Bola.com, Jakarta - Prihatin saja tidaklah cukup, karena sudah berulang terjadi, dalam kasus organisasi PSSI yang dalam hitungan hari akan menggelar kongres pemilihan pada 17 Oktober 2016. Gawean yang akan mengantarkan organisasi yang dilahirkan di Yogjakarta itu mempunyai pemimpin baru, menggantikan La Nyalla Mattalitti (Ketua Umum PSSI yang lengser dalam KLB 3 Agustus 2016 lalu karena jadi tersangka tindak pidana korupsi).
Drama (tepatnya dagelan) tarik ulur lokasi kongres pun terjadi, jadi tontonan yang tidak mengasyikkan bagi masyarakat. Komite Eksekutif (Exco) PSSI memutuskan Makassar sebagai lokasi KLB, dan mereka lalu berkirim surat meminta rekomendasi ke Menpora.
Advertisement
Baca Juga
Surat balasan yang diterima justru menyebutkan pemerintah lebih suka Yogjakarta, dengan alasan PSSI lahir di Kota Gudeg itu dan melalui KLB itu organisasi tersebut bisa kembali ke titik nol.
Maka terjadilah saling ngotot antara kedua pihak. PSSI menganggap bahwa pemindahan lokasi kongres melanggar statuta, apalagi sudah mengirim laporan ke AFC dan FIFA. Sebaliknya pemerintah tetap bertahan dengan pilihannya, karena memegang kekuasaan berupa rekomendasi yang akan ditaati pihak kepolisian untuk mengeluarkan izin keramaian.
Kesepakatan antarakedua kubu sempat tercapai pada 12 Oktober 2016, hanya lima hari menjelang gawean akbar itu, ketika Menpora bertemu dengan PSSI dan Ketua Komite Pemilihan PSSI. Kongres Pemilihan PSSI tetap diadakan sesuai jadwal di Jakarta, dengan alasan pemilihan ibu kota negara itu karena dekat dan demi efisiensi.
Ironisnya selang sehari "perdamaian" tersebut mentah lagi. PSSI kembali ngotot menghelat kongres di Makassar. Entah pada akhirnya kongres akan dihelat di mana, namun bumbu-bumbu yang mengiringinya cukup membuat penat pencinta sepak bola Tanah Air.
Menariknya, tarik ulur sepertinya lebih meriah dibanding dengan bursa calon Ketua Umum PSSI yang telah ditetapkan sebanyak 9 orang. Suasana yang kontras dibanding dengan pemilihan Ketua Umum pada 2011, saat situasi memanas dengan adanya Kelompok 78 yang dibekingi oleh pengusaha Arifin Panigoro.
Kelompok itu akhirnya memenangkan pertarungan, dan melahirkan Djohar Arifin Husain sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015, yang kemudian digantikan oleh La Nyalla Mattalitti pada periode selanjutnya.
Maka yang terjadi, masyarakat hanya bisa mengenal seperti apa calon Ketua Umum PSSI periode 2016-2020 lewat berita-berita, yang didominasi oleh Moeldoko dan Edy Rahmayadi dan siaran live streaming acara Debat Ketua Umum PSSI beberapa waktu lalu.
Calon nakhoda PSSI lainnya yang diperhitungkan, Erwin Aksa bak tenggelam tanpa suara sejak lolos dari Komite Pemilihan PSSI.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
PSSI Organisasi yang Rapuh
Dagelan demi dagelan yang tersaji dalam dua tahun belakangan ini, tak Cuma soal tarik ulur lokasi KLB, makin menyadarkan kita betapa rapuhnya organisasi itu, baik dari sisi manajemen maupun sumber daya manusianya.
Kita juga melihat betapa noraknya pemerintah melakukan intervensi terhadap sebuah organisasi olahraga, hanya karena memiliki kekuasaan sehingga seenaknya mengartikan perannya sebagai pembina.
Kerapuhan PSSI dan masih gatalnya pemerintah melakukan intervensi, mengulang praktik semasa Orde Lama, menjadi pekerjaanrumah yang utama bagi Ketua Umum PSSI yang baru. Membenahi organisasi, memilih orang-orang yang tepat di bidangnya, dan memperbaiki hubungan dengan pemerintah tanpa harus menunduk-nunduk tapi sejajar.
Pembenahan organisasi, dengan menempatkan orang yang tepat, akan berimbas positif pada pembinaan usia muda, kualitas kompetisi, kepastian bagi pemain, sehatnya keuangan dan membaiknya citra PSSI di mata masyarakat. Itu pun perlu ditambah dengan keberanian membersihkan organisasi dari orang-orang politik.
Politisi yang duduk di kepengurusan PSSI selama ini terbukti kurang memiliki waktu untuk menjalankan perannya. Menjadi anggota Exco PSSI atau di salah satu Komite akhirnya menjadi semacam jabatan prestise saja, atau bagi-bagi kursi.
Dalam kasus lokasi KLB misalnya, anggota Exco PSSI sampai memprotes Plt. Ketua Umum, Hinca Panjaitan yang juga Sekjen Partai Demokrat karena sedang sibuk mengurus Pilkada DKI Jakarta, ketimbang hadir dalam rapat Expo padahal sedang terjadi tarik ulur lokasi kongres itu.
