Sukses


Cristian Gonzales, 1.500 Kata Merangkum Dua Dekade Karier El Loco

Bola.com, Jakarta- Tulisan ini berisi 1.500 kata, menceritakan episode-episode menarik kiprah striker gaek Arema Cronus, Cristian Gonzales, selama berkarier jadi pemain sepak bola.

Cristian Gonzales. Usia nyaris kepala empat. Badannya pun sudah gampang melar apabila tak rajin diet dan menjaga stamina. Namun, belum ada niatan pensiun yang keluar dari mulutnya. Setidaknya hingga detik ini, Gonzales masih diandalkan Arema pada turnamen Piala Presiden 2015.

El Loco mencetak hattrick saat Arema mengalahkan Bali United 3-2 di babak perempat final Piala Presiden, Minggu (27/9/2015). Aksi trigol itu terlengkap, yakni dengan sundulan, kaki kiri, dan kaki kanan. Tidak berlebihan bila momen itu dianggap sebagai ajang pembuktian bahwa Gonzales belum habis. 

bola.com berbincang dengan Gonzales di rumahnya, Dieng Eksklusif Malang, 20 September 2015. Ia bercerita banyak hal tentang karier di sepak bola, suka duka saat kompetisi vakum, hingga rencana mengabadikan perjalanan hidup lewat buku dan mendirikan sebuah museum sepak bola.

Tradisi Columbus hingga Luis Suarez

“Kami, pemain Amerika Latin, punya kesamaan budaya, meminum mate di sore hari bersama keluarga. Sama seperti yang diminum Javier Mascherano.”

Sepenggal ucapan Luis Suarez pada suatu kesempatan di bandara internasional Barcelona, November 2014 itu, ditunjukkan Cristian Gonzales, saat membuka percakapan dengan bola.com. Ketika itu, ia sedang bersantai bersama Eva, sang istri, dan dua anaknya, Fernando dan Florencia, sambil menyeduh yerba mate, ramuan favorit sekaligus salah salah satu budaya Amerika Latin yang masih ia lakukan di Indonesia.

Yerba mate merupakan tanaman khas Amerika Selatan, bila diseduh akan mirip teh hijau. Bagi orang Amerika Selatan, meminum mate tak hanya untuk kesehatan karena bermanfaat sebagai antioksidan. Tapi, juga bagian dari ritus untuk mensyukuri anugerah Tuhan. Tradisi itu sudah dimulai sejak zaman penjelajah maritim, Columbus.

“Semua pemain Amerika Latin, Spanyol, dan Italia gemar minum ramuan ini. Yang sudah mengaku ‘kecanduan’ mate adalah Lionel Messi dan Luiz Suarez,” kata Gonzales.

Seperti yang diulas tadi, minum mate adalah satu dari sedikit kultur Uruguay yang masih ia bawa, setelah 13 tahun menetap dan sudah ber-KTP Indonesia. Sebenarnya, Gonzales masih sangat Latin. Sehari-hari, komunikasi di keluarganya masih menggunakan bahasa Spanyol. Itu sebabnya ia masih belum begitu lancar berbicara bahasa Indonesia.

“Makanya suporter banyak yang bilang kalau saya bicara seperti orang kumur-kumur,” ucap Gonzales sambil terkekeh.

Obrolan dengan Gonzales berlanjut membahas cara peraih empat gelar top scorer Liga Indonesia itu menjaga stamina. Bukan hal gampang jadi pemain saat umur menjelang 40 tahun. Apalagi, Gonzales tak hanya bertipe sebagai striker murni. Ia hobi menjelajah ke lapangan tengah.

“Di timnas U-20 Uruguay saya jadi gelandang, pernah juga jadi bek kanan, saya sudah terbiasa di posisi itu. Tidak ada masalah asalkan terus menjaga stamina,” ucapnya.

Gonzales mengaku mudah sekali gemuk. Makan malam seolah menjadi teror yang menakutkan bagi eks bomber Persik Kediri itu. Kadang, ia setengah mati menahan nafsu saat di meja makan tersaji banyak hidangan menggiurkan. Satu tip dari Gonzales untuk menyetop selera makan adalah memikirkan pertandingan. Oke juga!

Cristian Gonzales bersama Eva (istri) dan Florencia (anak), bersantai di rumah mereka di kawasan Dieng Eksklusif Kota Malang. (Bola.com/Kevin Setiawan)

Gonzales “Pelayan” Seksi

Ada cerita dari ofisial Arema, Cristian Gonzales tertangkap basah sedang menenteng ember di tangan kiri dan di tangan kanannya memegang alat pengepel lantai. Ya, Gonzales tak hanya jadi pemain kunci di laga Arema, ia juga memegang peran penting dalam hal kebersihan rumah. Istrinya, Eva, bercerita kalau Gonzales tak bisa melihat kondisi rumah yang kotor.

