Bola.com, Malang - Hendro Siswanto menjadi salah satu gelandang tengah Arema Cronus yang tersisa saat banyak pemain kena akumulasi kartu kuning, saat menghadapi laga pertama semifinal Piala Presiden melawan Sriwijaya FC, Sabtu (3/10/2015) di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Pemain berusia 25 tahun itu sebelumnya menjadi salah satu pencetak gol yang mengantarkan Arema lolos ke semifinal. Padahal, beberapa waktu terakhir Hendro kerap ditepikan dan tak banyak mendapat kesempatan bermain.
Baca Juga
Advertisement
Hendro sebenarnya tercatat pernah jadi gelandang muda bersinar. Namun, pemain yang namanya menanjak kala memperkuat Persela Lamongan itu terbilang tak mau ngoyo dalam menjalani kariernya. bola.com merangkum suka duka Hendro menjadi pesepak bola, dari awal karier di ISL hingga hijrah ke Arema dan kini bercita-cita menjadi juragan jilbab dan hijab.
Jadi "Korban" Mie Instan
Badan Hendro Siswanto masih kurus kering saat pertama kali menapaki karier sebagai pemain di kompetisi profesional, enam tahun yang lalu. Pemain asal Tuban itu merantau ke Semarang, demi mencicipi kompetisi tertinggi di Indonesia, Indonesia Super League edisi pertama 2008-2009. Setelah melewati seleksi, Hendro memikat PSIS Semarang yang kala itu dilatih Bambang Nurdiansyah.
“Di awal karier, bermain untuk klub yang sudah punya nama besar tentu sangat membanggakan bagi pemain muda. Maka begitu ada kesempatan bergabung dengan PSIS, saya sangat senang,” kata Hendro.
Usia Hendro baru 18 tahun kala itu. Ia berangkat ke Semarang dengan tekad menembus skuat utama PSIS di ISL. Gayung bersambut. Kala itu PSIS melakukan penghematan dengan memaksimalkan pemain muda. Hendro mendapat tempat di tim inti dan bisa mengembangkan bakatnya.
PSIS sebagai klub ISL pertama yang ia bela tak mulus di musim perdana ISL. Kondisi keuangan yang kembang kempis membuat manajemen kelimpungan. Hendro berjuang dengan pemain muda lainnya seperti Gunawan Dwi Cahyo, Feri Ariawan, Herry Susilo, dan Johan Yoga Utama.
Keterbatasan dana membuat Hendro dkk. hidup seadanya di mes pemain yang terletak di kawasan Jatidiri, Karangrejo, Semarang. Sering kali, pemain hanya disuplai makanan mie instan dan telur, hanya untuk sekadar mengenyangkan perut.
Ketua Umum PSIS saat itu, Sukawi Sutarip, akhirnya membubarkan tim senior di tengah kompetisi. Pemain yang masih mau bertahan dibayar Rp 500 ribu setiap pertandingan. Saat itu, PSIS menyisakan sembilan laga di ISL 2008-2009. Akhir musim yang pahit bagi Hendro dan PSIS. Mahesa Jenar terdegradasi ke Divisi Utama.
Penderitaan itu justru jadi awal kesuksesan Hendro. Di PSIS, penampilan Hendro memikat Badan Tim Nasional PSSI untuk memperkuat timnas U-23. Pada musim 2009-2010, Hendro, Feri, dan Johan hijrah ke Persiba Balikpapan, klub yang saat itu bergelimang uang. Di Tim Beruang Madu, Hendro mencetak empat gol dari 28 kali penampilan.
“Waktu itu manajemen PSIS mempersilakan pemain muda mencari klub yang lebih baik dari sisi finansial. Akhirnya kami merantau ke Balikpapan,” ujarnya.
Tangguh, Didikan Keluarga Nelayan
Hendro berasal dari dusun Rembes desa Gesikharjo, Palang, Kabupaten Tuban. Desa Gesikharjo terletak di 12 kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten Tuban. Dusun yang menjadi tempat Hendro lahir dan tumbuh merupakan salah satu sentra Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kabupaten Tuban. Keluarga Hendro juga bekerja sebagai nelayan.
“Sampai sekarang bapak saya juga masih melaut. Kadang kalau tidak ada kompetisi saya juga membantu bapak dan tetangga,” ucap Hendro.
