Sukses


11 Pesepak Bola Top Berkarier Pendek di Timnas Indonesia

Bola.com, Jakarta - Setiap pesepak bola bermimpi bisa memperkuat tim nasional negaranya. Merupakan sebuah kebanggaan mewakili bangsa di sebuah ajang internasional.

Sayangnya tak semua beruntung, bisa berkesempatan membela timnas. Selera pelatih berperan saat melakukan pemilihan pemain. Seorang pemain berkualitas di level klub belum tentu otomatis mengantarkanya ke skuat timnas. 

Jika gaya bermainnya tak cocok dengan style pelatih, kesempatan mengumpulkan cap terkubur.

Ada juga pemain yang beruntung. Bisa mengecap pengalaman bertanding di laga internasional bersama timnas negaranya dalam periode yang amat lama. Pergantian pelatih tak lantas membuatnya tersingkir. Ia selalu bisa beradaptasi dengan perubahan.

Kemampuan pemain mempertahankan konsistensi performa di lapangan jadi faktor pendukung ia bertahan lama di level timnas.

Di sisi lain ada juga sekumpulan pemain berkelas bernasib apes. Walau mengumpulkan seabrek trofi atau prestasi pribadi ia jarang mendapat kesempatan tampil membela timnas negaranya.

Terkadang hal tersebut dipengaruhi faktor nonteknis di luar lapangan, seperti misalnya perilaku indisipliner atau hantaman cedera tak terduga yang membuat dirinya terpental dari skuat inti.

Di Indonesia ada sejumlah pesepak bola berlabel top. Reputasi mereka amat mentereng di klub. Dengan talenta yang dimiliki kesempatan membela Timnas Indonesia datang dengan sendirinya. Sayangnya, mereka seakan tak berjodoh dengan Tim Merah-Putih.

Dengan kemampuan yang dimiliki, semestinya mereka berkarier panjang di Tim Garuda. Pada kenyataannya tidak demikian. Karier mereka di Timnas Indonesia terhitung pendek. Siapa-siapa saja mereka, dan ada cerita apa di balik fakta karier pendek mereka di timnas?

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 12 halaman

Firmansyah

Firmansyah, disebut banyak pengamat sebagai stoper terbaik pada  pertengahan 2000-an. Pemain kelahiran Tangerang, 7 April 1980, itu  memulai karier profesional di klub Persikabo Bogor pada 1998, sebelum  akhirnya bersinar di Persikota Tangerang pada 2000-2007.

Rahmad Darmawan berjasa besar pada karier sang pemain. Walau usianya  relatif muda, pelatih asal Lampung tersebut tak ragu-ragu menjadikannya jendral pertahanan di Persikota, yang mencuat sebagai kekuatan baru di pentas kompetisi kasta elite.

Firmansyah mulai menapaki karier Timnas Indonesia di SEA Games 2003. Sebelum akhirnya ia jadi pelanggan Tim Merah-Putih pada periode  2004-2007.

Bersama Mahyadi Panggabean, Ilham Jayakesuma, Firman Utina,  Boaz Solossa, ia jadi bagian revolusi skuat timnas ala Peter Withe di Piala Tiger 2004.

Kala itu pelatih asal Inggris tersebut memilih meninggalkan sejumlah pemain pelanggan Tim Garuda dan menggantikannya dengan bakat-bakat muda yang diyakini mendongkrak performa Timnas Indonesia di perhelatan akbar antarnegara di kawasan Asia Tenggara.

Benar saja, tampil memesona sejak fase penyisihan Timnas Indonesia menembus partai final. Sayangnya, Indonesia takluk dari Singapura yang kala itu mulai memberdayakan pemain naturalisasi. Semenjak itu, Firmansyah selalu jadi pelanggan timnas.

Bahkan setelah Peter Withe lengser pasca kegagalan di Piala Tiger 2007, ia tetap menjadi pilihan utama Ivan Kolev. Petaka menimpa sang bek, saat membela Timnas Indonesia dalam uji coba melawan PSIS Semarang jelang perhelatan Piala Asia 2007.

Ia cedera robek bantalan persendian kaki kanan dan kehilangan kesempatan berlaga di persaingan elite Asia di hadapan publik sendiri. Setelah menjalani proses penyembuhan cedera hampir setahun, Firman sempat mencoba kembali ke gelanggang.

