Bola.com, Malang - Pada Kamis 11 Agustus 2016, Arema genap berusia 29 tahun. Jika diibaratkan sebagai manusia, itu adalah masa di mana orang berjuang meraih kemapanan.
Singo Edan sudah dikenal sebagai tim bertabur bintang hingga detik ini. Berbagai trofi juara sudah dikoleksi selama 29 tahun berkiprah di kancah sepak bola Tanah Air. Mulai juara kompetisi Galatama 1992-1993, juara Divisi I 2004, lalu kampiun Indonesia Super League 2009-2010. Dua gelar Piala Indonesia diraih Arema pada 2005 dan 2006.
Advertisement
Baca Juga
Arema mendapat titel baru yakni sebagai raja turnamen dalam tahun 2013-2016. Trofi yang dikumpulkan Arema adalah Piala Menpora 2013, Piala Gubernur Jatim 2013, Trofeo Persija Jakarta 2013, Inter Island Cup 2014, Trofeo Persija 2015, Piala SCM 2015, Bali Island Cup 2015, Sunrise of Java Cup 2015, Bali Island Cup 2016, dan yang terbaru juara Piala Bhayangkara 2016.
Segudang prestasi, nama besar, dan dukungan melimpah dari kelompok suporter Aremania membuat nama Arema menjelma sebagai sebuah merek ternama di jagat sepak bola nasional. Seperti orang berdagang, Arema membangun unit bisnisnya dari titik nol, membuat produk, promosi, lalu perlahan mulai mendapat konsumen hingga menjadi sebuah kebutuhan pokok.
Arema (nama resmi Persatuan Sepak Bola Arema) lahir pada tanggal 11 Agustus 1987, dengan semangat mengangkat harkat persepak bolaan di Kota Malang. Almarhum Acub Zaenal yang kali pertama punya andil menelurkan pemikiran membentuk klub Galatama di Kota Apel.
Kala itu, sebenarnya di Malang ada Persema, tim amatir yang berlaga di pentas kompetisi Perserikatan. Namun, sang jenderal merasa kurang sedap rasanya jika Malang tidak memiliki klub semipro yang berkiprah di kompetisi Galatama.
Ovan Tobing, humas Persema ikut membantu mewujudkan keinginan Acub Zaenal. Ia orang yang mengajak sang mantan Gubernur Papua menyaksikan pertandingan antara Persema kontra Perseden Denpasar di Stadion Gajayana.
“Merangkum perjalanan Arema, berawal dari komunitas dan nama Arema justru lebih dahulu dikenal di luar Malang. Keinginan kami adalah mengangkat harkat orang malang dengan Arema,” ujar Ovan yang ditemui Bola.com secara khusus untuk mengenang momen penting dengan Acub yang mencuatkan ide melahirkan Tim Singo Edan.
Beberapa hari setelah pertandingan tersebut Lucky Acub Zaenal, putra Acub mendatangi Ovan di rumahnya, Jl. Gajahmada 15. Ia diantar Dice Dirgantara yang sebelumnya sudah kenal dengan dirinya. Inti pertemuan tersebut adalah membahas kelanjutan ide pembentukan klub Galatama di Malang yang diapungkan ayahnya.
Setelah berdiskusi panjang lebar, Ovan mengungkapkan persetujuan mendirikan klub baru di Malang Raya. Hanya ia buka-bukaan kalau tidak punya modal finansial.
Maka dipertemukanlah Lucky dengan Dirk “Derek” Sutrisno (Alm), pendiri klub Armada 86. Keduanya bersepakat menjalankan klub bernama Armada, gabungan nama Armada dengan Arema (Arek Malang). Beberapa bulan kemudian diganti menjadi Arema 86.
Jadilah Arema 86 berlaga di Galatama. Hanya karena keuangan Derek terbatas langkah klub terseok-seok karena dihimpit kesulitan dana. Acub Zaenal dan Lucky lantas mengambil alih dan mengelola klub. Nama Arema 86 akhirnya diubah menjadi Arema dan ditetapkan pula berdirinya Arema Galatama pada 11 Agustus 1987 sesuai dengan akte notaris Pramu Haryono SH–almarhum–No 58.