“Kalau saya tinggal pergi, begitu pulang, rumah sudah bersih dan wangi. Abang (Gonzales) itu tidak malu apalagi gengsi bila bersih-bersih rumah. Malah dia sangat senang, tidak bisa diam,” kata Eva.

Bila di rumah ia jadi ‘pelayan’, di lapangan ia berperan sebagai ‘bos’ yang meminta para gelandang melayaninya dengan umpan-umpan brilian. Tapi, Gonzales tak egois. Saat ia belum mencetak gol di Piala Presiden, Gonzales cuek saja. Ia berusaha semaksimal mungkin memberikan kontribusi. Bila bukan gol, maka assist yang akan ia berikan atau ia akan mengganggu bek dan kiper lawan guna memberi ruang buat penyerang lain.

“Bagi saya yang penting adalah kerja sama tim. Siapa pun yang cetak gol tidak masalah. Gelar top scorer hanya bonus buat saya,” kata Gonzales.

Bicara soal gol di turnamen yang dijalani Arema sepanjang 2015, Gonzales jadi pencetak gol terbanyak pada ajang Sunrise of Java Cup di Banyuwangi, Agustus lalu. Ia terpaksa gigit jari karena hadiah dari perolehan gelar itu tak kunjung datang. Namun, Gonzales mensyukuri apa pun yang ia dapatkan sekarang. 

“Saya tak pernah mengeluh atau kesal bila gagal mencetak gol. Begitu juga waktu di Piala Presiden, saya belum mencetak gol dan alhamdulillah, saya bisa membuktikan saat Arema mengalahkan Bali,” katanya.

Demi mempersembahkan gol, Gonzales secara khusus memboyong seluruh keluarga ke Gianyar, Bali. Dukungan keluarga begitu berarti buat Gonzales. Terbukti, saat Eva, Amanda, Michael, Fernando, dan si bungsu Florencia berada di Stadion I Wayan Dipta, Gonzales kesetanan dan langsung mencetak hattrick. Sebenarnya, ia membukukan empat gol, namun satu gol dianulir lantaran ia sudah berada di posisi off-side.

“Maju terus, saya fokus di Arema, baik turnamen atau kompetisi. Tapi saya berharap kompetisi berjalan normal seperti dulu.”

Terbawa Arus Tarkam 511 Kilometer

Sejak kompetisi dihentikan akibat kisruh PSSI vs Menpora, April lalu, pesepak bola di Indonesia terbawa arus turnamen antarkampung. Turnamen bak oase saat kompetisi vakum. Tarkam, yang oleh pemain diistilahkan dengan Liga Tunai, menjadi pilihan pertama pemain untuk menyambung hidup.

Termasuk Gonzales, ia rela menempuh perjalanan sampai ke Wonosobo, Jawa Tengah, pada 15-17 Agustus 2015. Gonzales bersama Juan Revi, Fabiano Beltrame, Alfarizi, dan Ferry Aman Saragih memperkuat PS Hizbul Wathan Kalibeber, klub sepak bola yang dibina Muhammadiyah, pada turnamen Wanakasihan Cup di desa Selomerto, Wonosobo. Di turnamen itu, Gonzales jadi salah satu pemain yang paling banyak diburu penonton. Maklum, bagi warga Indonesia, khususnya di desa, nama Gonzales cukup ngetop sejak berkostum timnas pada 2010.

Bayarannya lumayan. Kabarnya, pemilik klub menyediakan anggaran 20 juta rupiah untuk mendatangkan rombongan Arema. Sponsor Hizbul Wathan adalah juragan daging sapi di daerah itu. Maka, Gonzales dkk. rela mengenakan jersey bertuliskan “NN Daging” di bagian dada.

Aksi lima pemain mengikuti tarkam hingga ke Wonosobo terbilang nekat. Pasalnya, berselang satu hari setelah laga final turnamen itu, Arema menggelar latihan untuk persiapan Piala Presiden. Padahal, jarak dari Wonosobo ke Malang mencapai 511 kilometer. Mereka menempuh perjalanan dengan menggunakan mobil dan menyewa sopir.

Rasa lelah menempuh perjalanan jauh terbayarkan karena Gonzales dkk. membawa Hizbul Wathan juara setelah mengalahkan Albabuana 3-1 di final. Kabar terbaru, Hizbul Wathan ketagihan memakai jasa pemain Arema. Mereka berencana memanggil kembali Cristian Gonzales dkk., untuk mengikuti turnamen Piala Bupati Banjarnegara, 11 Oktober-1 November.

