Sukses


KOLOM: Mengembalikan Senayan Jadi Rumah buat Semua

Bola.com - Hari Minggu, 17 April 1994, jadi salah satu hari paling berkesan bagi saya. Bersama ayah, adik laki-laki, serta dua abang sepupu, dengan aura kegembiraan mendatangi ke Stadion Utama Senayan (nama lawas Stadion Utama Gelora Bung Karno).

Hari ini kami berniat menyaksikan duel final kompetisi perserikatan yang mempertemukan PSM Makassar kontra Persib Bandung. Ayah saya dan dua sepupu yang tumbuh di Makassar jadi fans fanatik Tim Juku Eja. Momen menyaksikan pasukan Tim Ayam Jantan dari Timur bertarung di stadion terbesar di Indonesia bak barang langka.

Untuk bisa menyaksikan aksi bintang-bintang PSM tidak mudah. Untuk mudik ke Makassar dari Jakarta butuh dana lumayan besar buat membeli tiket kapal laut atau pesawat terbang. Jadi duel Persib vs PSM terasa jadi pesta bagi kami, warga daerah yang merantau ke Ibu Kota. Dengan atribut serba merah, jadilah perjalanan menuju Senayan terasa sebagai sebuah piknik keluarga yang menyenangkan.

Bahkan sebuah kejadian menarik terjadi di tol Jagorawi. Mobil Daihatsu Zebra merah yang kami tumpangi beriringan dengan mobil yang mengangkut bobotoh pendukung Tim Maung Bandung. Jadilah aksi saling lempar ejekan diselingi canda membahana saat laju dua mobil beriringan. Saat memasuki area tribun penonton, rombongan keluarga kami terjebak situasi yang tidak mengenakan. Kami duduk di area tribun yang diisi ribuan bobotoh, fans fanatik Persib.

Saat pertandingan berlangsung kami jadi objek perhatian mereka saat bersorak menyaksikan aksi pemain PSM membahayakan gawang Persib. Teriakan huuuuuuuu membuat telinga kami terasa panas sepanjang laga, tapi ya sebatas itu saja. Kami tetap bisa duduk manis menyaksikan jalannya laga. Bahkan kami sempat berbagi cemilan kacang dengan penonton pendukung kubu lawan yang duduk di samping kami.

Persib akhirnya memenangi laga dengan skor 2-0 lewat gol Yudi Guntara dan Sutiono Lamso. Gondok, tim kesayangan kalah? Pasti. Tapi, sepak bola hanya tontonan. Kadang menang kadang kalah.

Walau kecewa karena tim kesayangan gagal juara, pengalaman menyaksikan dua tim besar berlaga di stadion megah kebanggaan bangsa ini masih berkesan hingga sekarang.

Saya mungkin satu dari banyak orang yang punya nostalgia menyaksikan laga-laga berkelas di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang diresmikan Presiden RI pertama, Soekarno, pada  24 Agustus 1962. Stadion ini selalu menjadi lokasi netral mempertemukan dua tim terbaik untuk memperebutkan trofi juara.

Budaya tersebut berlanjut di era penggabungan kompetisi perserikatan dan Galatama berlabel Liga Indonesia. Partai puncak kompetisi kasta elite digelar di SUGBK. Terakhir stadion ini dipakai menghelat laga final Piala Indonesia musim 2007-2008 yang mempertemukan Sriwijaya FC melawan PSMS.

Suporter tim-tim yang berlaga selalu hadir berdampingan memadati tribun Senayan. Stadion yang setelah mengalami renovasi berkapasitas 88 ribu orang ini bak tanah harapan bagi pencinta sepak bola seantero nusantara. Tanah yang memunculkan sukacita.

Bersatu Dukung Tim Merah-Putih

Di sisi lain, SUGBK jadi tempat bertemunya kelompok suporter dari seantero Tanah Air. Mereka menyerbu ibu kota untuk memberi dukungan ke Timnas Indonesia. Pada tahun 1987 Tim Merah-Putih jadi juara SEA Games di Senayan.

Eddy Harto, Robby Darwis, Herry Kiswanto, Rully Nere, Azhari Rangkuti, Ricky Yakobi, Marzuki Nyak Mad, Nasrul Koto, deretan pemain Tim Garuda yang dipimpin Bertje Matulapelwa yang membuat puluhan ribu suporter tersenyum bahagia saat mengalahkan Malaysia dengan skor 1-0 di laga puncak SEA Games 1987.

