Bola.com, Surabaya - Ada sederet pemain hebat di balik kejayaan sebuah tim. Tidak terkecuali dengan yang terjadi di Persebaya Surabaya. Sejak era Perserikatan hingga Liga Indonesia, Persebaya selalu memiliki pemain tersohor di Tanah Air.
Dari seabrek nama yang ada, terdapat lima pemain yang pantas disebut sebagai legenda. Berdasarkan paramater tertentu, mereka yang layak disebut legenda Persebaya adalah Mustaqim, Yusuf Ekodono, Jacksen F. Tiago, Carlos de Melo, dan Bejo Sugiantoro. Kelima pemain itu pernah menjadi bagian dari masa jaya Persebaya di persepakbolaan nasional.
Baca Juga
3 Fakta Miring Timnas Indonesia Selama Fase Grup yang Membuat Pasukan STY Limbung Lalu Hancur di Piala AFF 2024
Deretan Hal yang Membuat Rekam Jejak Timnas Indonesia Layak Dapat Pujian Meski Gagal di Piala AFF 2024
3 Penyebab Timnas Indonesia Gagal Total di Piala AFF 2024: Tidak Ada Gol dari Pemain Depan!
Advertisement
Baca Juga
Salah satu parameter yang membuat mereka pantas disebut legenda adalah jika ada pemain muda bertalenta muncul di Persebaya, publik Surabaya selalu membandingkannya dengan kelima sosok itu. Bahkan sampai sekarang mereka masih menjadi tolok ukur buat pelatih di Surabaya, saat merekrut pemain di posisi yang pernah mereka tempati.
Mustaqim
Pencinta sepak bola Surabaya tidak akan pernah lupa dengan Mustaqim. Striker haus gol kelahiran Surabaya 6 September 1964 ini pernah menjadi idola warga Surabaya karena performa apiknya selama memperkuat tim berjulukan Bajul Ijo di periode 1985-1988.
Duetnya bersama Syamsul Arifin kala itu sangat ditakuti lawan. Jika keduanya ada di kotak penalti, kans sekecil apapun bisa dikonversi menjadi gol. Mustaqim tidak hanya tajam saat mengeksekusi peluang, tetapi juga aksi individunya kerap membuat pemain belakang kerepotan menjaganya.
Mustaqim punya andil besar atas sederet prestasi yang dicapai Persebaya. Salah satu gelar juara paling fenomenal adalah Perserikatan 1987-1988. Selain itu ada juga trofi Piala Tugu Muda, Piala Persija, dan Piala Hamengkubuwono.
Seusai mengantarkan Persebaya juara Perserikatan pada musim itu, Mustaqim hijrah ke Petrokimia Gresik pada musim 1989-1990. Tetapi, hanya bertahan satu musim, Mustaqim pulang kampung dengan memperkuat Assyabaab mulai 1990-1991.
Di tim itu Mustaqim menahbiskan dirinya sebagai pencetak gol terbanyak Divisi I. Tak puas hanya meraih gelar individu, Mustaqim hengkang ke Mitra Surabaya yang diperkuatnya selama empat tahun hingga 1994.
Selama empat tahun bertahan di satu klub membuat Mustaqim ingin mendapatkan tantangan baru. Itulah mengapa ia kembali bergabung dengan Assyabaab yang kali ini menggandeng Salim Group Surabaya, sehingga namanya menjadi Assyabab Salim Group Surabaya atau ASGS. Dua tahun bersama ASGS, Mustaqim pensiun dan banting setir menjadi pelatih.
Selama berkarier sebagai pemain, panggilan dari pelatih Timnas Indonesia kerap didapat. Prestasi terbaiknya ketika bersama Tim Garuda meraih medali perunggu SEA Games 1989 Kuala Lumpur.
Di sisi lain, profesi pelatih ternyata tidak mengilap seperti saat jadi pemain. Ia mengawali karier sebagai asisten pelatih di Persebaya pada 1997-1999. Kemudian menjadi asisten pelatih PON Jatim 2000. Jabatan pelatih kepala baru didapat ketika menangani Persela Lamongan pada 2000-2001 di kompetisi Divisi Dua.
Setelah itu berturut-turut pada 2004 menjadi pelatih Timnas Indonesia U-12, Persela (2005), Gresik United (2006), Mitra Kukar (2007), PKT Bontang (2008-2009), Mitra Kukar (2010-2011), Deltras Sidoarjo (2011-2012), dan PS Sumbawa Barat (2013).
Prestasi Mustaqim sebagai pelatih hanya juara Divisi dua bersama Persela Lamongan, mempromosikan Mitra Kukar ke Divisi Utama 2007, dan medali emas buat skuat PON Jatim 2000, dan PON Jatim di Palembang pada 2004.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Berikutnya
Yusuf Ekodono
Yusuf Ekodono merupakan satu dari sekian banyak pemain bertalenta yang pernah dilahirkan di Bumi Surabaya. Talentanya bahkan mendapat pengakuan lebih banyak dari publik sepak bola nasional dibandingkan dari Kota Pahlawan. Ini tidak lepas dari kemampuan individu yang dimilikinya. Ciri khas dari Yusuf Ekodono adalah keberaniannya melakukan penetrasi di dalam kotak penalti lawan.