“Tapi, saya sekarang harus fokus di Arema pada Piala Presiden. Apalagi Arema ingin jadi klub yang selalu sukses di turnamen,” kata Gonzales.

Cristian Gonzales saat bermain tarkam di Wonosobo. Ia memperkuat PS Hizbul Wathan pada turnamen Wanakasihan Cup, 15-17 Agustus 2015. (Istimewa)

Dua Dekade Berkarier, Buku, dan Museum

Andai Cristian Gonzales tak menendang bola, empat tahun setelah lahir dari ibu Meriam Gonzales, mungkin ia sudah berseragam militer di Uruguay. Singkat cerita, mendiang ayah Gonzales, Eduardo Alfaro berprofesi sebagai tentara. Menginjak remaja, Gonzales mulai didorong untuk mengikuti jejak sang ayah, jadi tentara dan berkarier di Uruguay.

Gejolak ekonomi yang melanda Uruguay pada rentang 1970-an, hingga pemerintah Uruguay mendirikan pemerintahan darurat militer pada 1973, membuat ayah Gonzales merasa lebih nyaman apabila putranya hidup sebagai anggota tentara. Sayang, keinginan sang ayah bertolak belakang dengan hasrat Gonzales. Gonzales membangkang. Ia memilih menuruti keinginan dan ambisi menjadi pemain sepak bola.

Gonzales lalu berguru di Penarol, masuk akademi pada 1988. Karier profesional pertama Gonzales pada tahun 1994 di Sud America, kemudian bergabung dengan Huracan de Carientes Argentina (1997) dan Deportivo Maldonado (2000-2002). Tahun 2003, Gonzales mengawali petualangannya di sepak bola Indonesia dengan berbaju PSM Makassar.

Menjadi WNI dan memperkuat timnas Indonesia adalah episode spesial bagi karier Gonzales. Total 13 gol ia bukukan untuk Indonesia sejak Piala AFF 2010. Empat tahun kemudian di ajang yang sama dan di tangan pelatih yang sama, Alfred Riedl, ia terpilih jadi striker utama. Banyak pihak meragukan kapasitasnya karena dianggap sudah terlalu tua.

“Siapa striker yang paling subur di Indonesia selama ini? Gonzales, bukan?” begitulah pembelaan Alfred, saat ditanya mengapa ia masih memilih Gonzales. Kala itu, Alfred sedang menonton laga Persita Tangerang versus Arema di Stadion Singaperbangsa dan Gonzales mencetak gol.

Banyak kritikus timnas baik dari suporter maupun pengamat berpendapat, masuknya Gonzales dan beberapa pemain senior lain macam Zulkifli Syukur dan Firman Utina membuat regenerasi timnas tak berjalan. Maklum saja, meski masih ada banyak pemain senior di skuat 2014, Gonzales harus bercengkerama dengan “ABG-ABG” di timnas. Salah satunya bintang muda Indonesia, Evan Dimas Darmono, yang jadi teman sekamarnya selama pemusatan latihan.

Gonzales cuek saja dengan cibiran orang. Saat itu, ia memilih menikmati petualangan dan kebersamaan dengan pemain di tim nasional. Termasuk Evan Dimas yang menurut dia adalah pemain langka di Indonesia. “Ada yang bilang kami seperti bapak dengan anak, atau paman dengan keponakan. Saya kagum dengan Evan, dia penurut dan tipikal gelandang yang sulit ditemukan,” kata Gonzales.

Empat gelar top scorer liga (LI 2005, LI 2006, LI 2007, ISL 2008-2009) sudah cukup membuktikan bahwa El Loco adalah salah satu striker top yang bermain di liga Indonesia. Berkarier selama dua dekade alias sudah separuh usianya saat ini, belum membuatnya puas. Ia masih ingin berkarya di lapangan hijau, sampai pada suatu saat nanti fisiknya tak lagi memungkinkan untuk bermain selama 90 menit.

Gonzales alias EL Loco, Si Gila, Si Tua-tua Keladi, atau Papito, berencana mengabadikan hasil kerjanya di Indonesia lewat sebuah buku dan museum kecil-kecilan bernama The Museum of Gonzales.

Berikut video saat Gonzales bercerita tentang rencananya membuat museum.

Baca Juga: 

Daftar Bomber Pesaing Cristian Gonzales "Raja" Gol di Indonesia

Catatan Hattrick "El Loco" Gonzales Selama 13 Tahun di Indonesia

Top Scorer Piala Presiden: Cristian Gonzales Tempel Zulham Zamrun

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer