Bola.com, Jakarta - Kasus penangkapan mantan pemain asing Persib Bandung dan Arema Indonesia, Marcio Souza, di Brasil pada Rabu (6/7/2016) membuka aib sepak bola Indonesia. Benarkah sang penyerang bagian dari sindikat bandar judi sepak bola yang ikut berperan dalam sejumlah kasus pengaturan skor di Tanah Air?
Tujuh orang telah ditangkap pihak kepolisian Brasil karena terlibat kasus pengaturan skor di Serie A2, A3 (Campeonato Paulista) dan kasta liga lebih rendah. Satu dari tujuh orang yang diciduk tersebut adalah pemain yang lama berkarier di Indonesia, Marcio Souza.
Advertisement
Baca Juga
Seperti dilansir surat kabar Negeri Samba, Folha De S. Paulo, Marcio ditangkap pihak kepolisian pada Rabu (6/7/2016). Marcio dan satu orang lain yang diketahui bernama, Carlos Henrique de Luna (33 tahun), merupakan bagian dari sindikat pengaturan skor yang melibatkan pemain, pelatih, agen, hingga presiden klub.
"Marcio Souza da Silva (36), yang pernah berkiprah di sepak bola Indonesia selama 8 tahun, juga ditangkap oleh kepolisian di Rio," seperti dimuat Folha De S. Paulo.
Pernyataan resmi pemimpin tim investigasi 'Game Over', Kelly Cristina Sacchetto Cesar de Andrade mengungkapkan tujuh orang yang sudah ditangkap itu diduga telah bekerja sama dengan sindikat bandar judi di kawasan Asia. Khususnya, Malaysia, Tiongkok, dan Indonesia.
"Kami menginvestigasi keberadaan sindikat yang banyak melakukan kegiatan di wilayah Sao Paulo dan Rio, juga sindikat tak dikenal dari Malaysia, Tiongkok, dan Indonesia," ucap Kelly Cristina yang tidak menutup kemungkinan pengaturan skor tersebut mempengaruhi kompetisi yang lain.
Pernyataan Kelly menguatkan indikasi bahwa tak hanya kompetisi negaranya yang dirusak oleh match fixing sindikat bandar judi internasional yang melibatkan Marcio Souza, tapi juga Indonesia, tempat sang pemain bermain selama bertahun-tahun.
Marcio Souza sendiri pernah dicurigai oleh manajemen klub Perseman Manokwari melakukan perbuatan nista bermain mata dengan Persepar Palangkaraya di laga play-off Liga Primer Indonesia di Stadion Sultan Agung, Bantul, pada 21 Oktober 2013.
Saat itu Perseman takluk 2-4. Marcio tampil amat buruk dalam pertandingan penentuan nasib klub untuk bisa tampil di kompetisi Indonesia Super League 2014, yang merupakan ajang rekonsiliasi dualisme kompetisi Tanah Air. Pada periode 2011-2012, kompetisi kasta elite Indonesia terbelah dua imbas konflik panas para elite di PSSI.
Marcio sempat dikeroyok tiga rekan satu tim yaitu Caitanus Ohoilucin, Valentino Telaubun, John Pattikawa, yang merasa kecewa dengan aksi kongkalikong sang pemain. Tak terima terhadap perlakuan tersebut, ia lantas melapor ke Polres Bantul. Namun, mereka yang bertikai memilih berdamai.
Keterlibatan Marcio Souza sendiri dalam kasus match fixing ditenggarai karena gajinya sebesar Rp 800 juta tertunggak. Sayang, pengusutan kasus ini mengambang. Kepengurusan PSSI pasca rekonsiliasi memilih fokus memperbaiki persoalan internal yang terkoyak karena kasus dualisme federasi.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Pengaturan Skor Marak saat Dualisme Kompetisi
Kasus-kasus pengaturan skor sendiri konon marak mencuat kala dualisme PSSI terjadi. Hal itu dipicu kondisi keuangan klub-klub yang porak-poranda karena konflik berkepanjangan periode tahun 2011-2013.
Ada empat kompetisi profesional berjalan secara beriringan yang dikelola oleh dua operator berbeda. PSSI yang dipimpin Djohar Arifin memutar IPL serta Divisi Utama yang dikelola oleh PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) sebagai operator.
Di sisi lain, organisasi tandingan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang dipimpin, La Nyalla Mattalitti, menghelat Indonesia Super League dan Divisi Utama dengan operator PT Liga Indonesia (LI).
Karena konflik dualisme, perusahaan-perusahaan kakap emoh menyokong kompetisi serta klub. Alhasil, kompetisi berjalan alakadarnya. Banyak klub dengan keuangan pas-pasan nekat ambil bagian di ajang yang dihelat PT LPIS dan PT LI.