“Awal berdiri, Arema tidak penonton, kami malah membagikan tiket gratis kepada warga Malang. Setelah mulai ramai, kami coba menarik para wanita dan keluarga untuk jadi penonton Arema,” ujar Ovan ke Bola.com.
Pendirian klub pada bulan Agustus itulah kemudian diikuti mencuatnya simbol Singo (Singa) sebagai lambang kebesaran klub. Agustus sesuai horoskop identik dengan simbol Leo (Singa). Pada 2010, simbol singa dipermanenkan lewat tiga patung yang terletak di jantung Malang, sebagai simbol tiga pemimpin Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu ) dan Arema.
Lewat perjalanan yang berliku pada tahun 1992 Arema menasbihkan diri menjadi tim terbaik di kompetisi Galatama. Saat itu Tim Singo Edan dinakhodai M. Basri dengan mengandalkan pemain-pemain macam Aji Sasongko, Singgih Pitono, Mecky Tata, dan Jamwari.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Episode Sulit dan Kejayaan Singo Edan
Tak mudah mempertahankan eksistensi Arema. Sebagai klub Galatama mereka tidak mendapat bantuan injeksi dana APBD seperti klub-klub Perserikatan. Ketika kemudian kompetisi Gatama bubar jalan karena banyak klub bertumbangan karena kondisi krisis finansial, Arema sedikit klub dari kompetisi tersebut yang bisa bertahan di era kompetisi penggabungan Perserikatan-Galatama berlabel Liga Indonesia (LI) pada tahun 1995.
Di era Liga Indonesia, praktis hanya Pelita Jaya yang terlihat bisa eksis di jajaran elite karena karena keuangan mereka ditopang pengusaha kakap, Nirwan Dermawan Bakrie. Sementara itu, Arema berjalan dengan kondisi serba minimalis. Walau mereka jadi satu-satunya klub Galatama yang punya modal pendukung berlimpah layaknya tim-tim perserikatan.
Kepemilikan Arema sempat berpindah tangan ke PT Bentoel Internasional Tbk. pada 2003. Ironisnya klub pada musim tersebut prestasinya terpuruk. Kera-kera Ngalam harus rela turun kasta ke kompetisi Divisi I setelah terdampar di posisi 17 klasemen akhir. Padahal, saat itu Arema dilatih oleh Henk Wullems, pelatih asal Belanda yang pernah sukses mengantarkan Bandung Raya jadi kampiun LI 1995-1996. Henk masuk menggantikan Gusnul Yakin.
"Masa-masa berat buat kami. Di awal mengambil alih Arema klub degradasi. Tapi hal itu tidak membuat kami mundur jadi pengelola. Sebagai perusahaan yang berbasis di Malang, Bentoel punya komitmen besar menjaga kelanggengan Arema, klub bersejarah yang jadi kebanggaan masyarakat Malang," ujar Darjoto, pembina Yayasan Arema.
Dan benar saja, hanya satu musim saja Arema terjerembab di kompetisi kasta kedua. Di bawah asuhan Benny Dollo pada musim 2005, Tim Singo Edan kembali ke peradaban elite. Dan hebatnya pada musim perdana klub yang satu ini langsung jadi jawara Piala Indonesia (Copa Indonesia). Prestasi ini diulang pada tahun selanjutnya.
Apesnya, Bentoel kemudian melepas kepemilikan Arema, karena mereka dibatasi regulasi internasional yang tidak memperbolehkan sebuah perusahaan rokok berinvestasi ke hal-hal berbau olahraga. Arema diserahkan kembali ke yayasan yang dikomandoi Rendra Kresna, Muhammad Nur, dan Luck Acub Zaenal.
Uniknya saat kondisi keuangan serba morat-marit di pentas kompetisi Indonesia Super League 2009-2010, Arema jadi juara Indonesia Super League. Saat itu Tim Singo Edan ditangani oleh pelatih asal Belanda, Robert Rene Aberts. Hebatnya klub banyak dihuni pemain muda potensial. Sebut saja Kurnia Meiga, Dendi Santoso, Benny Wahyudi, hingga Ahmad Bustomi.
