Bola.com, Jakarta - Sebuah ide bombastis diapungkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi pada awal pekan ini. Politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa tersebut menyebut berencana mendatangkan pelatih top kelas dunia, Jose Mourinho, untuk melatih Timnas Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Mengontrak sang mantan pelatih Chelsea tentulah tidak mudah. Selain banderol kontraknya yang setinggi langit, Mourinho sepanjang kariernya tidak pernah memegang timnas sebuah negara. Daftar klub-klub yang ditanganinya pun kelas elite Eropa.
Baca Juga
Sempat Diragukan, Lalu Bisa Kandaskan Arab Saudi: Yuk Bedah Taktik Timnas Indonesia, Kuncinya Perubahan Lini Depan
Justin Hubner Jadi Biang Kerok Timnas Indonesia Vs Arab Saudi: The Real Preman, Langganan Kartu!
3 Striker Keturunan yang Diincar Timnas Indonesia untuk R3 Kualifikasi Piala Dunia 2026: Ole Romeny Sudah, Selanjutnya Bang Depok?
Pertanyaannya maukah arsitek asal Portugal itu melatih Indonesia yang pada awal bulan Mei 2016 berada di posisi 185 dunia?
Pada perjalanannya, Timnas Indonesia pernah disinggahi pelatih-pelatih yang punya reputasi kelas dunia. Sayangnya kehadiran mereka tak otomatis mengatrol prestasi Tim Merah-Putih di persaingan ASEAN, Asia, atau dunia. Akankah Jose Mourinho mengikuti jejak mereka?
Berikut daftar pelatih-pelatih dengan reputasi internasional mentereng yang sempat singgah di Indonesia:
Wiel Coerver
Wiel Coerver merupakan pelatih klub top Belanda, Feyenoord. Dia nyaris membawa timnas lolos ke Olimpiade Montreal  1976, sebuah tendangan penalti dari Anjas Asmara yang melayang mengubur mimpi timnas ke olimpiade.
Skuat Merah putih berhasil melaju ke final kualifikasi. Sayangnya, pasukan Garuda harus tersingkir setelah ditundukan Korea Utara melalui drama adu penalti, 4-5.
Coerver yang lahir pada 3 Desember 1924 memenangi Kejuaraan Belanda 1956 ketika memperkuat Rapid JC (sekarang) Roda JC. Pada periode 1975 sampai 1976, Coerver menukangi skuat Merah Putih.
Dia didatangkan khusus untuk membantu Timnas Indonesia lolos kualifikasi Olimpiade 1976. Kala itu, Indonesia baru kembali ke pentas internasional setelah dijatuhi sanksi larangan tampil selama 16 tahun akibat memboikot pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1958 melawan Israel.
Walau berada di Indonesia dalam waktu yang singkat, nama Coerver melegenda. Ia dinilai sukses membangun pondasi gaya bermain sepak bola Indonesia.
Di pentas internasional, prestasi Wiel Coerver amat mentereng. Ia mengantar Feyenoord mengalahkan Tottenham Hotspur untuk memenangi Piala UEFA 1974 silam.
Gerrad Meijer yang bertugas sebagai fisioterapis di Feyenoord selama 50 tahun, mengatakan, Coerver merupakan sosok dengan semangat yang tinggi. Ketika baru tiba di Feyenoord, dasar-dasar sepak bola menjadi materi utama Coerver. Teknik yang diajarkan Coerver membuat para pemain benar-benar berkembang.
Selain Indonesia dan Feyenoord, Coerver juga pernah melatih Sparta Rotterdam, Roda JC Kerkrade dan Go Ahead Eagles. Namun, bukan kiprahnya sebagai pelatih yang membuat Coerver terkenal di persepak bolaan internasional.
Dia terkenal dengan metode kepelatihannya yang disebut Coerver Method. Metode ini dinilai sebagai sistem kepelatihan paling sukses di era sepak bola modern. Metode ini menggabungkan kemampuan pesepak bola menggiring bola, mengoper, kecepatan, pergerakan satu-lawan-satu, dan penyelesaian.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Ivan Toplak
Ivan Toplak, datang ke Indonesia dengan rapor bagus mengantar timnas Yugoslavia meraih perunggu di Olimpiade Los Angeles 1984.
Kehadirannya diharapkan bisa meneruskan kisah sukses pelatih-pelatih asal Eropa Timur macam Tony Poganick serta Anatoli Polosin.
