Sukses


Warna Tionghoa di Persija dan Timnas Indonesia

Bola.com, Jakarta - Etnis Tionghoa punya peran penting dalam sejarah perjalanan sepak bola Indonesia dan juga Persija Jakarta. Kehadiran pesepak bola-pesepak bola berdarah Tionghoa di Tim Macan Kemayoran ditandai dengan klub besar yang identik dengan perjuangan etnis tersebut, yakni Union Makes Strength (UMS) dan Tunas Jaya (Chung Hua).

UMS sangat jaya di era sebelum dan sesudah kemerdekaan. Klub ini pernah menyumbangkan pemain bagi Persija dan juga Indonesia, beberapa nama dari mereka adalah pemain yang memberikan gelar juara bagi klub ibu kota itu.

Masa lalu UMS penuh cerita indah. Klub ini terlahir dengan nama Tiong Hoa Oen Tong Hwee (THOTH) pada 15 Desember 1905 oleh mendiang Song Chong Sin. Kala itu THOTH belum memainkan cabang sepakbola di perkumpulan olahraga yang memang khusus etnis tionghoa ini. Mereka masih fokus dengan bidang olahraga seperti atletik, tenis dan renang.

Baru pada 20 Februari 1912 muncul klub sepak bola berbasis etnis Tionghoa yang didirikan oleh Oey Keng Seng dan Louw Hap Ie dengan nama Tiong Hoa Hwee Koan (Pa Hua) FC.

Nama Union Makes Strength mulai dipakai pada 2 Agustus 1914 dan THOTH pun melebur bersama dengan UMS. Untuk menghormati THOTH sebagai organisasi olahraga etnis tionghoa yang sudah lebih dulu muncul, UMS memakai 15 Desember 1905 sebagai tahun kelahiran mereka.

UMS ternyata bukanlah klub tertua di Indonesia, masih ada Patjarkeling yang didirikan oleh haji Muhamad Zen di tahun 1902 di Surabaya dan di Batavia ada Rood-Wit dengan nama lengkap Bataviasche Cricket-en Football-Club yang didirikan pada tahun 28 September 1894 oleh J.D.

De Riemer. Rood-Wit ini adalah klub paling tua yang ada di Indonesia. Ketika sepak bola mulai populer di kalangan Tionghoa, UMS menyewa tanah di Petak Sinkian milik Haji Manaf pada tahun 1912. Atas inisiatif dari organisasi, mereka akhirnya lahan kosong tersebut dengan harga 6 Gulden.

Sang pemilik tanah menyewakan lahan miliknya untuk dipakai anak-anak UMS bermain sepak bola, sampai akhirnya mereka mampu membeli lahan tersebut untuk dijadkan 'rumah' hingga sekarang.

UMS bukan klub yang hanya jago kandang, karena UMS sangat rajin melakukan tur ke luar daerah Petak Sinkian bahkan mereka rajin menyambangi ke tempat-tempat klub sepakbola lainnya di luar Batavia, terlebih untuk bertanding melawan klub yang juga berbasis etnis Tionghoa.

Persija di awal masa berdirinya bagian dari perjuangan para pemuda melawan penjajah Belanda dan Jepang. Banyak pemuda-pemuda berdarah Tionghoa terlibat aktif dalam kegiatan klub. (Repro Sinpo)

Tahun 1920, UMS memtuskan untuk bergabung ke dalam suatu organisasi besar bernama West Java Voetbal Bond yang kemudian menjadi Voetbal Bond Batavia Omstreken (VBO). Disinilah UMS memperlihatkan taringnya sebagai klub terkuat di Batavia. UMS menjuarai kompetisi VBO di tahun 1930, 1932, 1933, 1934, 1937, 1938, dan 1949 .

Tidak ada yang bisa menghentikan hebatnya permainan UMS sampai pada akhirnya di tahun 1939 lahir pula klub yang berbasis Tionghoa bernama Cung Hwa atau yang sekarang kita kenal dengan nama Tunas Jaya.

Cung Hua dalam sejarahnya menjadi rival terhebat UMS hingga saat ini. Alasana kenapa selalu panas adalah pendiri mereka Tan Chin Hoat-yang juga ayah dari legenda Persija Tan Liong Houw-sebelumnya adalah pemain UMS.

Tan Chin Hoat bersama rekan-rekannya yang berada dalam tim kelas tiga UMS menyatakan keluar dari UMS dan membentuk suatu perkumpulan olahraga baru bernama Chung Hua.

Namun, keduanya pernah begitu kompak dalam urusan arah kebijakan perkumpulan mereka. Sudah merdekanya Indonesia dan semangat VIJ-Persija yang lebih didukung oleh warga pribumi membuat UMS dan Cung Hua berfikir untuk keluar dari VBO, dan bergabung dengan VIJ (yang pada tahun 1950 resmi berganti nama menjadi Persija).