Saat kondisi tidak kondusif, sejumlah klub buka suara, soal masuknya bandar-bandar judi internasional asal Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Skor-skor mencolok kerap muncul. Sayangnya PSSI dan KPSI, yang tengah fokus berperang memperebutkan legitimasi sebagai penguasa sepak bola nasional, tak melakukan langkah-langkah strategis menyelidiki kasus-kasus pengaturan skor.
Saat prahara dualisme kompetisi diselesaikan dengan rekonsiliasi antarelite, kasus-kasus match fixing masih terjadi. Kabar menghebohkan mencuat dari PSMS Medan.
Sebanyak 11 pemain PSMS datang ke kantor PSSI, Senayan, Jumat (14/6/2013). Penggawa Ayam Kinantan tersebut mengaku diminta oleh CEO PSMS, Heru Purnomo, untuk mengalah saat melawan Persisko Tanjabbar dan Persih Tembilahan dalam lanjutan Divisi Utama PT LI.
"Saat melawan Persih, kami diminta mengalah. Sementara saat menjajal Persisko kami diinstruksikan untuk bisa memastikan hasil pertandingan imbang. CEO PSMS Heru Purnomo menjanjikan gaji kami selama 10 bulan akan dilunasi," ungkap pemain PSMS yang tak mau disebutkan namanya.
Setelah melakukan pengusutan Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman kepada manajemen dan pemain PSMS Medan Divisi Utama PT LI. Sanksi yang dijatuhkan berupa larangan aktif di sepak bola selama seumur hidup dan tiga bulan, serta denda uang hingga ratusan juta.
Ketua Komdis PSSI, Hinca Panjaitan, mengatakan hukuman dijatuhkan atas dugaan pengaturan skor di tubuh PSMS. Terutama pada tiga laga terakhir. Salah satunya ketika skuat PSMS tidak hadir pada laga tandang melawan PS Bengkulu, 4 Juni 2013.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan, Komdis menemukan fakta bahwa ada mafia dari Malaysia yang mencoba "mengatur" tiga pertandingan PSMS.
Oknum tersebut menggoda manajemen PSMS dengan memberikan uang sebesar Rp 70 juta. Komdis PSSI menjatuhkan hukuman kepada CEO PSMS Medan Heru Pramono, Manajer tim Sarwono, dan salah satu pengurus, Saryono.
"Mereka dilarang aktif di sepak bola seumur hidup dan juga kena dengan Rp 100 juta. Mereka berkomunikasi dan menerima uang dari oknum itu," kata Hinca saat mengumunkan hukuman kasus pengaturan skor PSMS di kantor PSSI, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2013).
Komdis juga menjatuhkan hukuman kepada 24 pemain Tim Ayam Kinantan berupa larangan aktif di sepak bola selama tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan. Hukuman itu bukan karena aksi demonstrasi para pemain di Jakarta beberapa waktu lalu.
Melainkan karena pemain menuruti permintaan manajemen PSMS Medan untuk tidak menjalani pertandingan. "Pemain sudah mengakui kesalahan dengan tidak bermain. Kalau dalam enam bulan mengulangi kesalahannya, maka hukuman larangan bermain selama tiga bulan akan diberlakukan," ujar Hinca.
Advertisement
Persibo Main Mata di Piala AFC
Kasus PSMS Medan tidak ada apa-apanya dibanding apa yang menimpa Persibo Bojonegoro. Klub juara Piala Indonesia 2012 versi PT LPIS itu tersandung kasus pengaturan skor di Piala AFC musim 2013. Mereka kalah 0-8 dari klub Hong Kong, Sunray Cave JS Sun Hei. Kekalahan telak ini dicurigai Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) diatur bandar judi internasional.
PSSI langsung bertindak tegas dengan menghukum orang-orang yang terlibat dalam kasus yang mencoreng nama Indonesia di dunia internasional tersebut. Mereka yang diganjar sanksi oleh PSSI itu meliputi pemain, ofisial klub, dan juga manajemen Persibo.
Ada sejumlah pemain yang diganjar hukuman oleh PSSI sesuai dengan tingkat kesalahan mereka. Para pemain Persibo seperti Wahyu Teguh, Tri Rahmad Triyadi, Bayu Angga Cahyadi, dan Eka Crah Angger Iswanto dilarang mengikuti event sepak bola apapun di Indonesia selama dua tahun. Sedangkan Bijahil Chalwa, dihukum satu tahun dengan lima tahun masa percobaan.