Berkat kelebihan itu Yusuf kerap menjadi sasaran pelanggaran pemain belakang. Namun fakta itu tidak membuatnya ciut, ia malah terus melakukannya sehingga tidak mampu mencetak gol dengan proses yang indah.
"Pergerakannya sulit ditebak. Bisa melewati satu sampai tiga pemain sekaligus. Tidak jarang juga mampu memperdayai kiper," ujar Putut Widjanarko, mantan rekan satu tim Yusuf Ekodono.
Mantan pemain ini memulai karier sepak bolanya dari klub internal Persebaya: Indonesia Muda. Dari situ Yusuf ditemukan pemandu bakat Persebaya. Kematangan bermain di usia yang relatif muda, membuat ayah dari pemain Surabaya United, Fandi Eko Utomo, ini dipromosikan ke Persebaya junior pada 1985.
Bergabung dengan tim sebesar Persebaya membuat kualitasnya makin terasah. Tidak heran setahun berikutnya langsung promosi ke Persebaya senior. Yusuf pun menjadi bagian dari skuat Persebaya saat menjadi runner-up Perserikatan 1986-1987 dan juara Perserikatan 1987-1988. Tetapi, saat itu Yusuf masih lebih banyak menjadi pemain cadangan.
Dari situ semangat Yusuf menggeser posisi senior terus bergelora. Striker utama Mustaqim yang hengkang ke Assyabaab pada 1989, tidak disia-siakan Yusuf. Performa maksimal terus ditunjukkannya hingga membuat pelatih Persebaya memberi kesempatan bermain di tim senior lebih banyak.
Bahkan pelatih Timnas Indonesia di SEA Games 1991, Anthony Polosin, memasukkan namanya ke dalam skuat ke Manila. Tak sia-sia, Yusuf berperan besar atas sukses timnas Indonesia meraih medali emas SEA Games 1991, yang di pertandingan final mengalahkan Thailand lewat adu penalti, skor 4-3.
Pada musim 1995-1996Â Yusuf Ekodono kemudian hijrah ke PSM Makassar. Di tim barunya ia terus mempertahankan performa apiknya. Namun hanya bertahan satu musim, Yusuf kembali ke Persebaya. Keputusannya terbilang tepat karena langsung ikut andil Persebaya meraih gelar juara Liga Indonesia.
Usai mengantarkan Persebaya juara Liga Indonesia 1996-1997, Yusuf bergabung dengan PSIS Semarang. Setelah itu berturut-turut memperkuat Gelora Dewata dan Persijap Jepara. Pada 2002 Yusuf kembali ke Surabaya menjadi pemain sekaligus pelatih Suryanaga.
Kini Yusuf Ekodono masih aktif di lapangan hijau sebagai pelatih PS Fajar di Surabaya. Tetapi, aktivitas melatihnya sudah tidak seperti dulu karena sejak 2016 juga bekerja sebagai tenaga honorer di Dispora Surabaya.   Â
Advertisement
Berikutnya
Jacksen F. Tiago
Saat Persebaya meraih gelar juara Liga Indonesia 1996-1997, tim kebanggaan bonek ini adalah tim superior. Klub berjulukan Bajul Ijo itu sulit ditaklukkan karena memiliki materi pemain kelas wahid. Ketika itu salah satu pemain andalannya adalah Jacksen F. Tiago, striker asal Brasil.
Nama Jacksen sebetulnya sudah melambung saat musim membawa Petrokimia Gresik menjadi runner-up Liga Indonesia 1994-1995. Tetapi, pria murah senyum itu makin berkibar saat mewujudkan impian publik Surabaya menjadi juara di kompetisi tertinggi Tanah Air. Kontribusi Jacksen buat Persebaya di musim itu sangat besar. Selain meraih gelar juara, Jacksen juga terpilih sebagai pemain terbaik.
Dua musim di Persebaya, Jacksen mencari tantangan baru bersama Geylang United di Singapura. Rasa rindu yang teramat besar dengan Persebaya membuatnya hanya bertahan semusim di Singapura dan kembali ke Surabaya. Pada 2001, ia juga kembali memperkuat Petrokimia dan memutuskan pensiun pada akhir musim itu. Profesi pelatih dijalaninya selepas gantung sepatu.
Jacksen membuktikan sepak bola adalah habitat aslinya. Itu karena selama dua musim menjadi pelatih Persebaya, Jacksen dua kali pula membawa Persebaya berprestasi. Jika pada musim 2003 Jacksen membawa timnya promosi ke Divisi Utama, semusim berikutnya langsung menjadi juara Liga Indonesia 2004. Lengkap meraih prestasi bersama Persebaya, baik sebagai pemain maupun pelatih, membuat dirinya tertantang membuktikan di tempat lain.
