Bola.com, Jakarta - Medali emas SEA Games 1991 jadi prestasi terbaik terakhir yang digapai Timnas Indonesia di pentas internasional. Pada 2013 dahaga penggemar sepak bola Indonesia atas hadirnya kembali prestasi sedikit terobati dengan trofi juara Piala AFF. Namun, trofi itu dipersembahkan timnas kelompok umur, tepatnya oleh Timnas U-19, bukan timnas senior.
Hingga sekarang, Timnas Indonesia senior belum lagi merengkuh gelar juara bergengsi. Padahal, sejatinya bukanlah tim lemah apalagi pecundang. Tim Garuda pernah berjaya dan disegani, tidak hanya di regional Asia Tenggara melainkan hingga Asia. Julukan Macan Asia jadi buktinya.
Advertisement
Baca Juga
Berbagai pertandingan yang menorehkan tinta emas bagi kiprah Tim Merah-Putih di ajang internasional, tercatat sebagai sejarah. Mulai era 1950-an hingga 1990-an di saat Timnas Indonesia mengalami momen kejayaan.
Tidak seluruh pertandingan yang berakhir dengan kemenangan yang layak dilabeli partai epik, sensasional, dan layak dicatat dengan tinta emas. Ada juga duel yang berakhir dengan imbang atau bahkan kekalahan, namun tetap layak dimasukkan daftar pertarungan bersejarah karena perjuangan maupun serunya laga itu.
Untuk menilai pertandingan mana saja yang terbilang epik dan bersejarah memang tidak mudah, karena begitu banyaknya pertandingan yang sudah dijalani Timnas Merah-Putih, dan juga subjektif karena tiap orang memiliki penilaian tersendiri.
Namun, Bola.com memilihkan untuk Anda pertandingan epik yang pernah dijalani Timnas Indonesia yang layak dikenang dan jadi sejarah. Anda boleh setuju, boleh tidak.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1
1. Olimpiade Musim Panas 1956 Melbourne (versus Uni Sovyet)
Bila ada pertandingan yang diceritakan kehebatannya dari generasi ke generasi, pertandingan pada 29 November 1956 ini salah satunya. Mempertemukan Indonesia dengan salah satu tim terkuat pada masanya, Uni Sovyet. Pertandingan ini dilangsungkan di Melbourne, Australia, dalam babak perempat final Olimpiade musim panas ke-16.
Saat itu Indonesia dilatih pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik, dan diperkuat pemain seperti Maulwi Saelan, Endang Witarsa, Thio Him Tjiang, Ramlan, dan Rusli Ramang. Sedangkan kubu lawan dihuni pemain kaliber dunia yang ternama semisal Lev Yashin, Igor Netto, Eduard Streltsov, dan Valentin Ivanov.
Sebagai salah satu tim kuat di era 1950-an, Uni Sovyet diprediksi bakal menang mudah atas Indonesia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Strategi pertahanan berlapis yang diterapkan Tony Pogacknik berhasil dijalankan dengan apik sehingga lawan kesulitan menembus kokohnya lini belakang Indonesia untuk menceploskan gol.
Padahal, Indonesia kalah dari segi postur. Namun, keberanian meladeni lawan yang berpostur lebih besar jadi catatan yang dikenang hingga sekarang.
Alhasil, laga ini berakhir dengan skor 0-0. Kehebatan Indonesia menahan tanpa gol Uni Sovyet pun jadi perhatian. Terlebih, Uni Sovyet akhirnya meraih medali emas setelah di laga final menang 1-0 atas Yugoslavia.
Begitu pula dengan kekalahan 0-4 Maulwi Saelan dkk. dari Uni Sovyet di pertandingan kedua atau ulangan yang digelar di kandang lawan pada 1 Desember 1956, tetap tidak mengurangi kehebatan yang dicatatkan di Melbourne saat menahan 0-0 Uni Sovyet.
Bahkan, pada peringatan 25 tahun meninggalnya Ramang, FIFA secara khusus mengulas sekaligus mengingatkan kembali penampilan pemain asal Sulsel itu dalam duel kontra Uni Sovyet. Pada pertandingan itu, penampilan cemerlang yang diperagakan Ramang memang jadi sorotan.
Dalam salah satu bagian artikel itu, FIFA menuliskan bila keberhasilan Uni Sovyet merebut medali emas Olimpiade 1956 berkat pelajaran yang dipetik dari duel kontra Indonesia yang berakhir dengan skor 0-0. FIFA juga tidak segan menganggap duel itu sebagai salah satu pertandingan dengan hasil memukau dalam sejarah Olimpiade.
Indonesia lolos ke Olimpiade 1956 Melbourne setelah lawan di kualifikasi, Taiwan, didiskualifikasi. Kemudian lawan Timnas Indonesia di fase selanjutnya, Vietnam Selatan, WO sehingga Indonesia langsung tampil di perempat final menghadapi Uni Sovyet.
