Sukses


Cover Story: Persija, Kejayaan di Era Merah dan Oranye

Bola.com, Jakarta - Persija Jakarta, salah satu klub elite Tanah Air, kental dengan nuansa warna oranye sebagai lambang identitas. Pada perjalanan sejak 28 November 1928, Tim Macan Kemayoran yang lahir dengan nama VIJ (Voetbalbond Indonesische Jacatra), awalnya menggunakan identitas merah dan putih di kostum kebanggaannya. Sejarah mencatat klub ibu kota mengalami kejayaan dengan penggunaan identitas warna-warna tersebut.

Surat kabar Pemandangan pada tahun 1934 pernah menulis arti dari warna merah dan putih tersebut. “Merah adalah kekoeatan dan Poetih adalah kehaloesan.” Pemilihan warna ini tepat untuk menggambarkan perjuangan yang diusung VIJ pada saat itu.

Merah adalah lambang perlawanan dan kekuatan, sedangkan putih adalah lambang kehalusan dan bisa juga berarti suci. Pada era itu pula, VIJ adalah corong dari perlawanan bangsa Indonesia melalui sepak bola. Dua warna itu berpadu dalam seragam VIJ, mewakili semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda lewat jalur sepak bola.

Bond (klub perserikatan) yang lahir dari konsep dua pendirinya, Allie dan Soeri, itu memang mewakili cita rasa Indonesia. Bermarkas di Jakarta Persija tidak hanya milik masyarakat Betawi, tapi masyarakat lintas suku yang menetap di ibu kota negara.

Penggambaran merah dan putih di VIJ juga menjadi cerminan Indonesia secara kecil. Di tubuh VIJ bercokol tokoh-tokoh besar negeri ini.

Mohammad Husni Thamrin menjadi pelindung perkumpulan sepak bola ini. Selain itu hadir pula tokoh penting BPUPKI, Dr. Koesoemah Atmadja, sebagai Ketua Umum VIJ yang kedua. Kehadiran Dr. Moewardi dan Dr. A. Halim juga turut menjadikan VIJ sebagai tempat berkumpulnya para tokoh besar bangsa ini yang siap berjuang memerdekakan Indonesia dari jalur sepak bola.

Bahkan, setelah Indonesia merdeka terbebas dari penjajahan Belanda dan Jepang, warna merah dan putih tetap dipertahankan walau VIJ sudah berganti nama menjadi Persija, yang lebih kental dengan cita rasa Indonesia.

Skuat Persija Jakarta saat menghadapi PSMS Medan pada 24 November 1954 di Stadion Teladan, Medan. (Repro Perpustakaan Nasional)

Di bawah pimpinan Jusuf Jahja, Persija masih tetap sama seperti dulu yang menjadi pusat bertemunya pemain dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia.

“Warna Merah-Putih mempertegas Persija sebagai sebuah klub pemersatu. Perserikatan yang satu ini dimotori klub-klub internal berwarna warni dari berbagai suku. Keberagaman terangkum dalam warna yang mewakili ke-bhineka tunggal ika-an,” tutur Binner
Tobing, pentolan klub PS Mahasiswa, salah satu klub anggota Persija.

Merah dan putih yang melekat di Persija membuat Presiden Republik Indonesia pertama, Ir Soekarno memberi perhatian khusus ke klub anggota perserikatan. Pada hari ulang tahun Persija ke-30, sang proklamator secara khusus memberikan ucapan selamat dan berpidato dalam acara besar ulang tahun Persija ke-30 di Lapangan Ikada, Jakarta.

"Maka pesanku supaya saudara-saudara lebih giat berjuang, menyusun dan menyempurnakan organisasi saudara-saudara, dengan pedoman: Segala usaha harus untuk kebesaran nusa, bangsa, dan negara Republik Indonesia, yang saudara-saudara turut memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945," demikian petikan pidato Soekarno dengan judul Maju Terus! yang dibacakan dalam acara memperingati hari jadi ke-30 Persija.

