Sukses


Pelatih Asal Belanda Sebut Pembinaan Indonesia di Level Rendah

Bola.com, Jakarta - Mantan Direktur Teknik timnas usia dini Qatar, Guus Griet beberapa kali menyambangi Indonesia untuk menjadi instruktur pelatih. Tahun 2014, pelatih yang berdarah Jawa-Belanda ini membantu pengembangan usia muda Villa 2000.

Guus Griet juga mengunjungi Bali United pada tahun 2015. Tahun ini, mantan pelatih interim Magreb 90, klub amatir di Uchtret, Belanda memberikan coaching clinic kepada 19 pelatih peserta Liga Bola Indonesia. Ia berbagi banyak hal, dari mulai urusan teknis hingga nonteknis.

Seperti apa pendapatnya tentang sepak bola Indonesia? Berikut petikan wawancara Bola.com dengan Guus Griet di Sabnani Park, Alam Sutera, Minggu (17/7/2016).

Setelah berdiskusi dan melakukan banyak pekerjaan di Indonesia, apa yang Anda simpulkan tentang pembinaan sepak bola Indonesia?

Jujur harus saya katakan pembinaan sepak bola dalam level rendah. Tidak banyak pelatih berkualitas yang dimiliki negara ini padahal ada banyak pelatih SSB atau mantan pemain sepak bola level tim nasional yang ingin jadi pelatih. 

Fasilitas untuk para pemain belia juga minim. Di Indonesia baru ada beberapa klub yang punya akademi dan fasilitas sendiri, salah satunya Bali United yang cukup serius dengan pembinaan.

Saya katakan kondisi bukan salah mereka, tapi tanggung jawab federasi. Selama ini kemana saja mereka? Memang saya dengar dari banyak pihak yang kompeten bahwa sepak bola Indonesia lebih banyak masalah nonteknis seperti korupsi. Ini tugas berat bagi pemimpin federasi (PSSI) masa yang akan datang.

Lalu untuk memulai pola pembinaan yang ideal apa yang harus dilakukan oleh federasi?

Setelah tidak ada masalah nonteknis PSSI harus bergerak cepat dan teliti, mengumpulkan pelatih potensial bila perlu mendatangkan pelatih top khusus untuk pembinaan. Kursus-kursus harus tetap berjalan bila perlu dalam setahun ada banya workshop untuk pelatih usia muda. 

PSSI tidak boleh mengesampingkan pembinaan karena lewat pembinaan sepak bola sebuah negara memiliki fondasi. Tapi terlebih dahulu organisasi PSSI harus dibenahi dari segala sektor.

Dari sekian banyak problem yang dikemukakan pelatih usia muda, masalah intervensi orang tua jadi problem sepele tapi berpengaruh. Apa pendapat Anda?

Tidak hanya di Indonesia. Di Belanda juga ada beberapa orang tua yang memaksakan diri ikut campur. Ini menarik karena ternyata tetap ada orang tua pemain yang bersikap seperti itu di negara manapun. Nah, untuk mengatasinya butuh ketegasan pelatih. Pelatih adalah bos yang tak boleh diintervensi.

Buatlah kesepakatan dan aturan main dalam relasi pelatih dengan orang tua pemain. Kalau ada pelanggaran dari orang tua, maka peltih harus tegas dan menentukan sikap: "Ikuti aturan atau pergi dari sini". 

Faktor postur pemain juga sering jadi kendala Indonesia. Ada pendapat?

Tidak perlu menjadi seperti orang Eropa yang punya fisik besar. Saya pikir sepak bola Indonesia cukup berpegang pada empat indikator pembinaan, teknik, kecepatan, personality, dan intelegensi.

Di Eropa, khususnya KNVB postur bukan indikator utama karena pemain yang masuk seleksi akademi harus memenuhi empat kriteria itu pada usia 9 sampai 11 tahun.

Baru setelah masuk akademi dua tahun, fisik pemain mulai dibentuk dengan program yang dirancang oleh tim pelatih.

Selama membantu sepak bola Indonesia. Apa yang paling membuat Anda terkesan?

Saya pernah bertemu pemain seperti Maradona di Bali United junior tahun lalu. Namanya Putra, dia berasal dari Akademi Arema. Dia punya kemampuan teknik luar biasa, pergerakan dengan bola untuk pemain berusia 10 tahun sangat bagus. 

Ada kans bagi pemain itu untuk belajar di Ajax, tapi kendalanya banyak, termasuk biaya tinggal dan orang tua asuh di Belanda. Dari situ saya menyimpulkan, bakat sepak bola (alami) di Indonesia itu sangat banyak. Sudah ada modal bagus untuk itu karena SDM memenuhi secara kuantitas.

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer