Bola.com, Jakarta - Dalam acara Diskusi Bincang Taktik kerja sama Bola.com dengan KickOff! Indonesia pada Rabu (16/11/2016) lalu, Noval Aziz mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan Profil Taktik Timnas Indonesia menuju ke Piala AFF 2016. Adapun profil taktik ini merupakan hasil analisa pertandingan uji coba Boaz Solossa dkk. kontra Malaysia, Vietnam, dan Myanmar.
Gim model Alfred Riedl menggunakan formasi 1-4-4-2 dengan konfigurasi empat bek sejajar dan empat gelandang sejajar (two banks of four) plus dua striker dinamis.
Dari beberapa uji coba, sang arsitek tak pernah mengubah gim model dan formasinya.Kalaupun dilakukan perubahan, lebih pada penyesuaian minor akibat pergantian komposisi pemain.
Advertisement
Baca Juga
Starting eleven pilihan Alfred Riedl mengarah ke Andritany mengawal gawang menopang kuartet Abdulrahman, Fachrudin, Yanto Basna dan Benny Wahyudi.
Sedangkan lini tengah akan diisi oleh Evan Dimas yang kemungkinan berduet bersama Bayu Pradana, dengan alternatif Dedi Kusnandar atau Stefano Lilipaly. Pasca cedera Irfan Bachdim, kapten Boaz Solossa kemungkinan akan berduet dengan Lerby Aliandry.
Komposisi susunan pemain agaknya amat lentur berubah menyesuaikan dengan lawan-lawan yang dihadapi di penyisihan Grup A Piala AFF 2016: Thailand, Filipina, dan Singapura. Namun, game plan yang disiapkan Alfred Riedl agaknya tak akan banyak berubah. Pelatih asal Austria tersebut dikenal sebagai arsitek yang konsisten pada konsep bermain yang ia yakini.
Noval Aziz, memberi sejumlah catatan terhadap game plan Timnas Indonesia yang diracik oleh Alfred Riedl. Apa-apa saja yang jadi pekerjaan rumah yang kudu diperbaiki oleh Tim Garuda agar bisa lolos dari kepungan grup neraka PIala AFF 2016?
Diskoneksi saat Menyerang
1. Dikoneksi saat Menyerang
Saat membangun serangan, timnas berusaha menggunakan duet bek sentral Fachrudin dan Yanto. Keduanya akan melebar untuk menjadikan opsi passing bagi kiper. Bila pergerakan keduanya tidak diikuti, maka Andri akan bermain umpan pendek. Bila striker lawan mengikuti, maka Andri akan memainkan umpan panjang ke depan.
Pada kasus pertama, Fachrudin dan Yanto akan berusaha melakukan build up konstruktif dari lini ke lini. Beberapa persoalan kemudian muncul. Pertama, kedua fullback berdiri sangat dalam, sehingga kuartet bek Timnas Indonesia nyaris berada dalam satu garis sejajar.
Hal ini memudahkan lawan dalam melakukan pressing. Dimana lawan cukup melakukan pergeseran (shifting), membiarkan bek timnas bermain passing horizontal pasif. Menutup kesempatan Tim Merah-Putih untuk progresi ke depan.
Kedua, duet gelandang tengah Tim Garuda suka sekali turun ke bawah untuk menjemput bola. Bahkan mereka sering turun sampai berada di depan striker lawan. Akibatnya Timnas Indonesia membangun serangan di fase pertama dengan tujuh pemain.
Di mana semuanya berada di depan blok pertahanan lawan.Menyisakan hanya empat pemain di depan. Diskoneksi-pun terjadi. Jarak antar lini tengah dan depan begitu menganga.
Pada kasus Andritany melakukan umpan panjang, muncul juga berbagai persoalan. Tampak sekali, tidak ada plan ke mana kiper Persija Jakarta itu harus mengarahkan tendangan gawangnya. Memainkan umpan lambung tidaklah haram.
Akan tetapi harus ada kesepakatan taktikal kemana umpan lambung akan diarahkan. Lalu bagaimana struktur pemposisian pemain untuk menyambut secondball hasil duel bola udara.
Di beberapa uji coba, arah tendangan selalu berubah-ubah. Umumnya ke tengah. Kondisi ini makin diperparah dengan diskoneksi yang terjadi.
Jarak antar lini yang terlalu berjauhan membuat mayoritas second ball dari umpan lambung akan dimenangkan musuh. Hal ini terjadi karena kedua bek sentral yang telah turun dan melebar, tidak cukup cepat untuk mengecil dan naik saat umpan panjang diluncurkan kiper.
Pressing Medium Block
2. Pressing Medium Block
Kekuatan utama Timnas Indonesia adalah pertahanan blok medium yang terorganisir. Blok pertahanan ini memungkinkan penggawa Tim Garuda bisa merebut bola, kemudian melakukan counter attack cepat. Seperti yang terjadi dengan gol Indonesia kontra Vietnam di Stadion My Dinh, Hanoi, pekan lalu.
Kekuatan utama timnas inilah yang perlu diasah. Meski cukup terorganisir, ada beberapa detail pelaksanaan yang harus ditajamkan. Bila tidak, kekuatan timnas ini justru bisa menjadi bumerang.
Isu besar pada pertahanan adalah kedua sayap timnas terlalu berorientasi pada orang (man oriented). Dalam hal ini pada fullback lawan.
Pada banyak momen, Andik atau Zulham sering sudah terlalu dekat ke fullback lawan pada saat bola masih berada di bek sentral lawan. Akibatnya ada gap sangat besar di area halfspace, karena striker, sayap dan salah satu gelandang menjadi berjauhan. Lalu body shape sayap selalu mengarahkan jalur passing ke dalam.
Kompensasi dari situasi ini, gelandang tengah di sisi bola terpaksa harus keluar dari lininya terlalu jauh, demi mencegah lawan melakukan umpan vertikal. Kondisi ini seringkali bisa dimanfaatkan lawan. Situasi ini jamak saat Tim Merah-Putih bersua Vietnam.
Di mana pemain Tim Negeri Paman Ho yang terlibat pada penyerangan sebelah kiri (kanan Indonesia) menjadi mudah memainkan kombinasi up-back-through. Bahkan di uji coba pertama antarkedua negara yang dihelat di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Vietnam memetik dua gol dari situasi ini.
Situasi yang sama juga terjadi di situasi deep defending. Sering tercipta gap besar antara fulback dan centerback. Mungkin saja ini merupakan taktik Riedl yang menginginkan kedua bek tengah fokus melindungi area vital di depan gawang. Hal itu lumrah dan sangat logis.
Hanya saja, gap ini tetap harus diproteksi dengan baik lewat shifting kuartet lini tengah yang lebih cepat.
Lambatnya shitfing empat gelandang Timnas Indonesia menciptakan konsekuensi bahaya lainnya. Di mana area di depan boks menjadi kosong. Situasi yang membuat lawan timnas terlalu sering mendapatkan second ball di area tersebut. Tentu ini akan memaksa timnas terlalu lawan harus bertahan dan sulit melancarkan counter attack andalan.
Intensitas
3. Intensitas
Terlepas dari perdebatan pada gim model Alfred Riedl yang memainkan formasi 1-4-4-2 klasik, saya memberi apresiasi pada ide Alfred Riedl. Sejujurnya performa pemain-pemain di timnas jauh lebih baik ketimbang performa di klub. Zulham Zamrun misalnya mau lakukan perubahan masuk ke tengah saat lawan membangun serangan dari kanan. Sesuatu yang tidak ia lakukan kala memperkuat klub Persib Bandung.
Sayangnya pemain-pemain masih terbiasa dengan pelannya intensitas liga kita. Bukan rahasia lagi, sirkulasi bola di liga kita begitu lambat. Untuk memindahkan bola dari satu bek tengah ke bek tengah lainnya saja membutuhkan waktu yang lama.
Pemain lambat melihat, lambat berpikir dan lambat mengeksekusi. Akibatnya tentu saja pemain yang menggalang pertahanan cukup melakukan perubahan dengan kecepatan minimum saja.
Kegamangan intensitas ini terlihat di level internasional. Tampak timnas belum mampu beradaptasi dengan kecepatan sirkulasi di level ini. Padahal, sejujurnya lawan yang dihadapi selama ini masih dalam level intensitas sedang-sedang saja. Tak yakin bila Timnas Indonesia harus mengadu intensitas kontra Thailand. Negeri Gajah Putih ini boleh tertatih-tatih di Kualifikasi Piala Dunia, tapi dalam keterpurukannya, sebenarnya mereka sedang membiasakan diri bermain di intensitas lebih tinggi.
Noval Aziz
@novalaziz
Peneliti Taktik KickOff! Indonesia dan pemilik situs tigaempattiga.wordpress.com