Bola.com, Jakarta - Sepanjang sejarah perjalanan PSSI sejak berdiri pada 19 April 1930, Timnas Indonesia mencatat sejumlah momen emas yang membanggakan. Timnas Indonesia yang pernah disegani dengan julukan Macan Asia mengalami pasang surut prestasi.
Cerita soal keikutsertaan Indonesia dengan mengusung nama Hindia Belanda di Piala Dunia 1938 jadi kenangan indah di masa awal berdirinya PSSI. Organisasi sepak bola tertinggi Tanah Air berdiri sebagai perjuangan menghadapi penjajah Belanda dan Jepang lewat medium sepak bola.
Baca Juga
Advertisement
Baca Juga
Selain cerita soal Piala Dunia 1938, Tim Merah-Putih sempat memesona saat menahan 0-0 tim kelas dunia, Uni Soviet, pada perempat final Olimpiade 1956 Melbourne, Australia. Timnas Indonesia kala itu diarsiteki Antun ‘Toni’ Pogacnik. Namun, pada laga ulangan, Maulwi Saelan dkk. kalah 0-4. Soviet pada akhirnya jadi jawara di Olimpiade edisi tersebut.
Cerita kenangan Indonesia hampir lolos ke Piala Dunia 1986 Meksiko hingga kini masih menjadi buah bibir. Langkah Tim Garuda yang kala itu dilatih Sinyo Aliandoe, terhenti di fase akhir penyisihan zona Asia.
Babak kedua Zona B AFC Kualifikasi Piala Dunia 1986 mempertemukan Indonesia dengan Korea Selatan. Indonesia kalah 0-2 pada pertemuan pertama, 21 Juli 1985 di Seoul. Kemudian pada pertemuan kedua, 30 Juli 1985, Indonesia kalah 1-4 di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Kalah agregat 1-6 membuat Indonesia harus mengubur impian menuju Piala Dunia. Meski gagal, pencapaian timnas arahan Sinyo Aliandoe jadi salah satu yang terbaik karena nyaris lolos ke Piala Dunia.
Sayangnya kisah sukses Indonesia di masa lalu hanya tinggal kenangan. Saat ini bisa dibilang tak ada prestasi yang membanggakan diraih negara kita. Sepanjang 2015 dan awal 2016 Timnas Indonesia absen di kancah internasional karena PSSI tengah terkena sanksi pembekuan oleh FIFA. Hukuman dijatuhkan karena konflik antara PSSI dengan Kemenpora.
Terlepas dari segala kontroversinya, di hari ulang tahun PSSI tahun ini, bola.com mengajak pembaca bernostalgia mengenang momen-momen emas Timnas Indonesia. Gelar-gelar juara apa saja yang diraih Tim Garuda?
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Selanjutnya
Merdeka Games 1961
Gelar juara Merdeka Games 1961 bak pembuka jalan raihan gelar juara Timnas Indonesia di turnamen-turnamen top Asia. Tim Merah-Putih yang saat itu dilatih Antun ‘Tony’ Pogacnik berhasil membungkam Malaysia 2-1, meski bermain di bawah tekanan penonton tuan rumah yang membanjir Stadion Kuala Lumpur pada 13 Agustus 1961.
Seperti pandangan mata wartawan Merdeka, Anhar, tim Indonesia bermain tenang meski mendapat sorakan dari pendukung Malaysia. Garuda yang dipimpin oleh Tan Liong Houw itu bisa memperagakan pertahanan yang baik dengan prinsip ‘keep the pinalty area clean’ ala Pogacnik.
Permainan keras menjurus kasar yang diperagakan Tim Negeri Jiran tak membuat pemain-pemain Indonesia terpancing emosi. Yang ada, kubu tuan rumah terkejut dengan kecepatan Dirhamsjah memotong bola di sela-sela pertahanan Malaysia.
Malaysia yang bermain-main di daerah pertahanan lawan tercengang ketika pemain dari Persija itu memutus operan pemain Malaysia dan dengan cepat berlari ke depan gawang Jusof Bakir.
Tepat depan muka Bakir, Dirhamsjah melepaskan tendangan keras dan "oommm!!" gol pun tercipta untuk Indonesia.