Namun, ia gagal kembali ke level terbaik penampilannya karena trauma cedera. Pada 2008, saat berumur 28 tahun, ia memutuskan berhenti total dari dunia sepak bola profesional dan fokus meneruskan kuliah.

Sejak 2010 ia menjalani karier baru sebagai pegawai negeri di PDAM di Kota Bekasi. Ia sempat beberapa kali ditawari kontrak oleh klub-klub  profesional, namun Firmansyah memilih menolak. Firmansyah total 21 kali tercatat membela Timnas Indonesia.

3 dari 12 halaman

Ilham Jayakesuma

Ilham Jayakesuma menjelma jadi striker top Tanah Air pada awal 2000-an. Torehan dua gelar Top Scorer Liga Indonesia musim 2002 dan 2004 mempertegas kehebatan penyerang kelahiran Palembang, 19 September 1978 tersebut.

Ia sedikit dari pemain lokal yang bisa menembus persaingan penyerang elite yang didominasi oleh pemain asing.

Ilham mencuri perhatian ketika mengantar tim kuda hitam Persita Tangerang menembus final Liga Indonesia musim 2002, sebelum dikalahkan  Petrokimia Putra 0-1.

Kala itu Tim Pendekar Cisadane yang diarsiteki  Benny Dollo, tidak dihitung sebagai kandidat juara. Tim dihuni sedikit pemain berlabel top.

Ilham mencatatkan diri sebagai pencetak gol terbanyak Piala Tiger 2004 dengan torehan tujuh gol. Lantaran penampilannya yang memukau di Piala AFF 2004 klub asal Malaysia, MMPJ Selangor, merekrutnya pada tahun 2006.

Kepindahan Ilham ke Negeri Jiran jadi malapetaka bagi kariernya. Saat tampil di Liga Super Malaysia ia dihantam cedera lutut berat, yang membuatnya diputus kontrak di setengah musim kompetisi.

Ilham, kembali ke Persita. Semusim bermain di sana penampilannya merosot tajam. Ia hanya mengoleksi empat gol dari 25 penampilan.

Pada musim 2008-2009 ia digaet Persisam Samarinda. Di sana ia juga gagal menunjukkan performa terbaik dan akhirnya didepak.

Ilham semenjak  itu kerap berpindah-pindah klub. Ia sempat bermain kembali di Persita, Mitra Kukar, dan Sriwijaya FC. Di klub-klub tersebut ia lebih sering jadi penghias bangku cadangan.

Di Timnas Indonesia, semenjak Peter Withe lengser pasca Piala AFF 2007, Ilham tak pernah lagi dipanggil untuk membela Tim Garuda.

4 dari 12 halaman

Oktovianus Maniani

Nama Oktovianus Maniani pertama kali mencuat ke permukaan ketika namanya terpilih menjadi bagian Timnas Indonesia proyeksi Piala AFF 2010. Ia jadi pemain paling muda di Tim Merah-Putih (19 tahun kala itu).

Walau berstatus sebagai pemain junior dia dipercaya menggunakan nomor punggung sakral 10 oleh pelatih, Alfred Riedl. Penampilan Okto amat memesona, dengan lincahnya menyisir sisi kanan pertahanan lawan, melewati satu per satu pemain lawan.

Salah satu aksi memukaunya adalah ketika ia memberikan umpan silang terukur dari sisi kanan Malaysia pada Piala AFF 2010. Bola tendangannya melengkung melewati tiga pemain tim Negeri Jiran dan Bambang Pamungkas.

Irfan Bachdim yang terlepas dari penjagaan bek Malaysia pun sukses mengkonversinya menjadi gol. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada 1 Desember 2010 itu pun dimenangkan Firman Utina dkk. dengan skor 5-1.

Namun selepas Piala AFF 2010, sinar kebintangan Okto mendadak meredup. Ia amat jarang dipanggil membela timnas senior.

Kabarnya Alfred Riedl dan Wim Rijsbergen pelatih Timnas Indonesia periode 2011-2012 kurang suka dengan perilaku sang pemain yang kerap indispliner. Okto sering tanpa alasan jelas menghilang dari lokasi latihan. 

