov DKI Jakarta buat keperluan pembangunan stasiun MRT. Acara tersebut dihadiri pemain, ofisial, dan petinggi klub.

"Lebak Bulus penuh kenangan bagi para anggota The Jakmania, tidak akan dengan mudah dilupakan begitu saja. Di sini kami bertumbuh menjadi organisasi suporter yang besar dengan jumlah anggota yang menembus 100 ribu orang," ujar Larico Ranggamone, mantan Ketua Umum The Jakmania.

Mantan Ketua Umum Jak Mania, Ferry Indrasjarief berada di Stadion Lebak Bulus sesaat sebelum dibongkar, Jumat (24/7/2015). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

"Stadion Lebak Bulus akan selalu menjadi kenangan. Stadion ini menjadi saksi sejarah suka dan duka Persija dan The Jakmania," tutur Rahmad Darmawan, pelatih Persija.

Resminya pembongkaran Stadion Lebak Bulus baru mulai dilakukan pada akhir bulan Agustus 2015. Proses pembongkaran bertele-tele karena Pemprov DKI Jakarta gagal melakukan lelang pembongkaran bangunan. Tugas meratakan stadion dilakukan perusahaan kontraktor beken Wika.

Ironisnya, hingga saat ini proses pembangunan Stadion BMW yang dijanjikan sebagai pengganti Lebak Bulus dan terletak di Jakarta Utara juga macet karena proses pembebasan tanah masih bermasalah. Persija kini bermarkas di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Satu yang per satu prasasti saksi kejayaan klub runtuh.

(Bersambung):

Cover Story: Runtuhnya Saksi Kejayaan Persija (2)

 

 

 

 

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer