Bola.com, Jakarta - PSSI resmi berdiri 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Di awal berdirinya organisasi olahraga yang satu ini dijadikan wadah bagi pemuda-pemuda seantero Tanah Air untuk melakukan perlawanan menghadapi penjajah Belanda lewat medium sepak bola.
Tokoh muda, Ir Soeratin Sosrosoegondo, berperan besar di awal masa berdirinya PSSI. Sebagai pemuda yang gemar bermain sepak bola, Soeratin melihat bahwa organisasi sepak bola menjadi medium yang pas untuk mendorong pergerakan Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928. Bal-balan menjadi olahraga yang amat populer saat itu. Banyak pemuda memainkannya.
Soeratin yang dikenal sebagai pribadi yang kritis intens mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan secara rahasia untuk menghindarisergapan Polisi Belanda.
Advertisement
Baca Juga
Sebuah pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya, mencapai kata sepakat perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional.
Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno.
Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.
Endingnya Soeratin beserta sejumlah tokoh muda menggelar pertemuan pada tanggal 19 April 1930.
Pertemuan ini dihadiri wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB - Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM - Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB - Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB - Madioensche Voetbal Bond (Kartodarmoedjo), IVBM - Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB - Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (Pamoedji).
Dari rapat tersebut, mencuat kesepakatan bersama untuk mendirikan PSSI, singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia.
Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada tahun 1930 menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia sekaligus menetapkan Soeratin sebagai ketua umumnya.
Sepanjang 87 tahun berdiri, PSSI mengalami periode pasang surut. Walau sebatas mewadahi olahraga, PSSI menjadi organisasi penting yang kerapkali bersentuhan pemerintah.
Bola.com mencoba merangkum sejumlah peristiwa fenomenal di dunia sepak bola Tanah Air, yang menegaskan hegemoni PSSI. Apa-apa saja?
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kiprah Hindia Belanda di Piala Dunia 1938
1. Kiprah Hindia Belanda di Piala Dunia 1938
Indonesia ikut berpartisipasi di Piala Dunia 1938 Prancis. Keikutsertaan ini menyisakan kontroversi, mengingat kala itu Indonesia masih menjadi negara jajahan Belanda.
Indonesia berlaga di turnamen ini dengan nama Dutch East Indies (Hindia Belanda) setelah lolos dari babak kualifikasi tanpa harus bertanding. Kualifikasi Zona Asia hanya diwakili oleh Indonesia dan Jepang, nama terakhir mengundurkan diri karena sedang berada dalam situasi perang dengan Cina.
Sesuai yang dikutip dari situs stay4liv diceritakan pengiriman kesebelasan Hindia Belanda bukannya tanpa hambatan. NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau Organisasi Sepak Bola Hindia-Belanda di Batavia bersitegang dengan PSSI (Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia) yang telah berdiri 19 April 1930.
PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, ingin pemain mereka yang dikirimkan. NIVU dan PSSI kemudian membuat kesepakatan pada 5 Januari 1937, salah satu butirnya yakni dilakukan pertandingan antara tim bentukan NIVU melawan tim bentukan PSSI sebelum diberangkatkan ke Piala Dunia atau semacam seleksi tim.
Sayang, NIVU melanggar perjanjian dan memberangkatkan tim bentukannya. Konon, NIVU melakukannya karena tak mau kehilangan muka, karena PSSI masa itu memiliki tim yang kuat, termasuk kipernya yaitu R. Maladi.
Soeratin marah besar atas hal ini. PSSI lantas membatalkan secara sepihak perjanjian dengan NIVU saat Kongres PSSI di Solo pada 1938.
Ditangani pelatih Johannes van Mastenbroek, pemain kesebelasan Hindia-Belanda adalah mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda.
Sulit untuk mengetahui secara pasti daftar susunan pemain Hindia-Belanda yang ikut bertanding, mengingat ketika itu Tim Hindia-Belanda hanya melakukan satu kali pertandingan dan juga minimnya pencatatan informasi pada masa itu.
Namun yang resmi tercatat oleh FIFA adalah sebagai berikut: Mo Heng Tan (penjaga gawang), Achmad Nawir (kapten), Hong Djien Tan, Frans Meeng, Tjaak Pattiwael, Hans Taihuttu, Suvarte Soedarmadji, Anwar Sutan, Henk Sommers, Frans Hukon, dan Jack Samuels.
Sementara itu di bangku cadangan pemain-pemain yang ikut ambil bagian antara lain: J. Harting (kiper), Mo Heng Bing, Dorst, Teilherber, G. Faulhaber, R. Telwe, See Han Tan, dan G. Van den Burgh.
Skuat Hindia Belanda berangkat pada tanggal 18 Maret 1938 menggunakan Kapal MS Johan van Oldenbarnevelt dari Tandjong Priok, Batavia menuju Belanda.
Tim Hindia-Belanda pun akhirnya tiba di Pelabuhan Rotterdam setelah terombang-ambing oleh badai petir selama 3 bulan. Untuk memulihkan kondisi fisik dan mental, mereka melakukan beberapa pertandingan uji coba. Surat kabar Sin Po (yang selalu menyebut NIVU sebagai Tim Indonesia) intens melaporkan perjalanan NIVU ke Eropa.
Sin Po edisi 26 Mei 1938 memberitakan van Bommel dari NIVU telah menghadap Menteri Urusan Tanah Jajahan yang akan menerima Tim Indonesia pada 31 Mei.
Sin Po 27 Mei 1938 memberitakan hasil pertandingan Indonesia melawan HBS, skor 2-2. Edisi 28 Mei 1938, dilaporkan bahwa Mo Heng (kiper) cedera sehingga diragukan bisa tampil di Prancis, juga bahwa Tim Indonesia menyaksikan pertandingan Liga Belanda antara Heracles melawan Feyenoord.
Selanjutnya Sin Po 2 Juni 1938 melansir, Indonesia menang atas klub Haarlem dengan skor 5-3. Mereka bermain dengan formasi 2-2-6, sebuah strategi yang berorientasi menyerang.
Strategi inilah yang telah mereka siapkan untuk melawan Hongaria, lawan pertama mereka, yang begitu dijagokan di Piala Dunia 1938. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju Paris dengan kereta api diiringi oleh yel-yel dari sekelompok suporter, antara lain nyanyian “Kora kora, nee” yang mirip dengan nyanyian “Ole, ole, ole” yang populer sekarang ini.
5 Juni 1938, pukul 17.00 waktu setempat, tibalah saatnya pertandingan antara Hongaria dan Hindia-Belanda. Pertandingan berlangsung di Velodrome Municipal di kota Reims, 129 km dari Paris, dihadiri oleh sekitar 9.000 penonton dan wartawan dari 27 negara berbeda.
Sebelum kick-off, para pemain Hindia-Belanda lupa melakukan kegiatan ritual mereka, seperti Mo sang kiper yang lupa menepuk-nepuk kedua tiang gawang, dan si gelandang kidal “Boedie,” yang melupakan kebiasaannya membulat-bulatkan rumput lapangan dengan jarinya terus menerus sampai berair, dan menghirupnya.
Mereka pun bermain dengan formasi menyerang 2-2-6, namun tak bisa berbuat banyak. Baru 13 menit permainan berjalan, gawang Mo Heng sudah berhasil dibobol penyerang Hongaria Vilmos Kohut. Disusul gol-gol lainnya di menit 15, 28, dan 35.
Babak pertama berakhir 4-0, namun dua gol lagi berhasil disarangkan pemain Hongaria ke gawang Hindia-Belanda yang menjadikan skor akhir 6-0. Tim NIVU harus menyudahi petualangan di World Cup lebih dini, karena turnamen akbar garapan FIFA kala itu menggunakan sistem format knock-out.
Advertisement
Sensasi Olimpiade 1956
2. Sensasi Olimpiade 1956
Timnas Indonesia menghebohkan jagat sepak bola internasional di pentas Olimpiade 1956 Melbourne. Skuat Garuda bisa tampil di ajang multievent dunia ini setelah lawan mereka di kualifikasi, Taiwan, mengundurkan diri karena masalah politik.
Keberuntungan Indonesia berlanjut di ronde pertama Olimpiade. Ramang dkk. tidak perlu bertanding karena Vietnam Selatan membatalkan keikutsertaannya.
Secara otomatis, Tim Garuda pun kemudian lolos ke babak perempat-final. Mereka bersua tim kuat Eropa, Uni Soviet.
Timnas Indonesia yang saat itu diracik pelatih asal Polandia, Toni Pogacnik, memboyong banyak pemain muda ke Olimpiade Melbourne.
Mereka antara lain: Maulwi Saelan (PSM Makassar), Tan Liong Houw (Persija Jakarta), Aang Witarsa (Persib Bandung), dan Rusli Ramang (PSM Makassar). Mereka jadi bintang kompetisi perserikatan PSSI kala itu.
Sebelum tampil di Olimpiade, skuat asuhan Toni Pogacnik, sempat melakukan tur ke Eropa Timur, dengan catatan mengesankan.
Dan benar saja para pemain muda penuh semangat secara mengejutkan menyulitkan Uni Soviet. Skor imbang 0-0 tersaji selama 90 menit pertandingan di Stadion Melbourne pada 29 November 1956.
Situs FIFA sempat membuat tulisan soal aksi Ramang, striker Timnas Indonesia pada pertandingan ini. Otoritas tertinggi sepak bola dunia menyebut duel Indonesia vs Uni Soviet sebagai salah satu "salah satu hasil-hasil paling mengejutkan dalam sejarah Olimpiade."
Sayang pada duel ulangan yang digelar sehari setelah pertandingan pertama, Tim Garuda kalah telak 0-4. Namun, hasil ini tak lantas menutup sensasi Tan Ling Houw dkk. di Olimpiade 1956.
Sukses Indonesia sendiri berlanjut dua tahun berselang di ajang Asian Games 1958.
Timnas Indonesia dengan komposisi skuat relatif sama menghajar India 4-1 dan tampil sebagai peringkat ketiga Asian Games 1958, pencapaian yang sampai saat ini belum pernah bisa terulang.
Timnas besutan Pogacnik kembali membuat heboh pada 1959, kala mereka sukses menahan imbang Jerman Timur 2-2 di Jakarta dalam sebuah laga persahabatan.
Hampir Lolos Piala Dunia 1986
3. Hampir Lolos Piala Dunia 1986
Cerita sukses Timnas Indonesia besutan almarhum Sinyo Aliandoe selangkah lagi hampir lolos ke putaran final Piala Dunia 1986 layak untuk dikenang dan disaluti.
Langkah Tim Merah-Putih ke Meksiko dihentikan di fase akhir penyisihan zona Asia melawan Korea Selatan.
Perlu diketahui PSSI membentuk tiga timnas pada medio 1980, karena banyaknya agenda internasional yang harus dihadapi. Ketua Umum PSSI saat itu, Kardono, membentuk timnas dari kompetisi Galatama, Perserikatan, dan ABRI. Timnas dari Galatama turun di ajang bergengsi, yakni Kualifikasi Piala Dunia 1986.
Sementara, itu timnas dari Perserikatan pada waktu yang sama tampil di Pesta Sukan I di Brunei Darussalam.
Sinyo Aliandoe ditunjuk menjadi pelatih timnas untuk Pra Piala Dunia 1986. Indonesia melangkah ke Kualifikasi Piala Dunia 1986 bergabung di 3B AFC Zona B, bersama India, Thailand, dan Bangladesh.
Indonesia memulai pertarungan pada 15 Maret 1985 melawan Thailand dan menang 1-0. Pada laga berikutnya, Bambang Nurdiansyah dkk. mengalahkan Bangladesh 2-0. Indonesia menutup putaran pertama dengan menang atas India 2-1.
Pada putaran kedua, timnas Pra Piala Dunia 1986 yang mayoritas diisi pemain dari klub Galatama hanya ditahan imbang India 1-1. Dua laga lain berhasil dimenangkan, yakni versus Bangladesh (2-1) dan menang 1-0 atas Thailand.
Hasil itu membuat Indonesia maju ke babak kedua sebagai juara grup. Babak kedua Zona B AFC Kualifikasi Piala Dunia 1986 mempertemukan Indonesia dengan Korea Selatan. Indonesia kalah 0-2 pada pertemuan pertama, 21 Juli 1985 di Seoul.
Kemudian pada pertemun 30 Juli 1985, Indonesia kalah 1-4 di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kalah agregat 1-6 membuat Indonesia harus mengubur impian menuju Piala Dunia.
Meski gagal, pencapaian timnas arahan Sinyo Aliandoe jadi salah satu yang terbaik karena nyaris lolos ke Piala Dunia. Sebelum era Sinyo, Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 1938 saat masih bernama Hindia Belanda, dilatih oleh Johannes Christoffel van Mastenbroek.
Pemain-pemain tenar Timnas Indonesia asuhan Sinyo Aliandoe saat itu antara lain:
Kiper: Hermansyah, Donny Latuperissa
Belakang: Ristomoyo, Didik Darmadi, Aun Harhara, Syafrudin Fabanyo, Tonggo Tambunan, Warta Kusuma, Marzuki Nyak Mad.
Tengah: Herry Kiswanto, Dudung Abdullah, Rully Nere, Zulkarnaen Lubis, Ferril Hattu, Elly Idris, Yusuf Bachtiar, Warta Kusuma, Noah Meriem
Depan: Dede Sulaiman, Bambang Nurdiansyah, Wahyo Tanoto, Sain Irmiz, Adolf Kabo
Advertisement
Gelar SEA Games 1987
4. Gelar SEA Games 1987
SEA Games ajang olahraga paling bergengsi di Asia Tenggara. Medali emas di cabang olahraga sepak bola menjadi salah satu yang paling diburu, tidak terkecuali buat Indonesia.
Namun, sejak pesta olahraga multievent ini diselenggarakan dengan nama Peninsular Games pada 1959 hingga berubah menjadi SEA Games pada 1977, Indonesia kesulitan menjadi yang terbaik.
Ironis rasanya karena Indonesia kerap dijuluki Macan Asia, yang seringkali tampil mengejutkan saat berjumpa tim-tim besar dunia.
Penantian panjang Tim Merah-Putih di SEA Games berakhir pada edisi 1987. Bertindak sebagai tuan rumah di Jakarta, Indonesia bertemu Malaysia di pertandingan final.
Di hadapan puluhan ribu pencinta sepak bola nasional yang memenuhi Stadion Utama Senayan (sekarang bernama Stadion Utama Gelora Bung Karno), Timnas Indonesia menggasak Harimau Malaya dengan skor 1-0.
Kemenangan Indonesia ini diraih pada babak perpanjangan waktu karena gol tercipta pada menit ke-91. Adalah striker Ribut Waidi yang mampu menggetarkan Senayan dengan gol tunggal ke gawang Malaysia.
Sukses tim asuhan Bertje Matulapelwa diraih lewat jalan yang berliku. Sang mentor ditugaskan PSSI membentuk timnas pada akhir tahun 1985, dengan target berprestasi di Asian Games 1986 dan SEA Games 1987.
Jelas bukan pekerjaan mudah Bertje, lantaran proyek Garuda 1 selesai dengan cara yang tidak mengenakkan. Timnas gagal di SEA Games 1985 setelah takluk tujuh gol tanpa balas dari Thailand.
Namun, Bertje yang suka tantangan menerima tantangan dari PSSI. Langkah awal yang dilakukannya adalah menyatukan pemain-pemain terbaik kompetisi perserikatan dan galatama, yang saat itu hubungannya kurang harmonis.
Dari perserikatan, mencuat nama Robby Darwis dan Ribut Waidi. Sementara itu, Ricky Yakobi dan Nasrul Koto mewakili galatama. Mereka dikombinasikan dengan Ponirin Meka, Yonas Sawor, Herry Kiswanto, Frans Sintra Huwae, hingga Noah Meriem.
Sang mentor juga menyertakan sejumlah pemain jebolan program Garuda 1. Sebelum terjun ke Asian Games, timnas melakukan latih tanding ke Brasil.
Banyak melakukan uji coba internasional berkelas Timnas Indonesia sukses menembus semifinal Asian Games. Langkah Tim Garuda ke final terhenti setelah digasak tim kuat, Korea Selatan 0-4.
Gelar juara SEA Games 1987 menjadi pengobat luka sekaligus mempertegas dominasi Timnas Indonesia di persaingan elite Asia Tenggara.
Emas SEA Games 1991
5. Emas SEA Games 1991
Pertandingan final SEA Games 1991 Manila juga pantas masuk dalam daftar momen paling dikenang Timnas Indonesia. Selain tentu keberhasilan meraih medali emas, cerita mengenai persiapan timnas untuk ajang itu layak untuk dikenang.
Aktor utama timnas di SEA Games 1991 bukan saja para pemain. Sosok sentral yang tidak bisa dilupakan adalah pelatih kepala timnas ketika itu, Anatoly Polosin.
Dengan metode latihan fisik yang superkeras, para pemain ditempa dengan menu berat.
Pemandangan para pemain muntah-muntah usai menjalani latihan keras dari Polosin sudah menjadi pemandangan biasa.
"Kami tiga kali sehari latihan, dengan porsi utama penguatan fisik. Hampir tiap hari para pemain dipaksa naik turun gunung," ujar Sudirman, salah satu pilar Timnas Indonesia di SEA Games 1991.
Tetapi, hasilnya memang bisa dilihat secara kasat mata.
Bertanding mulai penyisihan grup, Indonesia menyapu bersih tiga kemenangan. Tiga poin dipetik atas Malaysia dengan skor 2-0, Vietnam (1-0), dan Filipina (2-1). Di semifinal, daya tahan fisik dan konsentrasi pemain hasil tempaan superkeras mulai terlihat.
Dalam pertandingan semifinal Indonesia mampu menang dalam adu penalti melawan Singapura. Sebelumnya di waktu normal, Indonesia dan Singapura berbagi skor 0-0. Puncaknya, di final Indonesia kembali bermain hingga adu penalti melawan Thailand.
Dengan kekuatan fisik yang memadai, konsentrasi pemain masih terjaga. Hasilnya, Indonesia mampu menang adu penalti atas Thailand dengan skor 4-3 di Stadion Rizal Memorial, Manila, 4 Desember 1991.
Starter timnas Indonesia yang bermain di final melawan Thailand kala itu kiper ditempati Eddy Harto, kemudian lima pemain belakang diisi Salahuddin, Heriansyah, Robby Darwis, Ferryl Raymond Hattu, dan Herrie Setiawan.
Sedangkan tiga gelandang yang dipasang Polosin adalah Toyo Haryono, Maman Suryaman, Yusuf Ekodono. Duet striker dipercayakan kepada Widodo Cahyono Putro dan Peri Sandria.
Advertisement