"Keberhasilan Arema menjadi juara ISL 2009-2010 terasa spesial, mengingat saat itu Arema tak masuk daftar unggulan. Beruntung saya memiliki banyak pemain muda yang mau bekerja keras dan bermain sepenuh hati walau kondisi terasa sulit. Dukungan Aremania yang fantastis menjadi penyemangat bagi tim untuk memberikan yang terbaik di lapangan," ucap Robert Rene Alberts, mengenang kejayaan mantan klubnya.
Robert kini menjadi pelatih PSM Makassar, namun ia tak bisa melupakan Arema, klub yang membuat namanya melambung di Indonesia. Uniknya, awalnya nama sang mentor tidak jadi hitungan. Pada awalnya Arema berniat mendatangkan pelatih asal Bulgaria, Ivan Kolev. Namun, karena sang mantan arsitek Timnas Indonesia tersebut kesulitan mendapatkan tiket pesawat ke Indonesia, nama Robert dimunculkan beberapa pekan jelang kompetisi bergulir.
"Nama saya langsung mendadak ngetop begitu Arema juara ISL. Saya yang minim pengalaman dipercaya membela Timnas Indonesia di Piala AFF 2010. Hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sejarah itu tidak akan pernah saya lupakan. Arema amat berarti dalam perjalanan karier saya," ungkap Kurnia Meiga , penjaga gawang andalan Tim Singo Edan.
Advertisement
Kontroversi Dualisme
Bicara Arema tak akan lengkap jika tidak mengupas tentang dualisme tim yang terjadi sejak 2012. Itu merupakan akibat dari dualisme kompetisi, Indonesia Super League (ISL) dan Indonesia Premier League (IPL). Sejak itu pula tim Singo Edan terpecah jadi dua, yang ironisnya semua dikelola oleh figur-figur sentral di Yayasan Arema. Arema versi IPL dikelola M. Nur, sementara Singo Edan versi ISL dikomandoi oleh Rendra Kresna.
Semula, Arema IPL yang diakui oleh FIFA. Karena PSSI mengakui IPL sebagai kompetisi yang resmi dikelola PSSI. Di tahun itu pula mereka jadi wakil Indonesia di AFC Cup 2012.
Sayang tim ini kurang dapat dukungan dari Aremania. Hanya di beberapa pertandingan awal IPL, tim yang bermarkas di Stadion Gajayana ini dipenuhi suporter. Maklum komposisi pemain mereka mayoritas adalah skuat juara ISL 2010.
Namun, kondisi ini berbalik dalam hitungan bulan. Karena Arema IPL banyak dihinggapi masalah internal. Bahkan mereka sempat terpecah lagi jadi dua tim berbeda pelatih. Satu dibawah arahan Milomir Seslija, satu lagi Abdulrahman Gurning.
Sebaliknya Arema ISL berjuang dari zero to hero. Mereka sempat ditinggalkan Aremania dan terseok-seok dari segi prestasi dan finansial langsung berbalik di putaran kedua.
Kuncinya, mereka sukses membajak pemain andalan dari Arema IPL. Seperti M. Ridhuan, Kurnia Meiga, Ahmad Alfarizi, Dendi Santoso, Sunarto, Hendro Siswanto dan beberapa nama lainnya.
Aremania pun kembali tertarik ke Stadion Kanjuruhan. Hingga sekarang, Arema ISL didukung mayoritas Aremania. Kondisi pun berbalik 180 derajat ketika tahun 2013 giliran ISL jadi kompetisi resmi. Sehingga mereka mewakili Indonesia di AFC Cup 2014 setelah meraih posisi runner-up di ISL 2013.
"Bayangkan kalau waktu itu Arema tidak ada di ISL, setelah IPL tidak ada bisa jadi Arema ikut menghilang. Karena itu, kami semua sebenarnya berjuang demi eksistensi Arema," terang Media Officer Arema versi ISL, Sudarmaji.
Pada ISL musim 2011-2012 Arema ISL secara resmi diakuisisi Pelita Cronus. Perusahaan milik Nirwan Dermawan Bakrie, yang telah menjual lisensi klub Pelita Jaya ke Ari Sutedi, membeli kepemilikan klub Arema ISL. Nama klub akhirnya berganti menjadi Arema Cronus.
