Bola.com, Jakarta - Pada 18 Oktober 1997 di Stadion Utama Senayan, Timnas Indonesia kembali terlibat duel sengit penuh drama melawan Thailand dalam final SEA Games ke-11. Partai ini merupakan duel kedua bagi Indonesia dan Thailand pada laga final, setelah sebelumnya terjadi pada tahun 1991 di Manila.
Indonesia dan Thailand memang sedang menjadi raja Asia Tenggara pada era itu. Kedua tim lolos ke semifinal dengan status juara grup tanpa menelan kekalahan. Indonesia jadi tim yang paling produktif dengan mencetak 13 gol, sementara hanya kebobolan sekali dan mencetak 11 gol.
Advertisement
Baca Juga
Pertarungan edisi 1997 hampir mirip dengan 1991. Kedua tim imbang dengan skor 1-1 hingga 120 menit. Pada edisi kali ini, Indonesia tertunduk lesu setelah kalah lewat adu penalti. Dua eksekusi penalti dari Ronny Wabia dan Uston Nawawi yang melambung tipis di atas mistar, membuat Indonesia harus rela menyerahkan medali emas kepada Thailand yang menang 5-3.
Pada babak final, Stadion Utama Senayan dipenuhi 110 ribu penonton. Penonton bertindak brutal dengan melempar aneka benda dan membakar bangku kayu pada saat jeda. Akibat kerusuhan ini, pertandingan babak kedua sempat terhenti selama satu jam.
Seperti dilaporkan Harian Kompas edisi 19 Oktober 1997, seusai kalah lewat adu penalti, Ronny Wabia menangis. Ia juga dipapah rekan-rekannya karena tak sanggup berjalan keluar lapangan. Sang pelatih, Henk Wullems, mencoba menghibur anak buahnya.
Henk mengakui Indonesia tak mempersiapkan diri menghadapi babak adu penalti. "Lagipula, dalam adu tendangan penalti, faktor yang paling penting adalah mental dan kesiapan pemain untuk mengeksekusi. Kalau mereka bagus dalam latihan, tetapi tidak siap, hal itu juga tidak mungkin," ujar Henk Wullems.
Pelatih asal Belanda itu juga menceritakan, dalam penunjukan lima eksekutor penalti, ia hanya menunjuk pemain-pemain yang siap. Ketika ditanya, hanya empat pemain yang menyatakan siap, yakni, Aji Santoso, Fachry Husaini, Ronny Wabia, dan Ansyari Lubis. Uston belum sempat ditanya namun menyatakan siap.
Menurut Henk, masih dikutip dari Harian Kompas, pemain Indonesia memikul beban yang berat untuk menjadi pemenang. Apalagi, pada SEA Games ke-19 itu, Indonesia menjadi juara umum. Publik merasa status juara tak lengkap tanpa medali emas sepak bola.
"Saat bertemu Thailand di final kami masih merasa yakin dapat menang, apalagi perjalanan dari babak penyisihan mulus. Tapi mungkin Thailand bisa membaca permainan kami dan mereka bermain dengan pola bertahan sampai akhirnya adu penalti dan kami kalah," kenang bek Robby Darwis membuka kenangan 20 tahun yang lalu kepada Bola.com, Senin (7/8/2017).
Perjalanan Timnas Indonesia pada SEA Games 1997:
Babak penyisihan Grup A:
Indonesia Vs Laos 5-2
Indonesia Vs Vietnam 2-2
Indonesia Vs Malaysia 4-0
Indonesia Vs Filipina 2-0
Semifinal
Indonesia Vs Singapura 2-1
Final
Thailand Vs Indonesia 4-2 (1-1)
Daftar pemain Indonesia:
Kurnia Sandi; Anang Maruf/Uston Nawawi, Aji Santoso, Khairil Anwar,
Nuralim/Aples Tecuari, Sugiantoro, Ansyari Lubis, Bima Sakti,
Fachri Husaini, Widodo C. Putra/Ronny Wabia, Kurniawan Dwi Yulianto.
Timnas Indonesia pada SEA Games 1997 terkenal dengan jersey motif laba-laba. Sang pelatih juga berani mendobrak tradisi. Seperti apa ceritanya? Simak di halaman kedua.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Jersey Spiderman dan Mendobrak Tradisi
Timnas Indonesia pada SEA Games 1997 adalah salah satu skuat yang paling mudah diingat. Tak lain karena penampilan mereka dengan jersey bermotif laba-laba.
Memakai jersey bermotif laba-laba sesuai dengan gaya permainan mereka, atraktif, impresif, dan penuh perjuangan. Tak heran Indonesia mampu jadi tim yang paling produktif sejak babak penyisihan.