Ia pernah menjadi pelatih Persiter Ternate dan Persibom Bolaang Mongondow, hingga akhirnya sukses berat bersama Persipura Jayapura. Ia mampu membawa Persipura juara ISL musim 2008-2009, 2010-2011, dan 2011-2012, dan 2013.
Prestasi itu membuat Rawon, panggilan akrabnya, dipercaya PSSI untuk menangani timnas senior. Namun, karena pekerjaan pelatih timnas itu juga dirangkap dengan tetap menjadi pelatih Persipura, membuat fokus Jacksen seperti terpecah. Ia akhirnya memutuskan untuk berhenti dari kursi pelatih timnas dan fokus ke klub. Kini, Jacksen sudah hampir tiga tahun ini menangani klub Malaysia, Penang FA.
Berikutnya
Carlos de Mello
Dibandingkan legenda Persebaya Surabaya lainnya, kebersamaan Carlos de Mello dengan tim Bajul Ijo terhitung paling singkat. Buktinya usai mempersembahkan gelar juara buat Persebaya di Liga Indonesia 1996-1997, gelandang flamboyan asal Brasil itu angkat kaki untuk bergabung dengan PSM Makassar.
Meski demikian ingatan tentang Carlos de Mello masih menancap kuat dalam benak bonek. Itu karena totalitas dan dedikasinya selama memperkuat Persebaya sangat total. Kolaborasinya dengan Jacksen F. Tiago pada musim itu membuat Persebaya begitu ditakuti lawan.
Kualitas pemain yang memiliki ciri khas perut gembul ini memang tidak terbantahkan. Selain aksi individunya yang menawan, Carlos memiliki umpan akurat yang sangat memanjakan striker. Hasilnya lini depan Persebaya begitu tajam dengan bukti striker utama Jacksen produktif.
Sampai sekarang Carlos de Mello masih menjadi pujaan publik Surabaya. Ia masih dianggap sebagai playmaker asing terbaik yang pernah bermain di Indonesia. Bahkan saking cintanya terhadap Carlos, bonek sering membandingkan aksi sang legenda dengan gelandang asing lainnya yang keluar dan masuk memperkuat Persebaya.
Kehebatan Carlos sebagai pemain tampak jelas dengan dua gelar juara kompetisi kasta tertinggi bersama Persebaya 1996-1997 dan PSM Makassar 1999-2000.Tetapi, ketika banting setir menjadi pelatih usai pensiun, peruntungan Carlos tidak sama dengan saat menjadi pemain. Ia hanya sempat menjadi pelatih PSM Makassar, Putra Samarinda, dan Timnas Pelajar Indonesia.
Advertisement
Berikutnya
Sugiantoro
Tidak terbantahkan lagi bila Sugiantoro adalah salah satu legenda terbesar Persebaya. Kiprahnya bersama Persebaya sulit ditandingi para penerusnya. Pemain yang akrab dipanggil Bejo ini selalu bermain prima saat masih aktif bermain di posisi libero atau stoper.
Dua gelar juara dipersembahkannya buat Persebaya pada musim 1996-1997 dan 2004. Itu adalah bukti konkret kehebatan pemain murah senyum ini. Sebelum bersinar terang bersama Persebaya, Sugiantoro pernah merasakan tempaan dalam proyek mercusuar PSSI, yaitu Timnas Primavera di Italia. Tetapi, tak seperti mayoritas rekannya, Sugiantoro memilih pulang karena tidak mampu menahan rindu terhadap keluarga.
Namun, begitu Sugiantoro tetap menjadi langganan timnas senior. Permainan lugasnya membuat Sugiantoro selalu masuk dalam daftar pemain yang dipanggil timnas di berbagai ajang. Namun, Sugiantoro memutuskan pensiun lebih cepat dari timnas karena merasa dapat perlakuan tidak adil dari PSSI.
Kejadian yang membuatnya sakit hati saat memperkuat PSPS Pekanbaru dihukum larangan bermain selama setahun. Ia didakwa terlibat dalam pemukulan terhadap wasit Subandi dalam salah satu pertandingan PSPS. Selain memperkuat Persebaya dan PSPS, Sugiantoro pernah memperkuat klub lain seperti PSMP Mojokerto dan Persida Sidoarjo. Di klub Sidoarjo itulah Sugiantoro memutuskan pensiun.
Selepas menjadi pemain, Sugiantoro sempat meniti karier sebagai pelatih di SSB Surabaya. Tetapi, kemudian ia lebih memilih mengembangkan bisnis pribadinya, yaitu jasa kontainer dan pergudangan. Saat ini Sugiantoro juga tercatat sebagai salah satu tenaga honorer di Dispora Surabaya bersama beberapa mantan pemain lainnya seperti Mat Halil, Endra Prasetya, Jatmiko, dan Yusuf Ekodono.
Â
Â