Kala dunia sepak bola Tanah Air guncang dengan dualisme kompetisi dan PSSI, nama Okto kembali mencuat ke permukaan. Ia yang membela klub kontestan Indonesia Super League, Persiram Raja Ampat, memutuskan bergabung ke Tim Garuda proyeksi Piala AFF 2012 walau klubnya melarang.

Kala itu klub-klub ISL yang berseteru dengan kepengurusan PSSI, Djohar Arifin Husein, menolak melepas pemain terbaiknya ke Timnas Indonesia yang ditukangi oleh Nilmaizar.

Skuat timnas hanya diisi pemain-pemain yang berkiprah di kompetisi Indonesia Premier League, plus Okto serta Bambang Pamungkas yang memutuskan membelot.

Selepas tampil di Piala AFF 2012, nama Okto menghilang dari timnas. Terakhir ia sempat dipanggil Manuel Blanco, pengganti Nilmaizar. Hanya belakangan dicoret kembali karena dianggap tak disiplin kerap keluyuran tanpa izin.

Sejatinya dari sisi usia, Oktovianus Maniani yang baru berusia 26 tahun (kelahiran 27 Oktober 1990) masih terhitung produktif. Hanya saja ia seolah tak berjodoh dengan Timnas Indonesia. Bahkan ia juga kerap kesulitan mendapatkan klub, gara-gara faktor X di luar lapangan.

Pada putaran pertama Torabika Soccer Championship 2016 presented by IM3 Ooredoo bermain buat Persiba Balikpapan. Hanya di pengujung putaran pertama kompetisi yang bersangkutan memutuskan mundur, dengan alasan jadi PNS di Raja Ampat.

Kontroversi mencuat saat Arema Cronus mengklaim berencana menggaet pemain asal Jayapura, Papua tersebut. (Gregorius Aryodamar Pranandito)

 

5 dari 12 halaman

Maman Abdulrrahman

Nama Maman Abdurrahman pertama kali mencuat ke permukaan ketika berhasil menjadi pemain terbaik Liga Indonesia pada musim 2006 bersama PSIS Semarang. Ia kemudian mulai intens dipanggil ke Timnas Indonesia Senior. Namanya masuk daftar skuat Piala Asia 2007.

Maman, disebut-sebut sebagai salah satu stoper terbaik di Indonesia kala itu. Namanya makin populer saat membela Persib Bandung sejak musim 2008. Tanpa ragu-ragu Alfred Riedl memanggilnya untuk membela Tim Merah-Putih di Piala AFF 2010. Ia jadi pemain inti berduet dengan Hamka Hamzah.

Hanya blunder di laga final melawan Malaysia jadi petaka bagi Maman. Kurang konsentrasi Maman diperdaya dengan amat mudah oleh striker Malaysia, Safee Sali, pada pertandingan leg pertama di Stadion Bukit Jalil, Malaysia. Secara mengejutkan Indonesia kala itu kalah telak 0-3 dari Harimau Malaysia.

Isu tak sedap sempat mencuat. Lewat sebuah surat kaleng yang menyebar ke banyak media, Maman dan beberapa pemain dicurigai dibayar sindikat judi internasional.

Rumor ini tak pernah terbukti hingga kini. Namun, entah mengapa karier Maman ikutan macet di Timnas Indonesia.

Ia tak pernah lagi berkesempatan membela Timnas Indonesia, di era Wim Rijsbergen, Aji Santoso, Nilmaizar, Rahmad Darmawan, Jacksen F. Tiago, dan kini kembali Alfred Riedl. Ia kalah bersaing dengan bek-bek lain macam M. Roby, Achmad Jupriyanto, Hamka Hamzah, yang jadi pelanggan Tim Garuda lima tahun terakhir.

Maman tidak pernah bisa menemukan bentuk permainan terbaik karena hantaman cedera lutut kambuhan. Selepas membela Persib pada musim 2013, Maman sempat singgah di Sriwijaya FC. Namun di sana ia hanya jadi spesialis cadangan.

Bek kelahiran 12 Mei 1982 tersebut bahkan sempat menggais rezeki ke klub kompetisi kasta kedua, Persita Tangerang, dua musim terakhir.

