Bola.com, Jakarta - Dejan Antonic masih ingat dengan baik pengalaman pertamanya menginjakkan kaki di Tanah Air, 26 tahun silam. Pria yang kini melatih Persib Bandung itu mengaku dapat sambutan bak selebritis saat tiba di bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur tahun 1995.
Kala itu, pencinta sepak bola Surabaya, khususnya fans Persebaya, memang penasaran dengan sosok Dejan. Maklum, pria asal Serbia itu bersama dua pemain asing, Branko dan Plamen Kazakov merupakan pemain asing pertama milik klub yang kesohor dengan julukan "Green Force" di Liga Indonesia II.
Baca Juga
Kehadiran Dejan kian menyita perhatian karena datang dengan embel-embel pemain asing. Selain datang dengan harga tak murah, pria kelahiran Belgrade, 22 Januari 1969, itu punya rekam jejak karier yang tergolong apik.
Advertisement
Baca Juga
Dejan adalah bagian dari "generasi emas" timnas Yugoslavia yang menjadi juara Piala Dunia U-20 tahun 1987 bersama sederet nama pemain top Eropa macam Zvonimir Boban, Davor Suker, Predrag Mijatovic, dan Robert Prosinecki. Selain itu, ia juga pemain jebolan Red Star Belgrade, salah satu klub dengan nama besar di Yugoslavia (sekarang Serbia).
"Pertama saya kaget karena ada banyak warna hijau (warna kebesaran Persebaya) di bandara. Saat itu, saya pikir ada Presiden datang, namun mereka membawa tulisan 'Selamat Datang Dejan'. Saat itu ada sekitar 10 ribu orang yang menyambut," ucap Dejan mengenang masa-masa awalnya datang ke Indonesia saat berbincang dengan bola.com, beberapa waktu lalu.
Pria yang hanya satu musim berseragam Persebaya (1996-1996) itu datang ke Indonesia berkat saran legenda AC Milan, Dejan Savicevic. Saran itu diberikan Savicevic karena tahun 1994 sepak bola Yugoslavia disanksi akibat perang yang terus terjadi di kawasan tersebut.
Perang Balkan itu berimbas kepada para pesepak bola yang berasal dari salah satu negara di Eropa Timur tersebut. Kebanyakan pemain kesulitan untuk mendapatkan izin kerja untuk bermain di kompetisi benua biru. Sanksi itu pula yang membuat Dejan akhirnya harus angkat kaki dari klub Belgia, Beveren yang sudah dua musim ia perkuat (1992-1994).
"Saat itu bagi kami solusinya hanya ke Asia. Teman saya, Savicevic memberi solusi dengan mengusulkan bermain di Indonesia, sebuah negara yang ia katakan ingin memajukan sepak bola sepak bola. Selain itu, dia katakan sepak bola juga populer di Indonesia," kata Dejan meniru omongan Savicevic kala itu.
"Dia juga katakan juga ada Roger Milla dan beberapa pemain lain sudah di sana. Saya akhirnya pilih Indonesia karena menarik buat saya dan juga berkat saran dari Savicevic," ia melanjutkan.
Keputusan bermain di Indonesia itu pun diakui Dejan tidak salah. Semusim di Persebaya, pria yang kini berusia 47 tahun kemudian memperkuat dua klub lain di Indonesia, yakni Persita Tangerang (1996-1997) dan Persema Malang (1997).
Kendati petualangannya di klub Indonesia sebagai pemain terbilang singkat, karena memutuskan untuk melanjutkan karier di Hong Kong, Dejan tetap punya kesan yang mendalam dengan negeri seribu pulau ini.
Sebabnya, ia merasakan berbagai pengalaman unik yang belum pernah dirasakan semasa berkarier di Eropa. Mulai dari melakoni laga tandang dengan jarak tempuh yang jauh, berlatih pukul 06.30 pagi, hingga gaya sepak bola yang sangat kontras dengan gaya sepak bola Eropa.
"Pertama kali datang saya benar-benar kaget. Kaget karena harus menempuh perjalanan 7 jam untuk sampai ke Papua. Itu jauh sekali. Saya juga harus latihan setengah tujuh pagi. Di Eropa tidak ada latihan sepagi itu. Belum lagi permainan sepak bola yang kasar," ucap Dejan seraya tersenyum.
Hal lain yang juga tidak bisa dilupakan, Dejan mendapatkan jodoh wanita asal Indonesia. Perempuan berdarah Manado, Venna Tikoalu itu resmi menjadi pendamping Dejan setelah menikah pada 3 Juli 1999.
Pernikahan keduanya juga telah dianugerahi seorang putra, Stefan Antonic yang kini sudah berusia 15 tahun. "Saya senang sejak hari pertama di sini (Indonesia). Saya bertemu istri di sini dan mempunyai anak di sini. Saya betah di Indonesia juga karena faktor istri saya. Di saat yang paling berat, dia selalu ada di samping saya ," ia menuturkan.
Diakui Dejan, masyarakat Indonesia juga memiliki beberapa kemiripan dengan Serbia. "Mungkin orang tidak terlalu kaya, tapi bisa merasakan kebebasan. Saya juga tidak mendapatkan banyak masalah selama bekerja di sini," tukas mantan pelatih Pro Duta ini.
Kini, setelah mendapatkan banyak hal di Indonesia, pelatih yang memiliki lisensi UEFA Pro ingin memberikan sumbangsih lain. Caranya, mantan pelatih Kitchee SC dan timnas Hong Kong itu ingin memunculkan pemain-pemain muda yang bisa berguna untuk masa depan timnas Indonesia.
Sejak memutuskan berkarier sebagai pelatih, Dejan memang masuk kategori pelatih yang doyan membangun tim dengan fondasi pemain muda yang dipadukan dengan para pemain senior.
Perpaduan pemain junior dan senior itu sudah mulai ia saat menukangi tim Divisi Utama, Pro Duta. Kebijakan yang sama ia terapkan saat dipercaya melatih Pelita Bandung Raya (sekarang Madura United) selama dua musim dan juga Persib mulai tahun 2016.
Bersama Maung Bandung, Dejan sedang membentuk tim dengan wajah baru pasca kepergian para pemain pilar seperti Achmad Jufriyanto, Supardi, Firman Utina, dan Muhammad Ridwan, Makan Konate, dan Ilija Spasojevic.
Misi yang diakui Dejan tidak mudah. Namun, ia optimistis tim yang dibentuknya akan bisa meraih sesuatu jika diberikan waktu untuk berkembang hingga akhirnya siap bersaing dalam perburuan gelar juara.
"Dalam sepak bola ada proses. Persib tunggu 18 tahun untuk juara lagi dan sekarang kita lihat proses dari tim ini. Kalau sudah kasih 18 tahun untuk juara kenapa tidak kasih waktu untuk tim ini untuk juara. Malah bukan hanya juara, mungkin bisa lebih kompetitif di Piala AFC atau Liga Champions Asia," kata Dejan.