Soekarno jadi saksi hidup keberanian anak-anak muda pemberani yang ada di bawah naungan VIJ yang berjuang lewat jalur olahraga sepak bola. Soekarno tahu benar bahwa Persija merupakan bond yang jadi motor lahirnya PSSI.

Saat masih jadi Ketua Umum Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Bung Karno kerap menyaksikan laga-laga yang melibatkan VIJ dengan tim-tim daerah lainnya.

Buah cinta Soekarno pun tak hanya sampai di situ. Sebuah lapangan milik klub Voorwaarts Is Ons Streven alias VIOS diberikan Soekarno kepada Persija sebagai pengganti Stadion Ikada yang akan dihancurkan untuk pembangunan Monumen Nasional alias Monas. Ia pula yang memberikan lahan kosong buat Stadion Menteng pada 1961.

Almarhum Machmul salah satu pemain Persija di masa sebelum kemerdekaan, yang tertuang dalam buku Ulang Tahun ke-60 Persija, menegaskan Persija dengan warna Merah dan Putih identik dengan perjuangan bangsa Indonesia.

”Dulu di era 1945, saya bergabung dengan bond Persija. Suatu ketika diminta pemerintah Jakarta Raya untuk bertanding melawan kesebelasan PBB, mewakili Indonesia. Kesebelasan PBB yang kami lawan adalah para tentara yang biasa perang di medan laga. Pertandingan ini punya nilai politis buat negara, yakni penegasan kesanggupan sebuah bangsa yang sudah lama dijajah.”

Dengan semangat membara Pasukan Merah-Putih Persija memaksakan hasil imbang 2-2 melawan PBB. Hasil akhir yang membuat mereka sempat ketar-ketir bakal ditangkap pasukan PBB, karena bisa memberi perlawanan yang menyulitkan kubu lawan di lapangan.

“Hampir selama empat tahun kami para pemain mengungsi bersembunyi di sebuah pabrik sepatu di Klaten, Jawa Tengah," cerita Machmul.

Dengan identitas merah dan putih Tim Macan Kemayoran merasakan era emas di kompetisi Perserikatan pada tahun 1960-1970-an.

Pada era kejayaan, sebutan Persija adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Persija begitu melekat. Materi pemain Persija menjadi miniatur Tim Nasional.

Di era perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia Persija sukses jadi kampiun kompetisi perserikatan PSSI pada tahun 1931, 1933, 1934, 1938 dengan nama VIJ. Sukses dilanjutkan di masa-masa awal negara kita merdeka pada 1954.

Almarhum drg. Endang Witarsa, pelatih Persija yang sukses mempersembahkan gelar juara perserikatan 1964, didapuk menjadi pelatih Timnas Indonesia dengan materi pemain mayoritas asal Persija.

Endang alias Liem Soen Joe, arsitek revolusioner di Tim Macan Kemayoran. Ia berani melakukan peremajaan besar-besaran di jajaran pemain. Tim juara Persija 1964 dihuni pemain berusia 16-19 tahun.

Tim Persija Jakarta Persija Jakarta tahun 1971 dihuni banyak pemain berkelas yang jadi pelanggan Timnas Indonesia. (Dok. Merdeka)

"Saya seringkali mendapat kritikan yang pedas. Saat permainan tim mengecewakan, saya kadang-kadang ragu dengan apa yang saya yakini. Namun, setelah membaca buku-buku dan majalah-majalah tentang sepak bola, dan memikirkannya secara mendalam, saya yakin permainan yang saya usung adalah permainan yang paling sesuai dengan keadaan sekarang dan pemain kami," tutur Endang dalam buku 55 Tahun UMS.

Sinyo Aliandoe, Surya Lesmana, Yudo Hadiyanto, Soetjipto Soentoro, sederet pemain Persija didikan Endang Witarsa yang jadi pelanggan Tim Garuda, yang pada era tersebut disebut sebagai Macan Asia. Pada era 1960-1970 Persija amat produktif mencetak pemain-pemain berkualitas yang jadi pilar Timnas Indonesia.