Nuansa Merah-Putih selalu terasa kental saat Timnas Indonesia berlaga di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Belum lupa dalam ingatan ketika SUGBK penuh sesak oleh lautan manusia beratribut Merah-Putih di ajang Piala Asia 2007. Mereka datang ke stadion dengan satu tujuan mendukung Indonesia. Masyarakat berbagai level dan suku membaur jadi satu. Dialek tradisional ala Jawa, Sunda, Batak, Sulawesi, Maluku, Papua campur baur di berbagai sektor tribun penonton mengomentari jalannya pertandingan.

Rasa kecewa tumpah ruah begitu Indonesia dipastikan gagal melaju ke perempat final Piala Asia setelah tim asuhan Ivan Kolev kalah 0-1 dari tim raksasa Asia, Korea Selatan. Tak sedikit suporter yang menitikkan air mata menumpahkan kesedihannya. Situasi hampir sama terjadi di Piala AFF 2010 dan SEA Games 2011. SUGBK penuh sesak lautan manusia. Stadion ini seperti menjadi rumah buat semua.

Namun, di balik cerita kebersamaan penggila sepak bola nasional, sebuah fakta pahit mencuat. Senayan jadi tempat yang angker bagi Persib Bandung serta pendukungnya.

Permusuhan antara fans Tim Macan Kemayoran, The Jakmania dengan Viking Persib Club, pendukung fanatik Tim Maung Bandung, yang mulai terjadi di awal tahun 2000-an, jadi pangkal penyebabnya. Entah siapa yang memulai (kedua kubu saling tuding) pergesekan antardua kelompok suporter di sebuah acara kuis di salah satu stasiun televisi swasta menyebarkan virus negatif kebencian turun menurun.

Efek negatif dirasakan langsung Persib saat bertandang ke Jakarta atau sebaliknya kala Persija ke Bandung. Aksi teror kerap awak tim rasakan. Pemandangan kedua tim menumpang kendaraan rantis Barracuda dari tempat penginapan menuju stadion bukan hal aneh. Pertandingan antarkedua tim terasa menjadi perang dalam arti sesungguhnya. Cerita pilu meninggalnya suporter kedua klub membuat bara api permusuhan kian panas.

Dendam kesumat merasuki kedua paguyuban suporter. Dari mulai level pengurus teras hingga massa akar rumput. Kata-kata kasar atau tulisan berbau menghina dengan nada asusila terpampang di spanduk dukungan bertebaran di stadion tempat menghelat laga panas Persija vs Persib baik di Jakarta atau Bandung.

Padahal sebelum The Jakmania dengan Viking berseteru, bukan sesuatu yang aneh melihat bobotoh pendukung Persib berseliweran di ibu kota, atau lebih spesifiknya di Senayan. Kegembiraan dirasakan bobotoh kala Persib memenangi duel final Liga Indonesia 1995-1996 di SUGBK. Tim Pangeran Biru sukses menaklukan Petrokimia Putra dengan skor 1-0 lewat gol Sutiyono Lamso.

Cerita legendaris pesta arak-arakan Persib di Tol Jagorawi hingga Bandung jadi momen yang tidak terlupakan bagi bobotoh. Herru Joko (Ketua Viking), almarhum Ayi Beutik (Panglima Viking) dan Yana Umar (dirijen Viking) selalu antusias saat diajak ngobrol soal cerita seru di era Liga Indonesia jilid satu.

Mundur ke belakang, Persib juga punya cerita manis 30 tahun silam. Pada 23 Februari 1985, Persib bersua PSMS Medan di SUGBK. Duel bertajuk final Divisi Utama ditonton 120 ribu orang! Jumlah penonton yang demikian besar jadi rekor tertinggi sepanjang sejarah sepak bola nasional. 

Wajar jika pertandingan kedua tim dipadati penonton. Jakarta jadi kota utama tujuan perantau asal Sumatra Utara dan Jawa Barat. Kala itu penggemar Persija dan tim-tim lainnya juga hadir langsung di stadion untuk menikmati pertandingan bermutu. Tidak ada kecemburuan atau rasa tidak suka yang muncul. Senayan terasa jadi rumah bagi penggila sepak bola Tanah Air.