Skuat Timnas Indonesia pada SEA Games 1997 adalah perpaduan pemain senior dan junior. Deretan pemain senior seperti Robby Darwis dan Fachri Husaini, lalu beberapa pemain yang tampil di Piala Asia 1996, seperti Widodo C. Putro, Ronny Wabia, Aji Santoso, dan Kurnia Sandy.
Henk Wullems, yang pada saat itu berusia 58 tahun, membentuk skuat untuk SEA Games setelah gagal mengantarkan Indonesia lolos ke Piala Dunia 1998. Dalam membentuk tim, Henk Wullems juga melewati perjuangan berliku. Saat ditunjuk menggantikan Danurwindo, Henk dengan tegas bersikap tak mau diintervensi oleh PSSI soal penunjukkan pemain.
Untuk SEA Games, Henk memanggil dua pemain senior, Fachri Husaini dan Robby Darwis, yang memang langganan tim nasional, namun terdepak karena dinilai terlalu berani buka suara kepada pelatih dan pengurus PSSI. Namun Henk tak peduli.
Henk juga tidak terlalu 'galak' kepada pemain. Ia bisa memberikan toleransi sesuai dengan kondisi tertentu. Seperti dikutip dari Harian Kompas edisi 24 Oktober 1997, Henk menerima ketika pemain minta latihan pukul 07.00 pagi dan tidak pukul 11.00 seperti keinginannya. "Saya mengerti, pukul 07.00, udaranya tidak sepanas pukul 11.00," katanya.
Henk juga belajar memahami kultur masyarakat Indonesia dengan membaca literatur. Sebuah rumus wajib bagi Henk adalah ia mustahil bisa melatih Indonesia apabila tak memahami budaya.
Setelah melewati proses seleksi, Timnas Indonesia menjalani tiga uji coba internasional menjelang SEA Games. Dalam tiga uji coba, Indonesia mengalahkan Tanzania 3-1, menekuk Selandia Baru 5-0, dan kalah 2-3 dari tim pemain asing yang ada di Indonesia.
Robby Darwis menceritakan kenangannya pada SEA Games terakhir yang ia ikuti. "SEA Games 1997 menyedihkan bagi saya karena gagal meraih emas di kandang sendiri," kenang Robby.
Robby jadi pemain yang paling kenyang pengalaman dalam skuat itu. Sepanjang berkarier sebagai pemain timnas, ia telah meraih dua medali emas, yakni pada SEA Games 1987 dan 1991, serta dua perunggu pada 1989 dan 1993.
Tahun 1997 merupakan akhir bagi Robby Darwis dalam membela timnas di SEA Games. Pada saat itu, pemain asal Lembang, Kabupaten Bandung Barat, jadi salah satu pemain paling senior dengan usia 33 tahun.
Cerita kentut si Jabrik dari dapur pelatnas Timnas Indonesia. Apa itu? Buka halaman berikutnya.
Advertisement
Suara Kentut dari Dapur Pelatnas
Persiapan Timnas Indonesia untuk SEA Games 1997 di bawah asuhan Henk Wullems hanya sekitar dua bulan lebih. Henk menggelar pemusatan latihan di berbagai daerah, seperti Bandung, Depok, Malang, dan Surabaya.
"Tapi dengan waktu dua bulan lebih itu Henk Wullems mampu menyatukan pemain yang senior dan junior sehingga kami sangat cepat kompak dan solid. Selama TC dalam satu kamar itu berisikan pemain senior dan junior, itu sengaja dilakukan pelatih agar pemain muda tidak canggung. Makan pun harus bersama, jam tidur pun sama," ucap Robby Darwis.
Tak hanya itu, penerapan program latihan yang dilakukan Henk Wullems tidak membosankan sehingga pemain nyaman dan bisa berimprovisasi di lapangan.
"Pelatih Wullems bagus. Dia menerapkan permainan terbuka, cepat, dan fisik kami saat itu kuat. Sayangnya pada final gagal dan saya pikir kemenangan Thailand saat itu faktor keberuntungan saja karena secara permainan kami unggul," ucap Robby.
Junior Robby, Sugiantoro, membuka kenangan-kenangan kocak dari dapur timnas SEA Games 1997.
"Coach Henk Wullems kerap bercanda ketika pemain mengira dia serius dan itu terjadi berkali-kali. Yang lebih membuatnya lucu, cara dia melafalkan kata dan gaya bicaranya. Apalagi, dia tidak sepenuhnya menguasai bahasa Indonesia sehingga terdengar aneh di telinga semua pemain," kata Sugiantoro.