Kini di usia 34 tahun Maman bermain di Persija Jakarta. Performa jeblok Macan Kemayoran sepanjang putaran pertam TSC 2016 membuat langkah Maman comeback ke Timnas Indonesia terasa berat.

Apalagi sekarang Alfred Riedl lebih senang memberdayakan pemain usia muda. Maman tercatat 27 kali membela Timnas Indonesia periode 2006-2010. Frekuensi bertandingnya amat banyak buat durasi selama empat tahun. (Gregorius Aryodamar Pranandito)

6 dari 12 halaman

Tony Sucipto

Pencabutan sanksi FIFA pada Mei 2016 membuat Tony Sucipto kembali berhasrat untuk membela Timnas Indonesia. Pemain kelahiran 12 Februari 1986 itu baru memiliki 12 cap bersama skuad Garuda dengan koleksi sebiji gol.

Agak ironis rasanya jika melihat jejak mentereng sang pemain saat di level junior. Ia pelanggan Timnas Junior level U-17, U-19, dan U-23 pada periode 2002-2009.

Tony sempat ikut menjalani pelatihan di Belanda (jelang Asian Games 2005) dan Argentina (jelang SEA Games 2007). Akan tetapi peruntungan bek sayap kanan Persib Bandung tak terhitung mulus di level senior. 

Performa menawan sempat dipertontonkan saat membela Tim Garuda di Piala AFF 2010. Hanya selepas itu namanya jarang terpanggil lagi.

Padahal di level klub, ia sukses mempersembahkan banyak gelar juara. Satu koleksi trofi kasta tertinggi musim 2007-2008  serta tiga gelar Piala Indonesia beruntun musim 2007-2008, 2008-2009, dan 2009-2010 buat buat Sriwijaya FC. Terakhir ia mempersembahkan gelar Indonesia Super League 2014 serta Piala Presiden 2015 bersama Persib Bandung.

Tony Sucipto sempat dipanggil pelatih caretaker Timnas Indonesia, Rahmad Darmawan, kala melakoni duel uji coba melawan Belanda pada tahun 2013. Selepas itu namanya tak pernah lagi tercantum di skuat Garuda.

Pemain berdarah Surabaya tersebut saat ini baru genap berusia 30 tahun (kelahiran 12 Februari 1986). Ia masih punya kesempatan buat membela negara.

Jangan heran secara resmi Tony Sucipto tidak pernah menyatakan pensiun membela Timnas Indonesia, sekalipun namanya tidak pernah dipanggil. (Gregorius Aryodamar Pranandito)

7 dari 12 halaman

Muhammad Nasuha

Muhammad Nasuha, harus menerima kenyataan pahit karier sepak bolanya berakhir cepat  gara-gara cedera lutut kirinya pecah saat membela Persib Bandung di Indonesia Super League 2010-2011. Padahal, saat itu ia tengah berada di level terbaik.

Nasuha, yang bermain di posisi bek sayap kiri, tampil apik di Piala AFF 2010. Indonesia menembus laga puncak turnamen, sebelum akhirnya kalah agregat 4-2 dari Malaysia.

Nasuha, yang sebelumnya bermain di Persikota Tangerang, bukan terhitung pemain beken. Namanya mulai dikenal setelah digaet Rahmad Darmawan ke Sriwijaya FC pada musim 2007-2008.

Ia jadi bagian tim dobel gelar (Liga Indonesia dan Piala Indonesia) Laskar Wong Kito. Nasuha juga punya peran besar terhadap dua gelar Piala Indonesia musim 2008-2009 dan 2009-2010.

Pelatih Timnas Indonesia, Alfred Riedl, yang ingin melakukan penyegaran, menggaetnya setelah melihat performanya yang kinclong di pentas kompetisi domestik. Nasuha membuktikan kalau ia punya kualitas serta pantas membela Tim Merah-Putih.

Publik tentu masih ingat bagaimana Nasuha berhasil membawa timnas  lolos ke final Piala AFF 2010 dengan kepala diperban usai berbenturan dengan salah satu pemain Filipina.

Di final, Nasuha juga mencetak satu gol di leg kedua walau akhirnya gagal memberikan gelar perdana bagi Tim Merah Putih di Piala AFF karena takluk dari Malaysia dengan agregat 2-4.