Sayang, kekraban itu tinggal kenangan. Saya pribadi tidak dalam posisi ingin menyalahkan The Jakmania atau Viking. Ibarat benang kusut, kisah permusuhan antarakeduanya sudah demikian ruwet dan bias. Korban jiwa imbas permusuhan yang bermunculan membuat dendam kian kusumat. Bahkan para bocah usia remaja yang sama sekali tidak mengerti asal muasal masalah sebenarnya juga ikut-ikutan berantem atas nama fanatisme.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 2 halaman

1

Keberanian Mahaka

Langkah berani dilakukan Mahaka Sports and Entertainment di Piala Presiden 2015. Dengan percaya diri mereka berani menghelat partai puncak turnamen yang mempertemukan Persib kontra Sriwijaya FC. Dukungan diberikan Presiden RI, Joko Widodo, yang didapuk menyerahkan langsung trofi juara ke pemenang.

The Jakmania dan Viking di Polda Metro Jaya (Yoppy Renato/Liputan6.com)

Buat banyak penikmat sepak bola nasional yang paham benar begitu mengakarnya permusuhan antarasuporter Jakarta dengan Bandung, keberanian ini dianggap langkah nekat. Anggota Tim Maung Bandung sempat geleng-geleng kepala dengan keputusan ini. Masih terngiang di benak mereka insiden teror bus tim Persib yang dilakukan sekelompok orang yang diduga kuat pendukung fanatik Persija di Indonesia Super League 2013.

Bus yang mengangkut pemain, pelatih, dan ofisial jadi korban timpukan benda-benda keras saat baru saja beranjak dari Hotel Kartika Candra menuju SUGBK. Saat itu Atep dkk. akan menghadapi Persija. Saya pribadi sempat berujar, Mahaka bercanda nih dengan keputusannya memilih Jakarta sebagai venue duel final.

Ada dua hal yang perlu dicermati dari sisi keamanan oleh Mahaka saat memutuskan menjadikan SUGBK sebagai lokasi final. Yang pertama, mengamankan jalannya laga di sekitar area sekitar SUGBK. Untuk hal ini bukan pekerjaan mudah. Ada jaminan tidak ada penyusupan suporter di tribun? Bisa dipastikan Persib bisa aman menuju lokasi pertandingan dari penginapan ke stadion? 

Yang kedua, keamanan Persib dan para bobotoh saat pulang ke Kota Kembang atau rumah mereka di Jabodetabek. Ada puluhan ribu fans sepak bola beratribut biru yang perlu mendapat jaminan keamanan. Ada jaminan sepanjang perjalanan mereka merasakan kenyamanan?

Untuk mensukseskan laga final Piala Presiden 2015 yang digelar Minggu (18/10/2015), Polri menetapkan Jakarta dalam situasi siaga satu. Pola pengamananan bakal ketat layaknya menghadapi ancaman perang.

Ah, ngeri benar negara ini, untuk sebuah pertandingan sepak bola, yang semestinya jadi suguhan hiburan, aroma yang terasa berbau kekerasan. Alamak.

Alih-alih berpikir paranoid dengan prasangka, saya memilih untuk berpikir positif, mencoba memahami sudut pandang Mahaka, berkaitan dengan keputusan EO milik bos Internazionale Milan, Erick Thohir ini, memilih SUGBK sebagai tempat menghelat turnamen garapan mereka.

Sebuah komentar menarik dilontarkan Hasani Abdulgani, CEO Mahaka, saat berbincang-bincang santai di kantor bola.com seusai fase penyisihan grup digelar. Ia menjawab santai pertanyaan jahil awak redaksi soal antisipasi mereka jika Persib masuk final. Pertanyaan yang dilontarkan ada kaitan dengan pernyataan tegas Hasani sebelumnya yang memilih SUGBK sebagai venue menggelar duel final turnamen.

"Saya tahu The Jakmania dengan Viking bermusuhan, tapi lantas tidak fair juga melarang Persib bermain di stadion milik negara. SUGBK dibangun Bung Karno buat seluruh rakyat Indonesia, siapapun tanpa terkecuali boleh bertanding serta menonton pertandingan bola di sana. Hak mereka tak boleh dihilangkan hanya karena permusuhan dua kelompok orang," ujar Hasani lugas.

Hasani menambahkan, "Mungkin ini jadi langkah awal mendamaikan The Jakmania dengan Viking, setelah begitu lama permusuhan mereka didiamkan. Bisa jadi berakhirnya permusuhan mereka jadi awal yang baik bagi sepak bola Indonesia. Bisa membuka mata elite PSSI-Kemenpora yang masih bertikai. Berdamai untuk kemudian membangun sepak bola Indonesia beriringan lebih baik dibanding terus bermusuhan."