Selain itu, PSSI juga memberi hukuman kepada Didik Bagus Triyono, Sigit Meiko Susanto, Rendy Saputra, Panggah Margiantara, dan Happy Kurniawan Putra, dengan sanksi 1 tahun dan masa percobaan dua tahun.
Jajaran pelatih dan manajemen Persibo memperoleh hukuman yang jauh lebih berat dari PSSI. Gusnul Yakin (pelatih), Bambang Pramuji (asisten pelatih), Imam Nurcahyo (Media Officer), dan Nur Yahya (manajer), tidak diperbolehkan aktif di pentas sepak bola nasional seumur hidup!
“Mereka terbukti melanggar kode disiplin FIFA dan AFC pasal 138 dan PSSI pasal 150. Perbuatan mereka tidak bisa ditoleransi karena berperilaku buruk dan mencederai spirit sepak bola. Hal ini bentuk penghinaan yang sangat luar biasa,” tukas Ketua Komisi Disiplin PSSI, Hinca Panjaitan.
Banyak keganjilan terjadi saat Persibo kalah telak 8-0 dari wakil Hongkong, Sunray Cave JS Sun Hei. Pertandingan tersebut terpaksa dihentikan pada menit ke-60 karena para pemain Persibo bertumbangan karena cedera.
Saat itu Persibo datang ke Hong Kong dengan bekal satu pemain cadangan saja. Mereka berkelit hal itu dilakukan karena klub tersebut sedang krisis keuangan. Akan tetapi PSSI tidak mau percaya begitu saja.
Setelah diusut, ternyata para pemain Persibo tersebut ternyata hanya pura-pura cedera saja. Hasil temuan investigasi PSSI menyebutkan adanya perintah dari sejumlah pihak di manajemen dan tim Persibo yang menginstruksikan para pemainnya untuk berpura-pura cedera.
Para terhukum tidak terima. Mereka menilai kalau PSSI tidak independen dalam menyelidiki kasus match fixing Piala AFC. Mereka sengaja ingin mematikan Persibo Bojonegoro, yang saat dualisme memihak kubu PT LPIS.
Sepak Bola Gajah PSS Vs PSIS
Dunia sepak bola Tanah Air kembali jadi perhatian dunia internasional ketika drama sepak bola gajah terjadi di kompetisi Divisi Utama 2014.
PSS Sleman menang 3-2 atas PSIS Semarang pada laga pamungkas Grup N babak delapan besar Divisi Utama 2014, di Lapangan Akademi Angkatan Udara (AAU) Adisutjipto, Yogyakarta, pada Minggu (26/10/2014). Semua gol pada pertandingan tersebut akibat gol bunuh diri.
Gol PSS diciptakan Fadli Manan (90) dan Koemadi (90, 90+3). Sementara gol PSIS dikemas Hermawan (86) dan Agus Setiawan (88). Kedua tim tak mau menang untuk menghindari Borneo FC pada babak semifinal dengan alasan faktor nonteknis yang kental. Borneo FC sendiri finis di posisi kedua dengan raihan 10 poin, di bawah Martapura FC.
Situs-situs asing ramai memberitakan insiden memalukan disertai rekaman gol-gol bunuh diri Tim Elang Jawa dan Mahesa Jenar.
Menpora, Imam Nahrawi, pun akhirnya memerintahkan PSSI mengusut tuntas kasus ini. Begitu pula FIFA dan AFC yang meminta PSSI mengusut kasus sepak bola gajah secara serius. Indonesia jadi salah satu negara yang rawan terjadi match fixing.
Berkaitan dengan kasus PSS vs PSIS, Komisi Disiplin PSSI menggelar sidang darurat, dengan keputusan tegas pertama mendiskualifikasi PSS dan PSIS. Selanjutnya Hinca Panjaitan dkk. menvonis skorsing seumur hidup pelatih PSS Sleman, Hery Kiswanto dan PSIS Semarang, Eko Riyadi.
Mereka juga didenda sebesar Rp 200 juta. Sanksi serupa juga dijatuhkan ke para pencetak gol bunuh diri.
Penyelesaian kasus ini dianggap tidak tuntas, sejumlah pelaku yang terkena hukuman, beranggapan sosok sentral kasus pengaturan skor PSS Vs PSIS justru tidak terkena hukuman. "Saya ini justru orang menolak pengaturan skor terjadi. Ironisnya malah saya yang terkena hukuman berat," ujar Herry Kiswanto.
Herry Kiswanto membuka fakta kalau sebenarnya banyak pertandingan-pertandingan di perhelatan sepak bola nasional yang ternodai pengaturan skor. Hanya karena yang terlibat orang-orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan petinggi PSSI, mereka tak tersentuh.