Selepas gol Dirhamsjah, Indonesia lengah dan membiarkan Gani melakukan revans gol dengan menjebol gawang Harry Tjong. Menurut laporan dari Merdeka, Fattah sangat menyesal karena kalah dalam duel udara melawan Gani yang berakibat bebasnya Gani di depan gawang Tjong.
Pada babak kedua, kedua pendukung yang hadir di Kuala Lumpur dibuat deg-degan. Pasalnya, kedua tim mampu jual beli serangan.
Dalam keadaan sama kuat, terlihat Tan Liong Houw bermain dengan sangat tenang di lini tengah. Tugas yang diberikan oleh Pogacnik kepadanya sebagai penyeimbang antar lini dalam skema 1-4-1-4 ala Eropa Timur dijalankannya dengan apik.
Frans Jo menyentak publik Malaysia dengan golnya di babak kedua beberapa menit jelang laga usai. Ratusan pendukung Indonesia pun bertepuk tangan dan riang gembira menyambut gol pemain asal PSM Makassar itu. Tetapi, selepas gol Frans Jo inilah mental Indonesia diuji.
Malaysia semakin gila menyerang. Penggawa Garuda dipaksa bertahan total. Beberapa kali Tan Liong Houw harus turun membantu pertahanan bersama dengan Fattah.
Bahkan, Fattah sengaja memancing emosi pemain Malaysia dengan menekel keras kaki Gani. Tentu saja, apa yang dilakukan Fattah terhadap Gani itu tak bisa diterima oleh penonton Malaysia. Botol minum dari tribun pun beterbangan ke arah Fattah. Bukannya takut, pemain asal Persib Bandung itu hanya senyum-senyum kecil melihat kelakuan pendukung Malaysia.
Suara peluit panjang itu disambut dengan haru oleh pemain-pemain Indonesia. Mereka menangis haru dengan pencapaian bersejarah tersebut.
Ini adalah gelar pertama Indonesia di turnamen kelas Internasional. Sejarah pun tercipta: kemenangan yang sensasional di kandang rival abadi Pasukan Merah-Putih.
Advertisement
Selanjutnya
Pesta Sukan 1972
PSSI mengirim dua tim untuk ajang Pesta Sukan 1972 di Singapura pada bulan Agustus 1972. Tim A dan B bisa dibilang mempunyai kekuatan yang sama kuat. Penggawa Merah-Putih kala itu jadi salah satu tim yang disegani di kancah sepak bola Asia.
Timnas Indonesia A yang dilatih oleh Endang Witarsa merupakan kumpulan pemain-pemain kelas wahid di Tanah Air pada masa itu. Nama-nama seperti Jacob Silhasale dan Abdul Kadir (Persebaya Surabaya), Rony Paslah, Yuswardi (PSMS Medan), serta Risdianto (Persija Jakarta) menjadi senjata utama Tim A di ajang tersebut.
Di sisi lain, Timnas Indonesia B berisi pemain-pemain yang tak kalah hebatnya. Ronny Pattinasarany (PSM Makassar), Wibisono (Persebaya Surabaya), Tumsila (PSMS Medan), Andi Lala (Persija Jakarta) membuat tim yang dilatih oleh EA Mangindaan amat kokoh.
Tanpa diduga dua Timnas Indonesia itu pun melaju ke babak final. Tim B berhasil melaju setelah di semifinal mengalahkan Hong Kong dengan skor 4-1, sedangkan Tim A melaju ke final setelah mengalahkan Khmer (Kamboja) lewat skor telah 5-0.
Dua gol dari Andi Lala dan Wibisono cukup mengantarkan Indonesia B ke final. Namun, permainan gesit Andi Lala di pos kiri luar
mendapat kompensasi yang buruk. Pemain yang menjadi andalan Persija itu mengalami cedera patah kaki kiri.
Sedangkan di Indonesia A, menurut pandangan surat kabar Merdeka, bermain sangat gemilang. Gol pertama dicetak Risdianto pada menit ke-6. Penyerang asal Tim Macan Kemayoran itu melakukan solo run indah yang tak bisa dihalau oleh bek-bek Khmer dan diakhiri dengan tembakan keras ke gawang lawan.
Abdul Kadir mencetak gol kedua, lalu gol ketiga dicetak oleh Jacob Sihasale. Nyong Ambon yang besar di Surabaya itu berhasil menaklukkan gawang Khmer dengan umpan apik dengan Abdul Kadir.