Selain gol tersebut, Nasuha pernah mengukir gol indah dari tendangan jarak jauh ke gawang Turkmenistan pada kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia, tahun 2011. Satu golnya itu membantu Timnas Indonesia mengalahkan Turkmenistan 3-0.

Saat dihinggapi cedera di Persib, Nasuha menepi hampir dua tahun dari kemeriahan sepak bola nasional. Ia menata kembali kariernya dengan bermain di klub Divisi I, Cilegon United, pada musim 2014.

Sayang, ia kembali bernasib sial dihantam cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL). Sang pemain harus kembali menepi. Hingga kapan Nasuha bisa kembali pulih tidak diketahui. Dibantu mantan mentornya, Rahmad Darmawan, dan sejumlah pengusaha Nasuha sempat menjalani rangkaian operasi.

8 dari 12 halaman

Immanuel Wanggai

Bersama Boaz Solossa, Ian Kabes, serta Korinus Fingreuw, sosok Immanuel Wanggai mencuat ke permukaan setelah mengantar tim Papua juara PON 2004 Palembang. Mereka kemudian digaet Persipura Jayapura setahun berselang. 

Di Tim Mutiara Hitam ia mempersembahkan empat gelar kompetisi kasta tertinggi musim 2005, 2008-2009, 2010-2011, dan 2013. Banyak pengamat menyebut Wanggai salah satu gelandang jangkar terbaik di miliki Indonesia.

Namun, pengakuan tersebut tak lantas membuat kariernya mulus di Timnas Indonesia. Setelah memperkuat Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2007 dan 2009, namanya jarang terpanggil ke skuat Tim Merah-Putih Senior.

Ia sempat beberapa kali dipanggil ikut pelatnas, namun seringkali menolak dengan berbagai alasan. Hal ini membuat sejumlah pelatih yang menukangi Tim Garuda jadi enggan menyertakannya ke skuat asuhan mereka.

Pada tahun 2013 ia akhirnya bersedia memenuhi panggilan PSSI untuk membela Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Asia 2015. Saat itu pelatih Tim Merah-Putih dipegang Jacksen F. Tiago, yang notabene pelatihnya di Persipura Jayapura.

Di era Jacksen, Manu jadi pelanggan posisi inti. Ia kerap diduetkan dengan Rizky Pellu serta Raphael Maitimo sebagai jangkar lini tengah timnas.

Namun, begitu tampuk arsitek timnas berpindah tangan ke Alfred Riedl, nama Immanuel Wanggai kembali mengilang. Sejak tahun 2007 ia tercatat tujuh laga membela Timnas Indonesia.

Jumlah yang terhitung sedikit dibanding jika menilik usianya yang baru 28 tahun (kelahiran 23 Februari 1988). Padahal, ia bisa dibilang tak tergantikan posisinya di Persipura selama 11 tahun terakhir. (Gregorius Aryodamar Pranandito)

9 dari 12 halaman

Mauly Lessi

Penampilan Muhammad Mauly Lessy menarik perhatian publik sepak bola nasional di Piala Tiger 2004. Stoper kelahiran Ambon, 7 Agustus 1975 menjadi tembok kokoh bagi Timnas Indonesia yang sulit ditembus lawan.

Bersama Charis Yulianto dan Jack Komboy, Lessy jadi pilihan utama Peter Withe di sektor pertahanan Tim Merah-Putih. Terpilihnya Lessy,  agak mengejutkan mengingat sang pemain hanya bermain di klub semenjana,  Persikota Tangerang.

Peter kepincut dengan Mauly Lessy, yang bisa bermain di dua posisi, sebagai gelandang jangkar sekaligus bek. Timnas Indonesia menembus laga final Piala Tiger 2004, sebelum takluk dari Singapura dengan agregat 1-5.

Selepas Piala Tiger 2004, Lessy diboyong Rahmad ke Persipura. Di sana ia sukses meraih gelar Liga Indonesia setelah mengalahkan Persija  dengan skor 3-2 di partai puncak.