Iswadi Idris, Rony Paslah, Anjas Asmara, Sutan Harhara, Oyong Liza, Risdianto, adalah figur-figur kunci Persija jadi Raja Indonesia pada tahun 1973, 1975, 1979.  

"Persija jadi tim yang amat menakutkan bagi setiap tim lawan, karena kami dihuni pemain-pemain yang juga berkostum Timnas Indonesia," ujar Oyong Liza, kapten Persija era 1970-an.

 

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 2 halaman

2

Persija dengan warna khas warna merah dan putih mengalami masa-masa sulit pada periode 1980-an sampai awal 1990-an.

Tim Macan Kemayoran sempat hampir degradasi dari kompetisi elite perserikatan pada 1985-1986. Beruntung Persija lolos dari kemelut, setelah sukses jadi jawara play-off promosi degradasi di Cirebon pada awal tahun 1986. Momen kelam itu tak akan pernah terlupakan hingga kini.

Uniknya walau kering prestasi Persija tetap subur melahirkan pemain-pemain top di era tersebut. Patar Tambunan, Adityo Darmadi, Tiastono Taufik, Rahmad Darmawan, Noah Meriem, Tony Tanamal, adalah pemain-pemain binaan Persija yang kerap dipanggil membela Timnas Indonesia. Kondisi internal organisasi membuat Persija kesulitan mencetak prestasi.

Penggabungan kompetisi perserikatan dengan Galatama pada pertengahan 1990-an tak membuat penampilan Persija membaik. Menghadapi persaingan ketat Liga Indonesia yang melibatkan klub dari kedua pentas kompetisi, Persija terhuyung-huyung.

Problem pendanaan membuat Persija kesulitan membangun tim bertabur bintang. Persija perlahan mulai ditinggalkan penggemarnya.

Momen penting terjadi pada 1996 saat Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta nyemplung menjadi Pembina Persija. Gubernur berdarah Semarang yang gila bola itu punya ambisi besar kembali membawa kejayaan buat Persija.

Ia figur yang ringan tangan membantu pendanaan Persija saat jadi orang nomor satu ibu kota. Bang Yos (panggilan akrabnya) menelurkan kebijakan ekstrem dengan mengubah warna kostum Persija dari merah-putih menjadi oranye.

Ia punya pandangan tersendiri saat memilih oranye sebagai warna kebesaran klub pengganti Persija. Ia berpandangan warna Jingga yang mentereng memiliki aura kemegahan, sepintas seperti pancaran warna emas.

Bang Yos beranggapan warna merah dan putih kurang kuat sebagai identitas diri, karena banyak klub-klub di Indonesia yang juga mengenakan warna ini sebagai warna kebesaran, sebut saja PSM Makassar atau Persipura Jayapura. Warna Merah-Putih juga menjadi warna dasar buat timnas Indonesia.

Atas permintaan Presiden Soekarno Persija pindah markas dari Stadion Ikada ke Stadion Menteng pada 1961. Ironisnya pada 2006 stadion yang dijadikan salah satu cagar budaya digusur Gubernur DKI, Sutiyoso. (Repro Buku 60 Tahun Persija)

Oranye lekat dengan timnas Belanda, negara yang ada di level elite di jagat sepak bola internasional. Gaya permainan menyerang De Oranje amat dikagumi Sutiyoso.

“Saya ingin Persija bermain total football layaknya timnas Belanda yang enak untuk ditonton,” ujar Bang Yos dalam sebuah perbincangan dengan bola.com di kediamannya di Cibubur, Jakarta Timur, baru-baru ini.

Persija yang tengah menjalani proses lahir baru butuh sebuah gebrakan untuk menandai kebangkitannya. Warna oranye yang dipilih sebagai identitas baru Tim Macan Kemayoran, ternyata membawa aura positif.

Klub yang di awal penyelenggaraan Liga Indonesia terseok-seok jadi penghuni tetap papan bawah, kembali ke khitah sebagai klub elite Tanah Air. Persija bukan lagi klub yang mudah kalah.