Gol keempat sekali lagi dicetak oleh Abdul Kadir yang kali ini melakukan tendangan keras di dekat gawang dan pesta kemenangan ditutup oleh gol dari Waskito jelang bubaran pertandingan.
Pada laga final yang digelar di Stadion Nasional Singapura, Indonesia A berhasil menang dengan skor 2-1 atas Indonesia B.
Kesuksesan dua Timnas Indonesia mendapat sambutan meriah saat keduanya tiba di Jakarta. Tak hanya memboyong label “All Indonesian Final” saja, skuat Garuda juga memborong empat piala.
Trofi yang dibawa pulang Tim Merah-Putih A, yakni: trofi juara, piala best scorer di mana tim Indonesia A mengumpulkan gol terbanyak sepanjang turnamen dengan 11 gol, gelar best defend alias pertahanan terbaik, dan terakhir top scorer yang diraih oleh Risdianto.
Di era tersebut Timnas Indonesia amat bertaji di persaingan elite Asia. Gelar juara Merdeka Games di Malaysia (1970), Anniversary Cup III di Jakarta (1972), President Cup di Korea (1973), jadi bukti keperkasaan Tim Merah-Putih.
Selanjutnya
SEA Games Manila 1991
Latihan fisik yang keras di pinggir pantai dan kolam renangn dari pelatih Anatoly Polosin menjadi latihan fisik wajib bagi para pemain timnas yang dipersiapkan untuk SEA Games 1991. Uniknya, Polosin tak menerapkan latihan dengan bola dan jelas saja ini membuat para pemain bingung.
Lepas dari latihan fisik, Polosin menerapkan pola shadow football. Pemain bermain bola tanpa menendang bola yang sesungguhnya. Pemain langsung berlatih tanding tanpa bola selama 90 menit. Tetapi, latihan tersebut bukannya tanpa pengawasan ketat karena asisten pelatih Vladimir Urin mencatat jumlah sentuhan bola para pemain.
Tanpa diduga, pola latihan tanpa bola dari Polosin sangat berguna. Pemain-pemain timnas jadi sering aktif bergerak dan fisik menjadi lebih kuat untuk diajak adu lari sepanjang 90 menit. Polosin yang membawa pemain muda Widodo C. Putro dan Rochy Putiray, ternyata tak salah. Keduanya menjadi pahlawan kemenangan timnas dari Malaysia dengan skor 2-0.
Di laga kedua, Timnas Indonesia mampu menang tipis atas Vietnam 1-0 lewat gol kapten Persib, Robby Darwis. Di laga terakhir, Merah-Putih melumat Filipina dengan skor 2-1 melalui gol pemain senior Raymond Ferril Hattu dan bintang muda Rochi Putiray.
Di semifinal, Singapura siap menghadang Indonesia. Namun permainan alot diperagakan Singapura, dan Indonesia harus melalui babak adu penalti. Pasukan Garuda akhirnya berhasil mengatasi perlawanan Singapura dan melaju ke final menghadapi Thailand.
Thailand bukanlah lawan yang mudah. Indonesia harus mati-matian menahan gempuran Worawut Srimaka dkk. Laga 90 menit pun berakhir dengan kedudukan 0-0. Pertandingan dilanjutkan ke babak adu pilati.
Di babak pertaruhan nyawa itulah Eddy Harto dan Sudirman tampil sebagai bintang. Eddy Harto sigap menangkis tendangan pemain Thailand dan Sudirman sukses menjadi algojo terakhir dan membawa Indonesia berpesta. Indonesia menang 4-3 dan membawa pulang medali emas SEA Games ke bumi pertiwi. Pencapaian ini mengulang prestasi SEA Games 1987. Hingga saat ini prestasi tersebut belum juga bisa diulangi.
Advertisement
Selanjutnya
Piala AFF U-19 2013
Publik sepak bola nasional dibuat terkesima menyaksikan kiprah anak-anak muda Timnas Indonesia U-19 kala menjuarai Piala AFF U-19 2013. Bertindak sebagai tuan rumah Indonesia sukses menekuk Vietnam 7-6 lewat drama adu penalti di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, pada 22 September 2013.