Apesnya, mentor berkewarganegaraan Serbia tersebut gagal total saat dipercaya menakhodai Timnas Indonesia di SEA Games 1993. Padahal, dua tahun sebelumnya Polosin sukses mempersembahkan medali emas.
Pelatih ini merupakan salah satu pesepak bola top Yugoslavia pada tahun 1950-an. Semasa masih menjadi pemain, Toplak bermain di posisi striker. Jebolan tim muda Branik Maribor ini mengawali karier seniornya di klub Olimpija Ljubljana.
Empat musim kemudian, ia hijrah ke klub Red Star Belgrade dan bertahan di sana hingga tujuh tahun lamanya. Gantung sepatu pada tahun 1961, Toplak terjun ke dunia kepelatihan pada tahun 1964 dan Red Star Belgrade jadi klub pertama yang ia asuh.
Dua tahun berselang, Toplak hijrah ke Amerika Serikat dan membina karier di sana hingga tahun 1975 bersama California Clippers, klub sepak bola Universitas Stanford, dan San Jose Earthquakes. Pulang ke kampung halaman pada tahun 1976, Toplak didapuk melatih timnas Yugoslavia.Â
Dengan kontrak sebesar Rp 300 juta untuk periode dua tahun, Toplak dibebani target berat membawa Tim Garuda juara SEA Games 1993 serta lolos ke putaran final Piala Dunia 1994 dan Olimpiade Atalanta 1994.
Sayangnya tak satupun target itu sukses diwujudkan. Toplak punya catatan penting buat Timnas Indonesia. Rapuhnya organisasi dan kerja sama, serta individualisme yang cenderung menonjol, membuat Indonesia kerap harus pulang dengan tangan hampa di
berbagai ajang internasional.
Toplak merasa bahwa mentalitas para pemain perlu dibangun sejak usia dini. Ia memberi saran ke PSSI untuk membentuk Timnas Indonesia level junior berjenjang mulai U-19 hingga U-21. Saran itu disampaikan karena ia merasa kesulitan mendapatkan talenta muda saat membesut Tim Merah-Putih.
Advertisement
Romano Matte
Pelatih asal Italia, Romano Matte didatangkan PSSI untuk memegang Timnas SEA Games 1995, menggantikan Ivan Toplak.Â
Sang mentor diyakini bisa langsung membaur dengan pemain-pemain Tim Merah-Putih kala itu yang didominasi oleh jebolan Timnas Primavera yang menempa diri di klub Serie A, Sampdoria. Romatto Matte merupakan pelatih tim Primavera Sampdoria. Ia kepanjangan tangan pelatih asal Swedia, Sven-Goran Eriksson, yang menangani tim utama Sampdoria.
Benar saja, berbeda dengan Ivan Toplak yang gemar memakai tenaga tua, Romano Matte lebih percaya kepada anak muda. Skuat SEA Games dihuni bintang-bintang belia yang pernah berguru di Negeri Pizza macam Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Kurnia Sandy, yang notabene dikenal betul gaya permainannya oleh Matte.
Dua tahun kemudian PSSI memilih Henk Wullems yang sukses mengantarkan Bandung Raya juara Liga Indonesia 1995-1996. Di tangan pelatih asal Belanda tersebut Indonesia menembus final SEA Games 1997. Di sisi lain, sepulang dari Indonesia Romano Matte meneruskan karier di kampung halamannya. Pada tahun 2000-2001 ia sempat menangani timnas Mali, namun tak juga sukses.
Peter Withe
Peter Withe datang ke Indonesia sebagai pelatih setelah mempersembahkan dua gelar untuk Timnas Thailand di turnamen Piala AFF 2000 dan 2002.
Kehadiran pria yang kini berusia 64 tahun tersebut, membawa perubahan besar bagi sepak bola Indonesia. Ia juga merupakan orang yang menemukan talenta hebat dari Boaz Solossa yang bersinar di Piala AFF 2004.
Walau Indonesia hanya jadi runner-up di Piala AFF, publik sepak bola nasional puas pada performa Tim Garuda yang tampil trengginas sepanjang turnamen sebelum dikalahkan oleh Singapura di laga puncak.
Sebelum banting setir jadi pelatih, Peter Withe adalah pesepak bola tenar di Inggris. Bermain sebagai seorang striker, ia dikenal amat haus gol. Sepanjang kariernya ia mencetak 178 gol (satu di antaranya buat timnas Inggris).