Selain UMS dan Chung Hua ada BBSA, Hercules dan Oliveo yang juga ingin menjadi bagian dari Persija Jakarta yang memang saat itu diakui oleh PSSI sebagai badan sepak bola yang sah di Indonesia. Langkah besar UMS ini juga diikuti mulai terbukanya UMS dengan warga pribumi.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Jika saat itu UMS hanya diisi oleh orang-orang Tionghoa maka tanggal 26 Februari 1950, UMS membuka pintu untuk siapa saja
bergabung dengan UMS. Adalah Mohammad Djamiat Dalhar, yang tinggal di Tanah Abang menjadi warga pribumi pertama yang masuk ke dalam UMS.

Tahun 1950-an, Persija dimanjakan dengan pasokan pemain dari UMS dan juga Chung Hua. Hampir seluruhnya pemain inti Persija saat itu adalah pemain-pemain UMS dan Chung Hua.

Van der Vin, Thio Him Tjiang, Chris Ong, Giok Po, Hong Sing, Kwee Kiat Sek atau Djamiat Dalhar adalah produk dari UMS. Ditambah dengan Tan Liong Houw dan Wim Pie dari Chung Hua.

Mereka semua menyumbangkan gelar juara untuk Persija di tahun 1954 saat kekuatan Jakarta dan Medan bertemu di Stadion IKADA, Jakarta. Bahkan sebagian dari mereka adalah tulang punggung Tim Nasional Indonesia periode awal.

Bukan hanya era 1950-an Persija menikmati jasa pemain Tionghoa, karena di tahun 1959-1960 UMS menjuarai Kompetisi Persija dengan tidak mengalami kekalahan satu pun. Adalah Liem Soen Joe atau kita kenal dengan nama drg. Endang Witarsa, yang meracik UMS sedemikian hebat sehingga mampu memikat hati para pengurus Persija saat itu. Jadilah Soen Joe ditarik ke Persija menggantikan pelatih Wuwungan yang dinilai gagal di kompetisi Persija tahun 1958 dan 1959.

Soen Joe penuh idealisme, dan dia percaya bahwa pemain muda usia adalah senjata yang ampuh untuk meraih kemenangan. Benar saja setelah hampir memasukan semua pemain dari UMS seperti Kwee Tik Liong, Fam Tek Fong, Surya Lesama, Supardi, Didik Kasmara, Yudo Hadiyanto, Reni Salaki mengisi skuad Persija saat itu.

Tim Persija Jakarta Persija Jakarta tahun 1971 dihuni banyak pemain berkelas yang jadi pelanggan Timnas Indonesia. (Dok. Merdeka)

Dokter-sapaan Soen Joe juga memasukan nama Soetjipto Soentoro dan Sinyo Aliandoe dari Setia. Semua pemain yang berada di Persija tahun 1964 adalah anak muda.

Soen Joe mampu meramu pasukan muda itu meraih gelar juara dengan tidak terkalahkan satu pun, persis seperti yang UMS lalukan di Kompetisi Persija. Selain Persija yang dibuat hebat kembali oleh Dokter, Indonesia juga dibawanya juara di Kings Cup 1968 untuk pertama kali. Itulah Dokter, seorang Maestro Persija Jakarta dan Indonesia yang lahir dari UMS.

Namun, sejak peristiwa G30S warga Tionghoa mulai menjauhi sepak bola. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dituduh Orde Baru menjadi dalang peristiwa tahun 1965 itu, diidentikkan dengan etnis ini, dan membuat warga Tionhoa lebih memilih olahraga perseorangan seperti bulutangkis dan tenis meja.

Kini, seteah Orde Baru tumbang keberagaman mulai kembali diterima masyarakat. Perlahan tapi pasti muncul bibit-bibit baru pemain sepak bola Tionghoa. Kini pemain etnis Tionghoa di Persija Jakarta dan Timnas Indonesia mulai bermunculan.

Persija sempat merasakan sentuhan anak dari Tan Liong Houw, yakni Budi dan Wahyu Tanoto di era 1980-an plus Tan Tjong yang dikenal dengan nama Tony Tanamal. Di era modern tepatnya di tahun 2012, nama Abdul Tommy dari Tunas Jaya (Chung Hua) menjadi wakil pemain etnis Tionghoa-Betawi di Persija.

Di Timnas Indonesia, Kim Jeffrey Kurniawan, yang merupakan salah satu cucu dari keluarga Thio Him Tjiang juga sempat menghiasi dunia pesepak bolaan Indonesia.

Kehadiran pesepak bola berdarah Tionghoa di lapangan hijau dengan prestasinya telah menjadi coretan yang tetap tersimpan dengan rapi dalam sejarah sepak bola Indonesia.

*) Penulis Gerry Anugrah Putra, pemerhati sejarah sepak bola Indonesia yang bermukim di Jakarta

 

 

 

 

Sepak Bola Indonesia

Video Populer

Foto Populer