Advertisement
PSSI Gandeng Interpol
Melihat fakta pahit mencuatnya sejumlah kasus pengaturan skor di pentas kompetisi domestik PSSI mendeklarasikan perang terhadap aksi-aksi match fixing. Mereka mengklaim menggandeng Interpol pasca terkuaknya kasus PSMS, Persibo, dan PSS-PSIS.
"Pengurus PSSI kompak berperang terhadap judi, match fixing, dan semua kaitannya dengan itu. Mulai dari pengurus sampai Komite menandatangani pakta integritas perang terhadap judi," kata Djohar Arifin, Ketua Umum PSSI saat itu, usai mengikuti Rapat Kerja PSSI di hotel Park Lane, Jakarta, Minggu (7/12/2014).
Pria kelahiran Langkat, Sumatera Utara itu menuturkan untuk memurnikan sepak bola Indonesia semua pihak yang terkait wajib menyatakan perang terhadap judi sepak bola.
"Kami sepakat membentuk Badan Integritas dan sudah meminta pada pak Boy Rafli (Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri) untuk memimpin tim integritas PSSI," ujar Djohar.
Sekjen PSSI, Joko Driyono,menjelaskan tujuan PSSI menggandeng Polri untuk memberantas judi bola karena saat ini PSSI hanya mampu menjangkau pelaku yang berkecimpung dalam dunia sepak bola. Hanya aparat penegak hukum saja yang bisa menciduk orang-orang di luar sepak bola yang terlibat dalam judi sepak bola.
Interpol yang memiliki jaringan internasional diyakini bisa membantu. Mereka selama ini kerap berkolaborasi dengan FIFA serta AFC.
AFC menegaskan serius dalam memerangi match fixing yang terjadi di sepak bola Asia. Indonesia sebagai salah satu Anggota AFC pun tak luput dari perhatian untuk dilindungi dari hal-hal yang bisa mencoreng integritas sepakbola.
"PSSI adalah anggota yang sangat penting bagi AFC dan FIFA. Kami sangat mendukung PSSI untuk berkembang di kawasan Asia. Termasuk dalam memerangi isu pengaturan skor. Ini menjadi tantangan bagi AFC untuk memproteksi aktivitas sepak bola dari hal-hal seperti itu. kami akan berpatner dengan mereka," kata Sanjeevan Balasinggam, Direktur Anggota Asosiasi/Hubungan Internasional dan Integritas Olahraga AFC.
Semenjak kasus sepak bola gajah PSS versus PSIS, kontroversi pengaturan skor di kompetisi profesional Indonesia mereda. Namun, di akar rumput pelaku sepak bola nasional, cerita-cerita soal adanya permainan kotor, masih menjadi obrolan desas desus. Tak terkecuali di era Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 presented by IM3 Ooredoo.
Rumor soal tim A atau B diatur sebagai juara, muncul di kala kompetisi berjalan. Sikap curiga satu sama lain terlihat dari begitu tingginya angka protes ke wasit. Para pemain dan ofisial masih menaruh kecurigaan besar ke wasit. Mereka dinilai sebagai salah satu instrumen mempermulus terjadinya pengaturan skor.
"Mungkin benar ada wasit yang nakal, tapi jangan sama ratakan semua wasit buruk. Pengaturan skor tidak melulu melibatkan wasit, tapi juga pemain dan ofisial. Jangan terus jadikan wasit sebagai kambing hitam," ucap Purwanto, mantan wasit elite nasional yang sering diminta bantuannya mengatur pendistribusian penugasan wasit di sejumlah turnamen.
Menurut Purwanto, yang pernah menjadi anggota Komite Wasit PSSI, pengaturan skor bisa hilang kalau semua pelaku sepak bola nasional tobat massal.
"Mereka harus berkomitmen menjalankan sepak bola yang bersih. Hilangkan rasa saling curiga. Jangan juga terlibat politik rumor, karena kasihan juga orang-orang yang dituduh bermain mata, tapi kenyataannya tidak," ungkap Purwanto, yang dijuluki Mr. Clean saat aktif sebagai wasit.
Ditangkapnya mantan pemain asing yang pernah berkecimpung di Indonesia, Marcio Souza, di Brasil atas keterlibatannya dalam jaringan bandar judi sepak bola internasional, tak bisa disepelekan. Apalagi kalau ternyata benar ucapan kepolisian Negeri Samba, bahwa pengaturan yang dilakukan tidak hanya terjadi di Brasil tapi juga di negara lain, termasuk Indonesia.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kepengurusan PSSI, La Nyalla Mattalitti, atau penggantinya nanti.