Mengingat pernyataan Hasani Abdulgani, tiba-tiba kenangan masa kecil saya kembali terngiang. Ah, begitu indahnya berbagi tempat duduk di tribun stadion dengan suporter klub rival. Di era perserikatan hingga masa awal Liga Indonesia, SUGBK menjadi saksi bisu tawa dan tangis banyak orang saat mendukung tim kesayangan. Pendukung Persija, Persib, Persebaya, PSMS, Sriwijaya FC, atau Arema, pernah bersuka cita merasakan momen terindah menyaksikan tim pujaan naik podium utama.

Rivalitas Nyawa Sepak Bola

Sepak bola bernyawa dengan adanya rivalitas. Setiap pertandingan dimainkan selama 90 menit selalu dua kubu berseberangan mengiringinya. Perdamaian juga bukan berarti menghilangkan rivalitas antara The Jakmania dengan Viking atau bobotoh.

Jalannya sebuah laga akan terasa hampa, ketika dua kubu suporter duduk manis tanpa meneriakan yel-yel tim yang didukungnya guna menjaga perasaan fans rival. Nonton sepak bola bukan seperti nonton bioskop yang didominasi suasana sunyi.

Ya, tapi tentu permusuhan juga tak lantas membuat laga batal digelar atau aksi para pemain di lapangan tak disaksikan penonton karena alasan keamanan.

Pernah membayangkan jika final Piala FA Inggris yang mempertemukan Manchester United kontra Liverpool berpindah dari Stadion Wembey, London, ke St. James Park, Newcaste, hanya gara-gara suporter Arsenal menolak kehadiran MU di London imbas peseteruan mereka dengan suporter Tim Setan Merah?

Sejujurnya saya mengimpikan bisa menyaksikan duel Persija vs Persib di partai puncak Piala Presiden 2015 dengan kondisi SUGBK atau Stadion Si Jalak Harupat penuh sesak suporter Oranye dan Biru. Tentu juga tidak lantas keduanya "berdamai," sehingga laga yang digelar tidak ada geregetnya.

Psywar dengan aneka ragam bentuk antar keduakubu suporter tetap harus ada, karena perbedaan itulah yang membuat sepak bola berwarna.

Jakmania menggelar unjuk rasa menyatakan penolakan atas rencana final Piala Presiden di Jakarta. Unjuk rasa di lakukan di depan Hotel Century Park, Jakarta. (Bola.com/Tengku Sufiyanto)

Namanya mengkhayal, asyik juga rasanya menyaksikan duel Persija vs Persib seperti menonton duel panas El Clasico ala Barcelona vs Real Madrid. Suporter El Real tetap punya jatah nonton di Camp Nou, atau sebaliknya penggemar Catalan tetap punya ruang di Bernabeu. Sepak bola semestinya menjadi olahraga demokratis. Boleh beda pilihan, tapi tetap akur dalam konteks kehidupan sosial antarmanusia.

Realita berkata, akhir pekan ini final Piala Presiden 2015 mempertemukan Persib melawan Sriwijaya FC digelar di Jakarta. Alangkah ciamiknya pula bila pemberitaan media berkaitan dengan duel puncak diisi cerita-cerita menarik dari sisi pertandingan, bukan berita-berita negatif di luar sepak bola yang mungkin bikin gusar fans sepak bola karena dihukum stigma negatif sebagai pembuat rusuh.

Sejatinya suporter klub-klub Indonesia barisan orang-orang loyalis dengan aksi-aksi kreatif yang membuat sepak bola terasa lebih berwarna dan punya citra rasa unik. Bak berlian, mereka aset yang bernilai buat sepak bola nasional. Mereka hanya butuh dipercaya dan dipahami isi hatinya. Mendengarkan terasa lebih baik dibanding menghakimi.

Jadi, pada akhir pekan ini mari nikmati Stadion Utama Gelora Bung Karno kembali jadi rumah buat semua, tanpa stigma dan amarah. Bisa? Saya tidak dalam posisi yang akan menjawab. Kawan-kawan The Jakmania serta Viking-bobotoh yang paling tahu jawabannya.

Baca Juga:

KOLOM: Boaz Solossa, Kerinduan Seorang Loyalis

KOLOM: Menyongsong Liga Kapitalis yang Mulai Berhemat

KOLOM: The West Ham Way

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sepak Bola Indonesia

Video Populer

Foto Populer