Ia membawa timnya Aston Villa meraih gelar Piala Champions di tahun 1982 setelah mengalahkan Bayern Munchen. Kemenangan Aston Villa atas Bayern Munchen di final itu tak lepas dari peran Withe. Ia menjadi orang yang mencetak gol semata wayang kemenangan timnya di laga tersebut.
Selain di Aston Villa, Peter pernah bermain di klub-klub populer di Inggris macam, Birmingham City, Nottingham Forest, dan Newcastle United.
Sayang, di Indonesia mantan penyerang yang dikenal jago dalam duel-duel udara kariernya berakhir tragis. Ia didepak sebagai pelatih Timnas Indonesia, karena gagal membawa Tim Merah-Putih melaju ke semifinal Piala AFF 2007.
Advertisement
Foppe de Haan
Foppe de Haan adalah pelatih kondang Belanda yang mengantarkan Jong Oranje mengukir sejarah dengan merebut gelar Piala Eropa U-21 2006 dan 2007. Ia diminta jadi Direktur Teknik (pada prakteknya sebagai pelatih) Timnas Indonesia U-23 di ajang Asian Games Qatar 2006.
Pelatih legendaris yang menemukan bakat Marco van Basten hanya diberi waktu selama tiga bulan untuk menempa Tim Garuda Muda. Saat itu Timnas U-23 yang dipimpin Bambang Nurdianyah menggelar pelatnas jangka panjang di Negeri Kincir Angin.Â
Namun saat turnamen Timnas Indonesia U-23 yang kala itu dibela pemain-pemain macam Ahmad Bustomi, Tony Sucipto, Bobby Satria dan Ferry Rotinsulu jadi bulan-bulanan.
Tim asuhan Foppe de Haan digasak Irak 0-6 di Al-Ahly Stadium, Doha. Setelah itu mereka kalah 1-4 dari Suriah dan hanya bisa meraih hasil imbang 1-1 kontra Singapura.
Pencapaian ini jadi noda hitam karier pelatih kelahiran 26 Juni 1943 pemegang rekor terlama mengarsiteki sebuah klub di Liga Utama Belanda. Foppe melatih SC Herenveen selama 19 tahun (1985-2004).
Wim Rijsbergen
Wim Rijsbergen memulai karier sepak bola lewat klub Leiden Roodenburg. Puncak karier Rijsbergen sebagai pesepak bola terjadi di Feyenoord Rotterdam pada musim 1973-1974.
Saat itu, ia sukses meraih dua gelar yaitu Liga Belanda serta Piala UEFA. Kariernya di timnas Belanda, bisa dikatakan cukup gemilang. Ia berhasil membawa Oranje ke final Piala Dunia 1974 dan 1978, meskipun harus puas di posisi runner-up. Rijsbergen juga membawa Belanda menjadi peringkat tiga Piala Eropa 1976.
Di zamannya Wim Rijsbergen salah satu bek tengah terbaik dunia. Ia dikenal sulit dilewati penyerang-penyerang top dunia. Memulai karier kepelatihan pada 1988 sebagai pelatih junior Ajax Amsterdam, pada 2005 ia menjadi asisten pelatih Timnas Trinidad dan Tobago.
Wim mendampingi pelatih top Belanda, Leo Beenhakker, dan berhasil meloloskan negara tersebut ke putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman.
Saat Leo berhenti dari Trinidad dan Tobago, Wim naik jabatan sebagai pelatih kepala. Belum sempat memberi prestasi apa-apa ia dipecat karena terlibat keributan fisik dengan salah satu pengurus Federasi Sepak Bola Trinidad dan Tobago.
Pada awal tahun 2011, ia menerima pinangan melatih klub Indonesia, PSM Makassar, yang kala itu berlaga di Liga Primer Indonesia. Hanya menangani Tim Juku Eja setengah musim karena kompetisi bubar jalan, Wim dapat tawaran menarik dari PSSI pada awal 2012.
Ia diminta menggantikan Alfred Rield menjadi pelatih Timnas Indonesia. Sayang saat memimpin Tim Merah-Putih di Kualifikasi Piala Dunia 2014 banyak pemain menolak dengan gaya kerasnya.
Imbasnya penampilan Indonesia di sepanjang penyisihan amat mengecewakan. Menjelang laga penutup kualifikasi melawanBahrain ia dipecat.
Wim Rijsbergen digantikan Aji Santoso. Hasil buruk didapat Tim Garuda dengan kalah 0-10 dari Bahrain, yang menjadi rekor terburuk sepanjang sejarah Tim Merah-Putih di event internasional.
Advertisement