Masalah dualisme ini belum usai. Arema IPL yang sudah mati suri karena disingkirkan bersamaan dengan penyatuan liga tahun 2013 masih memiliki manajemen aktif yang dimtori Novi Adrianda istri almarhum Luck Acub Zaenal. Kini mereka tengah berjuang untuk masuk dalam sepak bola profesional lagi bersama klub lain yang disingkirkan saat penyatuan liga.
"Saya berharap konflik dualisme Arema dapat dituntaskan. Pihak-pihak yang berkepentingan dan duduk di yayasan harus duduk satu meja menyelesaikan keruwetan ini," tutur Darjoto, memberi masukan kepada dua klub yang bertikai.
Terlepas dari kontroversi dualisme tersebut, Arema Cronus terlihat tetap eksis dan dicintai Aremania. Klub yang kini dikelola oleh Iwan Budianto sebagai CEO lepas landas menjadi klub dengan pengelolaan serba profesional. Cerita Arema selalu terjebak masalah krisis finansial secara perlahan mulai terkikis. Arema kini jadi salah satu klub gulali yang diperebutkan banyak sponsor. Dukungan Aremania yang berlimpah jadi modal menarik perusahaan-perusahaan kakap.
"Arema bukan lagi sekadar sebuah klub sepak bola bagi kami, tapi sudah seperti kehidupan. Di mana pun warga Malang berada, Arema selalu ada di hati. Apa jadinya Malang tanpa Arema?" Yuli Sumpil, Dirijen Aremania.
Mulai tahun 2013, Arema berupaya memenuhi tuntutan sebagai tim elite dengan merekrut pemain top, seperti Mohd. Noh Alam Shah, Cristian Gonzales, Gustavo Lopez, Beto Goncalves, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo hingga pemain lokal macam Kurnia Meiga, Samsul Arif, dan Ahmad Bustomi.
Tapi untuk dinilai sebagai tim mapan, Arema masih terus berjuang. Untuk mendapatkan klaim itu, mereka harus bisa memenuhi kebutuhan finansial. Tidak ada lagi persoalan tunggakan gaji seperti tahun-tahun sebelumnya. Di satu sisi, dana yang dibutuhkan untuk membiayai kebutuhan tim bertabur bintang tidak sedikit. Puluhan miliar rupiah harus digelontorkan dalam satu musim.
Artinya, manajemen harus berjuang memenuhinya. Tim divisi bisnis harus pontang-panting untuk menjual tim ini kepada para sponsor.Apalagi khusus tahun ini, penyelenggara Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 presented by IM3 Ooredoo mengeluarkan aturan ketat agar klub tidak sampai menunggak gaji pemain.
Hukuman pengurangan poin jika terjadi pelanggaran itu jadi momok bagi manajemen. Mengingat Arema memasang target juara di ajang ini. Aturan tersebut di satu sisi juga membantu Arema untuk jadi tim mapan.”Tidak dimungkiri, klub yang bagus itu yang pertama harus sehat manajemennya. Kalau sudah begitu bisa menarik materi pemain yang bagus. Kalau hal itu terwujud, prestasi datang dengan sendirinya,” kata General Manager Arema Cronus, Ruddy Widodo.
Selama setahun ini, Singo Edan berjuang keras. Untuk memenuhi kebutuhan tim. Sebelum ajang TSC 2016 berbagai turnamen diikuti. Mulai kelas nasional hingga regional. Semuanya demi menghidupi tim ketika tidak ada turnamen selama PSSI dibekukan oleh Menpora lalu disanksi FIFA.
Pekerjaan bakal lebih berat. Manajemen harus menggerakkan semua elemen bisnisnya guna meraih dana yang lebih banyak.”Sekarang kami mencoba dari berbagai sisi untuk mendekati sponsor. Mulai dari brand pribadi pemain hingga merek internasional. Yang penting kami komunikasi dulu. Brand dunia juga kami masuki. Masalah hasil itu belakangan, yang terpenting pendekatan dan berusaha dulu,” kata manajer Bisnis Arema, Yusrinal Fitriandi.
Contohnya, saat gelandang Raphael Maitimo ke China, atas undangan merek internasional. Manajemen klub memberikan izin, sekaligus melakukan pendekatan intens untuk membicarakan kemungkinan perusahaan itu menjadi sponsor Arema.