Sayang hantaman cedera lutut parah pada musim 2007-2008 membuat karier sang pemain mendadak meredup. Walau sempat sembuh dari cedera, ia kesulitan menemukan bentuk permainan terbaik. Selepas dari Persipura ia bahkan berulangkali kesulitan mendapatkan klub.

Pada musim 2009-2010, Lessy yang sudah berusia 35 tahun sempat diajak gabung Rahmad Darmawan ke Sriwijaya FC, namun di Tim Laskar Wong Kito ia lebih sering jadi pemain serep.  Ia jarang dapat kesempatan menjajal lapangan

Bagaimana dengan kiprah Lessy di Timnas Indonesia? Selepas bersinar di Piala Tiger 2004, namanya hampir tak diingat pelatih-pelatih yang menangani Tim Merah-Putih.

10 dari 12 halaman

Yongki Aribowo

Meski mengawali karier bersama Persik Kediri U-21, nama Yongki Aribowo melejit bersama Arema malang.

Permainan impresif dari penyerang kelahiran 23 November 1989 itu membuat namanya terselip diantara sederet penyerang papan atas Indonesia seperti duo naturalisasi Christian Gonzales, dan Irfan Bachdim, serta dua langganan Timnas, Bambang Pamungkas, dan Boaz Solossa.

Yongki pun sempat bertarung dengan bintang FC Barcelona yang kala itu masih berseragam Liverpool, Luis Suarez. Di pertandingan yang dimenangi Uruguay dengan skor 7-1 pada tahun 2010.

Pada saat itu Yongki bermain menggantikan Bambang Pamungkas. Ia kemudian jadi bagian skuat Timnas Indonesia di Piala AFF 2010, sebagai pelapis Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales.

Cedera lutut kambuhan membuat karier Yongki stagnan. Selepas Piala AFF 2010 karier di klubnya meredup, dan otomatis memengaruhi karier di Tim Garuda.

Keputusannya pindah ke Persisam Samarinda pada musim 2012 terasa tak mengherankan, mengingat ia mulai kehilangan posisi inti di Tim Singo Edan.

Hanya di klub itu ia hanya semusim. Kemudian ia pindah ke PS Barito Putera pada musim 2013-2014. Di sana ia lebih sering jadi cadangan. Sempat pindah ke Pelita Bandung Raya pada awal 2015, di TSC 2016 ini Yongki Aribowo kembali ke Barito Putera.

Sang predator terlihat masih kesulitan kembali ke titik maksimal. Yongki yang sempat digadang-gadang sebagai Next Bambang Pamungkas sulit kembali ke Timnas Indonesia. Produktivitasnya tak lagi tinggi seperti beberapa tahun silam. (Gregorius Aryodamar Pranandito)

11 dari 12 halaman

Atep Rizal

Pesona popularitas  Atep Rizal melesat saat dirinya mengantar Persib U-18 juara Piala Suratin edisi 2004. Ia bersama sejumlah pemain lainnya langsung dipanggil Peter Withe membela Timnas U-20 di Piala AFF U-20 2004.

Tim tersebut kemudian menjalani pelatnas jangka panjang di bawah arahan Erick Williams, yang ikut memboyong anak-anak didiknya di Diklat Medan. Rekan-rekan seangkatan Atep kala itu, Bobby Sastria, Yusuf Sutan Mudo, Nur Ichsan, hingga Boaz Solossa.

Gaya bermain Atep amat disukai Peter Withe. Seperti kebanyakan gelandang sayap asal Inggris, Atep punya keunggulan dalam melakukan umpan lambung terukur yang memanjakan para striker.

Bersama Boaz Solossa, winger kelahiran Cianjur, 5 Juni 1985 tersebut yang dikontrak klub profesional di usia muda. Boaz di Persipura Jayapura, sementara Atep di Persija Jakarta.

Karena punya kewajiban mengikuti pelatnas jangka panjang bersama  Timnas Indonesia U-20, di mana Tim Garuda Muda tampil di kompetisi Divisi Utama dengan menggunakan nama Persiba Bantul, Atep baru bisa tampil membela Tim Macan Kemayoran di musim 2006.  

Bersama Boaz pula Atep pemain yang paling cepat promosi ke Timnas Indonesia Senior. Ia jadi pemain pilihan utama Peter Withe di skuat Tim Merah-Putih Piala Kemerdekaan 2006 dan Piala AFF 2007.