Hendro merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Wajiyan dengan almarhumah Kunasri. Hendro kecil punya keinginan besar menjadi pemain sepak bola. Keinginannya begitu keras sehingga membuat orang tua Hendro memberikan dukungan penuh. Apalagi, Hendro merupakan anak terakhir yang saat kecil menjadi pusat perhatian seluruh keluarga.
Hidup di daerah pesisir membuat karakter Hendro tangguh dan keras. Hal itu berpengaruh kepada gaya bermain. Dari bermain-main di sekitar rumah, Hendro akhirnya berguru di SSB Semen Gresik Tuban. Singkat cerita, setelah mentas di SSB, Hendro memberanikan diri mencari peruntungan di luar Tuban.
Pada 2007, ia membela Persida Sidoarjo dan menyeberang ke Madura dan bergabung dengan Persepam. PON 2008 Kaltim menjadi babak baru bagi Hendro. Ia membawa Jatim mempertahankan medali emas sekaligus membuka jalan menuju kompetisi tertinggi Indonesia.
Setelah menimba ilmu di Semarang, Balikpapan, dan Lamongan, Hendro mendapat tawaran dari Arema Indonesia yang saat itu berlaga di IPL 2011-2012. Hanya lima pertandingan, Hendro pindah ke Arema ISL, yang kini menjadi Arema Cronus, hingga sekarang.
Sebagai pemain yang menempati posisi gelandang, Hendro harus bersaing dengan pemain senior macam Ahmad Bustomi dan Gustavo Lopez. Pada musim 2014, Hendro hanya tampil selama 777 menit.
“Saya selalu menunggu momen terbaik untuk meningkatkan rasa percaya diri. Di setiap kesempatan, saya ingin tampil maksimal meski berawal dari bangku cadangan,” tegasnya.
Tandem Toko Hijab
Tahun 2015 merupakan masa yang sulit bagi Hendro. Sebenarnya hampir semua pemain merasakan pahit saat kompetisi ISL, Divisi Utama, dan Liga Nusantara dihentikan, menyusul konflik PSSI dengan Menpora.
Hendro nyaris frustrasi. Pada awal Mei 2015, saat belum ada kepastian turnamen dan Arema meliburkan tim, Hendro mudik ke Tuban dan menjalani aktivitasnya sebagai nelayan.
Sekarang, Hendro sudah sedikit lega karena Arema mengikuti turnamen. Meski jumlah pemasukan menurun dari musim sebelumnya, setidaknya ia tetap berlatih dan bermain untuk menjaga kondisi.
“Saya sempat stres karena kompetisi berhenti. Bagi saya, itu sama saja kehilangan pekerjaan. Padahal saya hanya mengandalkan pemasukan dari sepak bola,” ungkapnya.
Dengan kondisi sepak bola yang tidak pasti, Hendro langsung memikirkan jalan lain supaya dapur tetap ngebul. Alhasil, pada bulan yang sama, Hendro dan istri, Adirsti Dyah, membuka bisnis jilbab dan hijab. Toko jilbab itu bernama HS12, dibuka di Jalan Kesatrian, Malang, tempat Hendro dan Adirsti tinggal.
Nama toko jilbab dan hijab itu diambil dari nama Hendro Siswanto, nomor punggung dan tanggal lahir. HS12 kemudian berganti menjadi Hijab Store 12. Untuk saat ini, mereka fokus berjualan secara online. Istri Hendro yang mengurus semua, dari belanja hijab hingga menjadi model dan mengirimkan pesanan.
“Modal kami kecil, tapi cukup membantu saat pemasukan dari sepak bola menurun. Hampir semua istri pemain merasakan hal itu. Sekarang banyak yang sudah memulai usaha seperti salon, warung, dan tata rias,” imbuh Adirsti.
Hendro dan Adirsti sudah setahun lebih menjadi pasangan suami istri. Hendro bersyukur sang istri memahami kesulitan yang dihadapi pemain sepak bola, hingga mereka bisa berjuang bersama meniti bisnis kecil-kecilan.
“Alhamdulillah. Saya hanya bisa bersyukur sambil berdoa untuk masa depan yang lebih baik,” ucap Hendro.
Hendro dan Adirsti akan bercerita lebih jauh tentang toko hijab mereka. Simak video berikut ini.
Baca Juga:
10 Tahun Karier Samsul Arif, Berawal dari Gaji 300 Ribu
Adam Alis, dari Kampung ke Pentas Tertinggi Bahrain
Bayu Gatra, Bintang Bali United yang Besar dari Tarkam di Jember