Tim muda yang diasuh oleh Indra Sjafri mengakhiri dahaga panjang prestasi Indonesia di kancah internasional. Publik tergila-gila pada penampilan Tim Garuda Jaya (julukan yang diberikan pelatih ke anak-asuhnya) yang memainkan sepak bola indah.
Aksi Evan Dimas dkk. yang mengedepankan penguasaan bola dan operan pendek merapat disebut-sebut mirip klub elite Spanyol, FC Barcelona.
Indra dianggap jempolan karena membentuk tim belia super di tengah prahara konflik dualisme PSSI. Pelatih asal Sumatra Barat itu hampir dicopot dari jabatannya oleh PSSI hasil rekonsiliasi menjelang Piala AFF karena dianggap bagian dari rezim kepengurusan sebelumnya yang terpinggirkan.
PSSI rekonsiliasi yang dipimpin duet Djohar Arifin-La Nyalla Mattalitti sempat menunjuk arsitek asal Argentina, Louis Blanco menangani Timnas Indonesia U-19. Sang pelatih asing awalnya berstatus pelatih Tim Merah-Putih senior. Ia dipaksa turun pangkat oleh Badan Tim Nasional (BTN) yang memilih Jacksen F. Tiago.
Lantaran Blanco menolak, akhirnya Indra didaulat menangani Timnas Indonesia U-19. Sang mentor sejatinya sudah setahun lebih dipercaya PSSI kepemimpinan duet Djohar Arifin-Farid Rahman menukangi timnas junior level U-17 dan U-19.
Di tangan Indra Sjafri, Tim Garuda Muda meraih sejumlah prestasi. Timnas Indonesia U-17 menjuarai HKFA International Youth Football Invitation Tournament di Hong Kong pada 2012.
Saat itu, tim besutan Indra berhasil menjadi pemuncak klasemen akhir dalam turnamen yang digelar pada Januari 2012, setelah mencetak tiga kali kemenangan, yaitu 4-1 atas Makau, 1-0 atas Hong Kong, dan 3-1 atas Singapura.
Sebuah pencapaian yang istimewa mengingat saat itu Indra membentuk tim dengan sokongan dana yang amat minim. Guna mendapatkan pemain berbakat, ia blusukan ke berbagai daerah.
Setahun kemudian, Timnas Indonesia U-18 (dengan materi pemain yang sama) mempertahankan gelarnya dalam HKFA International Youth Football Invitation Turnamen, pada Februari 2013. Setelah ditahan 2-2 oleh Singapura dan menang 2-0atas Hong Kong, Gavin Kwan Adsit cs. berhasil menjadi pemuncak klasemen akhir usai bermain imbang 0-0 melawan Malaysia.
Meski memiliki nilai yang sama dengan Tim Negeri Jiran (5 poin), Indonesia mengungguli Malaysia dengan selisih gol memasukkan-kemasukan 4-2 berbanding 3-1.
Modal kekompakan jadi kunci sukses Timnas Indonesia U-19. Para pemain pemain berlatih bersama dalam kurun waktu yang lama. Selain figur Evan Dimas, nama-nama pemain macam Ilham Udin Arymain, Roni Yabes, Rafi Murdianto, Hargianto, Zulfiandi, mencuat ke permukaan. Mereka dianggap generasi emas yang digadang-gadang bakal bisa mendongkrak prestasi Indonesia di pentas internasional.
Kualitas permainan yang memukau kembali mereka pertontonkan kala menggasak raksasa Asia, Korea Selatan 3-2 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, pada ajang Kualifikasi Piala AFC U-19 2014. Kubu lawan berstatus sebagai juara bertahan turnamen.
Sayangnya kecemerlangan mereka tak berlanjut saat memasuki putaran final Piala AFC U-19 yang digelar di Myanmar. Langkah tim asuhan Indra Sjafri terhenti di fase penyisihan. Mereka gagal mewujudkan mimpi lolos ke Piala Dunia U-20 yang dihelat pada tahun 2015.
Walau begitu para pemain binaan Indra Sjafri kini menyebar di klub-klub kasta elite Tanah Air. Banyak di antara mereka yang promosi ke Timnas Indonesia U-23 SEA Games 2015. Di ajang multi event ini Indonesia gagal juara, hanya sukses menembus semifinal saja.