Mimpi Memiliki Stadion
Sejak tahun 2013 lalu, ada sebuah cita-cita besar yang dimiliki Arema Cronus. Namun hingga kini target itu masih belum terealisasi. Yaitu mempunyai stadion sendiri. Selama 29 tahun Arema berdiri, mereka menggunakan homebase milik pemerintah daerah. Yaitu Stadion Gajayana Malang di Kota Malang dan Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang.
Jika memiliki Stadion sendiri, pemasukan Arema bakal semakin besar. Itu diakui salah satu pendiri dan saksi sejarah Arema, Ovan Tobing. ”Saya berharap masih diberikan kesehatan saat Arema memiliki stadion sendiri. Karena ini merupakan keinginan semua elemen di klub ini,” kata pria yang akrab disapa OT itu.
Dan manajemen kini menargetkan pada 2019 nanti stadion itu sudah berdiri di salah satu wilayah Kabupaten Malang. Karena manajemen Singo Edan sudah melakukan pembebasan lahannya. Kini mereka tinggal mencari dana yang lebih besar lagi untuk mendirikan sebuah mimpi besar itu.
"Punya stadion sendiri bisa membuat Arema lebih bisa mengembangkan potensi bisnis secara maksimal. Lihat saja klub besar dunia, mereka punya stadion sendiri untuk jadi salah satu sumber pemasukan. Kalau ada pertandingan tentu pemasukan dari tiket dan sponsor. Saat off season, digunakan untuk berbagai acara seperti konser. Jadi stadion tidak akan pernah kering memberikan pemasukan,” tutur CEO Arema, Iwan Budianto.
Namun, menurut Iwan membangun stadion baru tak semudah membalikkan telapak tangan. "Dana investasi yang dikeluarkan amat besar. Klub harus meminjam dana ke bank, yang artinya secara kontinu manajemen Arema juga harus membayar kewajiban ke mereka tiap bulannya," tutur Iwan.
"Pemasukan rutin lewat skema bisnis yang kami siapkan akan membuat Arema tidak tersendat-sendat melakukan pembayaran utang. Melihat begitu besarnya jumlah pendukung Arema, saya optimistis klub ini bakal selalu diminati sponsor. Pemasukan dari penonton yang dikombinasikan dengan sponsor sesuatu yang ideal untuk memutar roda operasional klub," timpalnya lagi.
Bicara soal sponsor, minat besar perusahaan-perusahaan berivestasi ke klub amat bergantung pada kondisi sepak bola nasional. Jika situasi kondusif, investor bakal mengantri mengelontorkan uangnya ke seluruh elemen yang terkait dengan dunia sepak bola Indonesia. Terlepas dari segala kontroversinya, sepak bola negara kita yang diminati massa suporter yang berlimpah sesuatu yang seksi.
Konflik berkepenjangan antara PSSI dengan Kemenpora pada 2015 lalu terasa memukul klub-klub, tak terkecuali Arema Cronus. Tanpa kompetisi Tim Singo Edan tak bisa menggaet sponsor secara maksimal.
"Beruntung di tengah masalah sulit, kami bisa tetap eksis. Penyelenggaraan sejumlah turnamen pengisi kevakuman kompetisi membantu Arema menggiling roda bisnis. Pemasukan tidak maksimal, tapi cukup membantu manajemen menjaga eksistensi klub," ucap Iwan.
Pelaksanaan Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 presented by IM3 Ooredoo, kompetisi independen yang dikelola perseroan milik klub, membawa angin segar. Manajemen Arema Cronus beserta klub-klub lainnya berharap pergantian tampuk pimpinan PSSI beberapa bulan ke depan bakal membuat wajah sepak bola nasional kembali cerah.
"Kompetisi sepak bola Indonesia fantastis. Stadion selalu full ketika tim bertanding. Salah satu alasan saya mau melatih Arema Cronus karena melihat begitu fanatiknya Aremania memberi dukungan. Saya pribadi berharap konflik sepak bola Indonesia segera berakhir. Jika situasi stabil, pelaku sepak bola bisa fokus menjalankan roda pembinaan dan menyajikan hiburan di lapangan," tutur Milomir Seslija pelatih Arema saat ini asal Bosnia.
Selamat ulang tahun Arema. Semoga selalu berjaya!
Advertisement