Bola.com, Palembang - Pecinta sepak bola Indonesia tentu mengenal nama Widodo Cahyono Putro. Saat masih aktif jadi pemain awal 1990-2000, Widodo yang berposisi sebagai striker adalah bintang besar di eranya. Sinar kebintangannya di masa jayanya sangatlah terang benderang.
Widodo pengoleksi gelar juara Liga Indonesia bersama Persija Jakarta (2001) dan Petrokimia Gresik (2002). Setelah gantung sepatu pada 2004, pria asal Cilacap ini banting setir menjadi pelatih.
Sayang, karier pelatih muda berlisensi A AFC ini tak semengilap ketika ia masih aktif bermain.
Di saat bayang-bayang prestasinya yang redup sebagai seorang pelatih, kini Widodo memiliki tantangan berat bersama tim yang baru saja ia tangani, Sriwijaya FC. Tim Laskar Wong Kito bertabur bintang bertabur prestasi.
Advertisement
Baca Juga
SFC tercatat dua kali juara kompetisi kasta elite, yakni pada musim 2007-2008 dan 2011-2012. Belum lagi ditambah trofi Piala Indonesia pada edisi: 2008, 2009, 2010. Jangan heran ekspetasi petinggi klub dan suporter selalu tinggi.
Pelatih matang pengalaman, Benny Dollo, didepak paksa dari Sriwijaya FC hanya gara-gara gagal menyajikan gelar juara di sejumlah turnamen sepanjang 2015 hingga awal 2016 ini. Sejauh mana Widodo menyikapi tantangan berat yang dihadapinya?
Berikut wawancara bola.com dengan pencipta gol indah gaya salto di Piala Asia 1996 pada Kamis (13/4/2016):
Apa saja tantangan yang Anda rasakan menjadi pelatih kepala Sriwijaya FC?
Sriwijaya FC langganan papan atas di kompetisi. minimal saya harus bisa membawa tim ini berprestasi seperti sebelumnya. Prestasi tinggi terakhir tim ini adalah ke final Piala Presiden 2015. Saya dituntut minimal bisa membawa tim ini meraih prestasi yang setara atau bahkan juara di turnamen jangka panjang bertitel Indonesia Soccer Championship (ISC) 2015 nanti.
Selain itu, tantangan lain yang saya hadapi adalah bagaimana saya bisa menjadikan semua elemen di tim ini solid. Ada empat elemen yang musti bahu-membahu. Mereka meliputi manajemen, jajaran pelatih, ofisial, dan pemain. Karena mereka bertemu setiap hari.
Apa kendala yang Anda rasakan untuk menyatukan mereka?
Saya orang baru di tim ini, begitu juga beberapa orang di unsur yang lain. Butuh waktu untuk menciptakan hubungan yang baik, sinergitas, menciptakan kesamaan rasa dan nasib. Sehingga ada tujuan yang sama dalam membangun tim ini.
Adakah resitensi yang Anda rasakan di internal tim ini?
Tidak ada, sejauh ini semua bisa menerima saya. Hanya komunikasi yang harus lebih diintensifkan. Supaya internal tim ini selalu kompak. Kekompakan, bahu-membahu adalah modal besar sebuah tim dalam menggapai target.
Apa target yang dicanangkan manajemen, dan apa target pribadi Anda? Apakah realistis?
Targetnya lolos ke final, sama dengan target saya pribadi. Soal realistis atau tidak memang harus disesuaikan dengan apa yang kita miliki. Tapi ini bukan soal realistis atau tidak, target dibutuhkan untuk memacu motivasi saya, dan semua yang ada di tim ini untuk berbuat yang terbaik.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Momok Kegagalan
Tim Anda dihuni sejumlah pemain bintang, bagaimana cara Anda menekan ego mereka?
Yang pertama saya tekankan, bintang itu hanya label. Saya tidak perlu mengingatkan mereka. Mereka tahu saya dan bagaimana saya melatih. Apalagi banyak pemain yang sudah pernah bekerja sama dengan saya saat menjadi asisten pelatih di Timnas Indonesia. Jadi mereka secara otomatis mengerti apa yang harus mereka lakukan tanpa harus saya perintah atau saya tegur.
Apa yang Anda lakukan pada pemain muda bertalenta di Sriwijaya FC agar mereka bisa muncul?
Saya punya pengalaman menangani Timnas Indonesia U-21 yang menjadi finalis di Halsanah Bolkiah Cup di Brunei pada 2012. Saya tahu bagaimana caranya mengeluarkan bakat besar yang mereka miliki. Jadi tidak ada masalah.
Saat masih aktif bermain, prestasi Anda sangat mengilap. Tapi kenyataan ini terbalik ketika menjadi pelatih. Apakah ini menjadi momok bagi Anda?
Tidak, saya tak pernah menganggap itu sebagai momok atau beban. Saya menyadari, prestasi saya saat aktif bermain bagus, tapi peruntungan itu berubah ketika menjadi pelatih. Menjadi pemain dan pelatih sangatlah berbeda.
Sudah banyak buktinya, seorang pelatih yang dulu hebat ketika masih bermain, tapi redup kala melatih.Yang terpenting sekarang, saya sudah berusaha maksimal untuk meraih prestasi seperti yang diinginkan manajemen, publik Palembang dan seluruh suporter Sriwijaya FC.
Ukuran pelatih sukses bagi Anda seperti apa?
Tentu saja prestasi, juara. Tapi pembinaan juga penting. Karena itu, sukses seorang pelatih tidak hanya membawa timnya juara, tapi juga memunculkan pemain muda yang nantinya menjadi tumpuan sepak bola Indonesia di masa depan.
Sudah siapkah Anda menghadapi segala risiko terburuk?
Sangat siap, dan harus selalu siap. Saya tahu betul, semua konsekuensi yang harus saya terima jika dianggap gagal di tim ini. Karena ukuran gagal itu relatif. Bagi saya tidak gagal, tapi belum tentu bagi manajemen Sriwijaya FC. Yang saya lakukan saat ini bekerja, bekerja, dan bekerja.
Advertisement