Hanya saja situasi berubah ketika PSSI memecat pelatih asal Inggris tersebut setelah kegagalan di Piala AFF. Ivan Kolev, penggantinya kurang suka dengan gaya bermain Atep.

Ia harus menerima kenyataan absen di perhelatan akbar Piala Asia 2007. Semenjak itu pemain didikan SSB UNI Bandung tersebut tak pernah lagi merasakan kesempatan membela negara.

Nasib Atep tak membaik ketika ia memutuskan pindah ke klub kampung halamannya Persib Bandung. Ia selalu jadi pelanggan tim inti Maung Bandung sejak musim 2007-2008 hingga saat ini.

Namun, penampilan konsisten di klub tak membuatnya kembali ke Timnas Indonesia.

Bahkan saat Persib jadi juara Indonesia Super League 2004, di mana Atep berstatus kapten tim, ia tetap tak dilirik Alfred Riedl untuk berlaga di Piala AFF 2014. Di masa vakum kompetisi, imbas konflik PSSI dengan Kemenpora, Atep jadi elemen penting sukses Persib menjuara Piala Presiden 2015.

Di Torabika Soccer Championship (TSC) 2006 presented by  IM3 Ooredoo, Atep salah satu pemain yang performanya terhitung bagus di Persib. Hanya pencapaian itu tak membuat nama Atep masuk barisan pemain seleksi Timnas Indonesia buat keperluan tampil di Piala AFF 2016.

12 dari 12 halaman

Ian Kabes

Ian Kabes tercatat sebagai pemain paling senior di Persipura Jayapura saat ini bareng Boaz Solossa dan Imanuel Wanggai. Ketiganya sudah membela Tim Mutiara Hitam sejak musim 2005.

Pada musim perdananya di kompetisi profesional, Ian Kabes langsung mengantar Persipura jadi kampiun perhelatan elite. Semenjak itu, posisi Kabes di sektor sayap tak tergantikan. Ia selalu menjadi pilihan utama pelatih-pelatih yang singgah di tim asal Bumi Cendrawasih.

Uniknya, pencapaian bagus di level klub tak membuatnya intens dipanggil ke Timnas Indonesia. Sempat jadi langganan anggota skuat Tim Merah-Putih U-23 periode 2005-2007, karier pemain kelahiran Jayapura, 13 Mei 1986 tersebut seperti stagnan di level timnas senior.

Ian Kabes sering dipanggil mengikuti seleksi, namun selalu terpental saat fase akhir pelatnas. Hal ini membuat pemain jebolan Diklat Ragunan tersebut frustrasi. Karena merasa tak pernah mendapat kepercayaan sebagai pemain inti, ia kerap indisipliner menolak panggilan pelatnas Timnas Indonesia. Kariernya di Tim Garuda pun kian tenggelam.

Ketika pelatih Persipura, Jacksen F. Tiago, dipercaya menjadi caretaker pelatih kepala Timnas Indonesia menggantikan Luis Blanco pada  tahun 2013, Kabes terlihat bersemangat kembali membela negara. Ia tampil di sejumlah laga Kualifikasi Piala Asia 2015.

Namun, di rezim kedua Alfred Riedl, nama Ian Kabes kembali  terpinggirkan. Ia sama sekali tidak dilirik di seleksi Timnas Indonesia  Piala AFF 2014 dan 2016.

Padahal, di klubnya, ia kini berstatus kapten kedua. Pada awal TSC 2016 Tim Mutiara Hitam terlihat oleng kala Kabes dibekap cedera hamstring.

Ketika ia pulih, Persipura terlihat kembali menanjak. Berduet dengan Boaz Solossa di dua sisi sayap ofensif  Persipura, Ian Kabes Kabes jadi pemain yang ditakuti bek-bek lawan.

Dengan potensi yang dimilikinya teramat sayang rasanya bakatnya tak pernah tereksploitasi di Timnas Indonesia. Tapi apa mau dikata, tak semua pesepak bola bisa merasakan keberuntungan membela negara, sekalipun secara kemampuan ia layak.

 

 

 

 

 

 

 

 

Sepak Bola Indonesia

Video Populer

Foto Populer