Sudah saatnya pemimpin yang memiliki keberanian bertindak, tapi juga luwes berdiplomasi dengan pemerintah dan luar negeri untuk dapat mengantarkan PSSI menjadi lebih baik.
“Orang bola” memang diperlukan dengan pengalamannya di dunia sepak bola, termasuk pernah duduk di organisasi, tapi itu bukanlah merupakan jaminan keberhasilan menjadi pemimpin PSSI saat ini.
Djohar Arifin misalnya. Ia bukan sembarang “orang bola”, tapi ketika ia menjadi orang nomer satu di PSSI, organisasi itu mengalami dualisme, dan Indonesia mencatat sejarah kelam ketika menelan kekalahan memalukan 0-10 dari Bahrain dalam ajang Pra Piala Dunia 2014.
Pengalaman di dunia sepak bola, dunia usaha, organisasi atau pemerintahan juga tak cukup sebagai modal untuk memimpin PSSI. Dibutuhkan sosok yang care dan tegas, punya waktu penuh untuk menjadi PSSI-1, dan menghidupi organisasi, bukan sebaliknya.
Bukan berarti seorang konglomerat seperti Erwin Aksa tak mampu memimpin PSSI, toh terbukti ia berhasil menjalankan roda bisnis Bosawa Corporation dengan baik, selain kesibukannya di partai politik dengan menjabat di DPP Golkar sebagai Korbid Perdagangan dan Industri. Begitu juga Eddy Rumpoko sebagai Wali Kota Batu dan Edy Rahmayadi sebagai Pangkostrad.
Advertisement
Rela Fokus 100 Persen di Federasi
Namun, dengan berbagai tantangan yang ada, menjadi Ketua Umum PSSI bukanlah pekerjaan sambilan, menyambi di tengah jabatan utama seseorang. Di masa lalu hal itu bisa saja dimengerti karena organisasi PSSI belum berkembang seperti sekarang, tuntutan masyarakat belum menohok deras dan perkembangan persepakbolaan regional belum sepesat saat ini.
Bagi mereka yang saat ini menjadi pejabat pemerintahan atau militer, selain beratnya menyambi juga terganjal oleh aturan yang ada.
Eddy Rumpoko misalnya akan terkena pasal 40 UU No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), yang berbunyi bahwa pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik.
Peraturan itu diperkuat dengan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 800/148/sj 2012 yang berisikan kepala daerah tingkat I dan II, pejabat publik, wakil rakyat, hingga pegawai negeri sipil (PNS), dilarang rangkap jabatan dalam organisasi olahraga, seperti KONI dan PSSI, serta kepengurusan klub sepakbola profesional atau amatir.
Calon lainnya, Edy Rahmayadi yang digadang-gadang sudah mengantongi dukungan mayoritas pemilik suara PSSI juga dapat tersandung UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang menyangkut soal rangkap jabatan. Pasal 47 ayat 1 UU No.34 dengan tegas menyatakan prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Namun UU No.34/2004 masih membolehkan tentara aktif untuk rangkap jabatan, tapi hanya pada 10 lembaga yang tertera dengan jelas pada pasal 47 ayat 2 yang berbunyi:
“Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung."
Kita berharap para calon Ketua Umum PSSI menyadari tantangan berat yang dihadapi saat nantinya memimpin federasi. Untuk bisa mendongkrak prestasi sepak bola Indonesia dan membersihkan PSSI dari permainan kongkalikong diperlukan orang yang fokus mendedikasikan hidupnya buat organisasi.
Tak masalah jika saat ini masih ada di antara calon yang sibuk dengan aktivitas lain. Tapi mereka sudah harus siap melepas itu semua agar persoalan bak benang kusut di PSSI bisa dibenahi. Mau?
Kini semuanya berpulang kepada para pemilik suara yang akan berkongres. Di tengah derasnya ambisi, tawaran jabatan, uang (jika ada) serta berbagai perhitungan lainnya, perlu direnungkan ulang untuk apa berkongres? Apakah sekedar memilih Ketua Umum dan anggota Komite Eksekutif?
Perenungan itu tak perlu di Yogjakarta misalnya jika dimaksudkan agar kembali ke titik nol, karena mengingat makna didirikannya PSSI bisa dilakukan di teras rumah sambil menghisap rokok, ditemani kopi panas.
Syukur masih ada Statuta PSSI di rak buku untuk dibaca ulang mukadimah-nya yang dengan tegas mengatakan bahwa PSSI : “merupakan salah satu Organisasi Perjuangan Bangsa dan Negara yang dilakukan melalui sepak bola.” Ditambah lagika limat lain “Bahwa keberhasilan pembinaan sepak bola diukur dari prestasi yang dicapai, sebab tingginya prestasi sepak bola menimbulkan kebanggaan nasional.”
Para pemegang hak suara, selamat menjalani Kongres Pemilihan PSSI, jangan terus terjebak konflik tak berkesudahan!
* Penulis adalah penyair penggagas acara Sastra Reboan yang juga pemerhati sepak bola Indonesia yang tinggal di Yogjakarta.