Advertisement
2
2. Pra (kualifikasi) Piala Dunia 1986 (versus Korea Selatan)
Pertandingan epik lain yang dijalani Timnas Indonesia dan kehebatannya terus dikenang sampai sekarang terjadi pada 1985. Tepatnya saat meladeni Korea Selatan pada babak kedua Zona B Pra (kualifikasi) Piala Dunia 1986.
Pertandingan ini meninggalkan jejak dalam di sepak bola Indonesia karena seandainya memenangi duel ini, Indonesia lolos untuk pertama kalinya ke pesta sepak bola terbesar di jagat ini, Piala Dunia 1986, yang dilangsungkan di Meksiko.
Indonesia memang pernah tampil di Piala Dunia, tetapi ketika itu masih tampil dengan nama Hindia Belanda, tepatnya pada Piala Dunia 1938.
Di Pra Piala Dunia 1986, Indonesia diwakili para pemain yang tampil di Galatama. Sebagai catatan, pada masa itu kompetisi Indonesia masih terbagi dua, yakni Galatama dan Perserikatan.
Di sisi lain, PSSI membentuk tiga timnas yang disiapkan untuk menjalani ajang berbeda. Timnas Indonesia dari Galatama plus empat pemain non-Galatama dibawa menjalani kualifikasi Piala Dunia, Timnas Indonesia dari Perserikatan turun di SEA Games 1985 Thailand.
Melawan Korsel, Indonesia menurunkan pemain semisal Bambang Nurdiansyah, Herry Kiswanto, Elly Idris, Rully Nere, Warta Kusuma, dan Hermansyah.
Indonesia menantang raksasa Asia, Korsel, di babak kedua zona B dengan status juara Grup 3B pada putaran pertama. Sementara Korsel jadi juara Grup 3A.
Namun, Indonesia akhirnya terpaksa mengubur mimpi ke Piala Dunia karena dalam pertandingan dengan format kandang-tandang, Timnas Indonesia yang kala itu dilatih Sinyo Aliandoe, kalah dengan agregat 1-6.
Pada leg pertama yang dimainkan di Seoul, 21 Juli 1985, Indonesia kalah 0-2. Lantas pada leg kedua yang digelar di Senayan, Indonesia menyerah 1-4.
Kendati gagal, pertandingan ini tetap masuk dalam sejarah sepak bola Indonesia karena momennya, yang tinggal sejengkal lagi tampil di Piala Dunia. Hingga sekarang, "sukses" itu belum bisa terulang.
3
3. SEA Games 1987 Indonesia (versus Malaysia)
SEA Games menjadi salah satu ajang olahraga paling bergengsi di Asia Tenggara. Tidak heran bila medali emas di cabang olahraga sepak bola menjadi salah satu yang paling diburu, tidak terkecuali buat Indonesia.
Namun, sejak pesta olahraga multievent ini diselenggarakan dengan nama Peninsular Games pada 1959 hingga berubah menjadi SEA Games pada 1977, Indonesia baru meraih medali emas sepak bola pada 1987.
Sebelumnya pada SEA Games 1979, Indonesia yang kala itu bertindak sebagai tuan rumah, kalah dari Malaysia dengan skor 0-1. Gol tunggal Malaysia dicetak Mohktar Dahari. Kekalahan itu sangat menyakitkan karena Indonesia dianggap sedang memiliki generasi emas, salah satunya Iswadi Idris.
Indonesia pada akhirnya mampu merebut medali emas pertama di SEA Games 1987. Kembali bertindak sebagai tuan rumah di Jakarta, Indonesia kembali bertemu Malaysia di pertandingan final.
Hasilnya Indonesia mampu membayar lunas kekalahan pada 1979, dengan skor identik 1-0. Bedanya kemenangan Indonesia ini diraih pada babak perpanjangan waktu karena gol tercipta pada menit ke-91. Adalah striker Ribut Waidi yang mampu menggetarkan Stadion Senayan dengan gol tunggal itu.
Ketika itu Timnas Indonesia diperkuat antara lain Ponirin Meka, Yonas Sawor, Robby Darwis, Herry Kiswanto, Frans Sintra Huwae, Ricky Yacobi, Ribut Waidi, hingga Noah Meriem. Sedangkan kursi pelatih diduduki Bertje Matulapelwa.
Lantaran menghasilkan prestasi yang membanggakan dan masuk catatan penting sepak bola Indonesia, partai final SEA Games 1987 ini layak dikenang oleh siapapun yang mencintai Tim Garuda.