Ide mengubah identitas klub berjalan mulus karena klub-klub anggota cenderung menurut dengan titah Bang Yos yang berstatus sebagai pembina klub. Sang pemimpin jadi sandaran terakhir mereka untuk mengangkat Persija yang terhuyung karena krisis keuangan akut.

Lahirnya kelompok suporter The Jakmania membuat sosialisasi perubahan warna kebanggaan klub mulus. Jumlah anggota Jakmania yang terus bertambah meningkatkan popularitas warna Oranye.

Suporter Tim Ibu Kota tampil dengan ciri khas atribut warna Oranye saat memberikan dukungan kepada tim kesayangannya. “Warna merah sudah menjadi bagian dari sejarah masa lampau. Saat ini Persija adalah oranye,” tegas  Ferry Indrasjarief, salah satu pendiri Jakmania yang juga Ketua Umum Jakmania.

The Jakmania, mengibarkan bendera pada laga Piala Jenderal Sudirman melawan PBR di Stadion Kanjuruhan, Malang, Kamis (19/11/2015). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Gelar juara LI 2001 menegaskan Persija baru citra rasa Jingga."Sebuah kebanggaan bagi saya menjadi bagian dari klub ini saat Persija. Momen final Liga Indonesia 2001 jadi salah satu kenangan indah yang tidak bisa saya lupakan sebagai seorang pemain," ujar Widodo C. Putro, mantan striker Persija yang tampil dalam final LI 2001 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, yang berkesudahan 3-2.

Era Jingga Bang Yos berakhir pada musim 2006, seiring sang pembina lengser dari kursi Gubernur DKI Jakarta. Gubernur baru ibu kota, Fauzi Bowo alias Foke, meneruskan tongkat estafet sebagai Pembina Tim Macan Kemayoran. Sayang saat era Foke, Persija tidak bisa lagi mendapat bantuan dana APBD, seiring pemberlakuan UU pelarangan penggunaan dana hibah APBD yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri pada 2011.

Ferry Paulus, yang terpilih sebagai Ketua Umum Persija (Presiden Persija) pada 2011 harus pontang-panting menjalankan operasional klub tanpa injeksi uang rakyat. Dengan pendanaan yang pas-pasan Persija terlempar dari persaingan elite kompetisi kasta tertinggi Indonesia Super League.

Kasus-kasus tunggakan gaji ke pemain dan ofisial berulangkali mencuat pada musim 2011-2015. "Saya masuk ke Persija saat situasi tidak mengenakkan. Tidak hanya klub tidak bisa mendapat bantuan APBD, situasi juga diperparah dengan mencuatnya konflik dualisme kompetisi serta PSSI. Saya kesulitan menggaet sponsor untuk menghidupi klub," tutur Ferry.

Para pemain Persija menyapa The Jakmania usai berlaga pada Piala Jenderal Sudirman melawan PBR di Stadion Kanjuruhan, Malang, Kamis (19/11/2015). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Di pengujung masa akhir kepengurusan Ferry Paulus, keputusan berani diambil klub-klub anggota Persija. Mereka bersepakat mengembalikan warna kebesaran Persija menjadi Merah. Momen pengumuman perubahan dilakukan menjelang HUT Persija ke 87 yang jatuh pada 28 November 2015.

"Semangat yang diusung Spirit To Basic, kami klub-klub anggota berharap Persija bisa kembali berjaya dengan menggunakan atribut merah. Mulai 2016 Persija akan menggunakan kostum berwarna Merah," papar Kusheri Hapsari, Ketua Yayasan Persija.

Apapun keputusan yang diambil klub-klub internal, sejarah mencatat Persija menjadi klub besar saat menggunakan atribut merah, putih, serta oranye.  Perubahan ini tak lantas mengubur sejarah panjang klub selama puluhan tahun. Para legenda meninggalkan kebanggaan lewat sederet trofi, baik di era perserikatan atau Liga Indonesia.

Selamat ulang tahun Macan Kemayoran!

 

 

 

 

 

Video Populer

Foto Populer