Suasana di pelatnas juga tidak terlalu kaku, kecuali ada acara resmi dari KONI. Bejo, panggilan akrab Sugiantoro, menceritakan kentut di depan publik jadi hal biasa dan tak canggung bagi pemain.
"Bang Nur Alim pemain paling lucu. Dia pemain paling kocak sekaligus jorok. Aksi-aksi dan perilakunya kerap membuat kami semua di timnas saat itu tak bisa menahan tawa. Lucu sekaligus joroknya itu suka kentut sembarangan. Kadang saat kami sedang enak-enak kumpul briefing, tiba-tiba dia kentut. Ketika latihan lari-lari dia juga suka kentut," Bejo menambahkan sambil tertawa.
Suara kentut Nur Alim juga terdengar sampai di telinga pelatih kepala. "Nah, yang paling parah, bukan hanya sesama pemain yang kena kentut Nur Alim, tapi juga coach Wullems. Maklum, mereka sangat dekat karena keduanya pernah sama-sama di Bandung Raya," ia menambahkan.
Sesederhana itulah gambaran Timnas Indonesia pada SEA Games 1997. Henk Wullems pun memasang badan atas kritik yang dilontarkan kepada skuatnya setelah gagal meraih medali emas. Kalimat saktinya adalah "Bagus katakan bagus, jelek katakan jelek,"
Ucapan Henk membela para pemain bukan tanpa alasan karena Timnas Indonesia memang tampil lebih atraktif pada final dan kalah karena tidak beruntung.
Sugiantoro Menulis: Medali Emas Lewat, Mobil Mewah pun Kandas
"SEA Games 1997 mengingatkan saya pada momen paling berkesan ketika dipercaya untuk kali pertama mengganti posisi yang menjadi langganan Robby Darwis. Bagi saya, itu sangat luar biasa karena Robby adalah salah satu pemain bintang pada era itu."
"SEA Games 1997 juga mengingatkan saya pada mars KONI. Hampir setiap saat lagu itu terdengar di telinga kami. Apalagi kalau Pak Wismoyo (Ketua KONI Pusat, Wismoyo Arismunandar) datang, lagunya pasti itu yang diputar. Sangat kaku memang pada masa itu, jadi nyaris kami tidak punya lagu di luar itu untuk dikenang."
"Kami menerima uang saku seminggu Rp 1.250.000. Pada era itu, uang sebesar itu sudah cukup besar, meski masih kalah jika dibanding gaji dan bonus di klub."
"Timnas Indonesia pada era itu berkiblat pada Italia. Maklum tahun 1990-an. Apalagi Ketua Badan Tim Nasional (BTN) dipegang Pak Nirwan (Nirwan Dermawan Bakrie). Ini ada kaitannya dengan materi pemain yang juga yang diisi oleh banyak jebolan Primavera dan Timnas Baretti. Kedua proyek mercusuar itu kan berguru di Italia yang saat itu menjadi kiblat sepak bola dunia."
"Selain saya, jebolan Primavera yang saya ingat adalah Anang Ma’ruf, Kuniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Kurnia Sandi. Juga ada Uston Nawawi dari Baretti."
"Hal yang membuat tim 1997 spesial adalah kekompakan kami. Pemain senior maupun junior tidak ada sekat pemisah. Yang senior melindungi dan membimbing junior, yang junior menghormati para seniornya. Suasana tim sangat kondusif, hal ini berimbas pada permainan kami di lapangan."
"Saat itu hubungan antara pemain senior macam Ronny Wabia, Aji Santoso, Ansyari Lubis, Widodo C. Putro, dan Fachry Husaini sangat baik dan dekat dengan pemain junior seperti saya, Anang, Uston dan pemain muda lainnya. Mereka sering memberi masukan pada kami yang muda-muda. Jadi sangat menyenangkan berada di Timnas SEA Games saat itu."
"Kalah pada final dan gagal memberikan medali bagi Indonesia sangat menyedihkan. Saya dan teman-teman menyesal karena kepahitan justru kami rasakan ketika gelar sudah di depan mata."
"Duel sangat ketat, karena komposisi pemain Thailand dan Indonesia sama bagusnya. Timnas Indonesia dan Thailand sama-sama difavoritkan bertemu di final dan itu menjadi kenyataan."
"Ada pengurus yang marah karena kami gagal ketika menjadi tuan rumah. Uang bonus ke final yang dijanjikan tidak cair, mobil mewah yang dijanjikan ketika kami memastikan langkah ke final juga tidak terealisasi."
Sugiantoro, Surabaya, 7 Agustus 2017
Advertisement