Advertisement
4
4. SEA Games 1991 Manila (sejak penyisihan grup hingga final)
Pertandingan final SEA Games 1991 Manila juga pantas masuk dalam daftar momen paling dikenang Timnas Indonesia. Selain tentu keberhasilan meraih medali emas, cerita mengenai persiapan timnas untuk ajang itu layak untuk dikenang.
Aktor utama timnas di SEA Games 1991 bukan saja para pemain. Sosok sentral yang tidak bisa dilupakan adalah pelatih kepala timnas ketika itu, Anatoly Polosin.
Dengan metode latihan fisik yang superkeras, para pemain ditempa dengan menu berat.Pemandangan para pemain muntah-muntah usai menjalani latihan keras dari Polosin sudah menjadi pemandangan biasa. Tetapi, hasilnya memang bisa dilihat secara kasat mata.
Bertanding mulai penyisihan grup, Indonesia menyapu bersih tiga kemenangan. Tiga poin dipetik atas Malaysia dengan skor 2-0, Vietnam (1-0), dan Filipina (2-1). Di semifinal, daya tahan fisik dan konsentrasi pemain hasil tempaan superkeras mulai terlihat.
Dalam pertandingan semifinal Indonesia mampu menang dalam adu penalti melawan Singapura. Sebelumnya di waktu normal, Indonesia dan Singapura berbagi skor 0-0. Puncaknya, di final Indonesia kembali bermain hingga adu penalti melawan Thailand.
Dengan kekuatan fisik yang memadai, konsentrasi pemain masih terjaga. Hasilnya, Indonesia mampu menang adu penalti atas Thailand dengan skor 4-3 di Stadion Rizal Memorial, Manila, 4 Desember 1991.
Starter timnas Indonesia yang bermain di final melawan Thailand kala itu kiper ditempati Eddy Harto, kemudian lima pemain belakang diisi Salahuddin, Heriansyah, Robby Darwis, Ferryl Raymond Hattu, dan Herrie Setiawan.
Sedangkan tiga gelandang yang dipasang Polosin adalah Toyo Haryono, Maman Suryaman, Yusuf Ekodono. Sementara duet striker dipercayakan kepada Widodo Cahyono Putro dan Peri Sandria.
5
5. Piala Asia 1996 (versus Kuwait)
Sejak PSSI didirikan pada 1930, pencapaian gemilang pertama adalah lolos ke putaran final Piala Asia 1996. Disebut gemilang karena saat itu Indonesia lolos ke Piala Asia berkat keringat dan usaha sendiri.
Sebelumnya, Timnas Indonesia U-20 memang pernah bertanding di Piala Dunia U-20 di Jepang. Tetapi, ketika itu status Indonesia hanya menggantikan negara lain yang tidak bersedia tampil di Piala Dunia U-20 karena faktor politik.
Indonesia lolos ke Piala Asia 1996 setelah di kualifikasi mampu menyingkirkan Malaysia dan India. Bertanding di Grup 4 kualifikasi, Indonesia bermain 0-0 melawan Malaysia dan menang 7-1 atas India.
Poin Indonesia dan Malaysia sebenarnya sama-sama empat. Pasalnya, Malaysia juga mampu memetik kemenangan atas India. Tetapi, ketika itu Malaysia hanya menang 5-2 atas India sehingga Indonesia unggul selisih gol.
Di putaran final Piala Asia 1996, Indonesia tergabung di Grup A. Selain tuan rumah Uni Emirat Arab (UEA), Indonesia juga satu grup dengan Kuwait dan Korea Selatan. Benar-benar grup maut!
Namun, apa yang terjadi? Di pertandingan pertama alias debut di Piala Asia, Indonesia mampu mencuri perhatian. Tim yang dilatih Danurwindo itu mengambil satu poin, setelah menahan imbang Kuwait dalam pertandingan pembukaan, 4 Desember 1996, skor 2-2.
Indonesia bahkan sempat unggul lebih dulu 2-0 melalui Widodo Cahyono Putro pada menit ke-20 dan Ronny Wabia menit ke-41.Tetapi, konsentrasi yang berkurang serta tekanan Kuwait yang bertubi-tubi, membuat gawang Kurnia Sandy koyak dua kali pada menit 72 dan 85 lewat penalti.
Di sisi lain, Gol lewat tendangan salto yang dicetak Widodo begitu melegenda, hingga sekarang. Gol itu bahkan dinobatkan sebagai gol terbaik Piala Asia 1996. Prestasi yang sejauh ini belum mampu ditandingi pemain lain.
Adapun starter yang diturunkan Danurwindo di laga pertama Piala Asia 1996 itu adalah Kurnia Sandy (kiper), Yeyen Tumena, Aples Tecuari, Sudirman, Agung Setyabudi (bek), Marzuki Badriawan, Bima Sakti, Chris Yarangga, Supriyono (gelandang), dan duet striker Widodo Cahyono Putro serta Ronny Wabia.
Advertisement