Bola.com, Jakarta - Hari ini, Kamis, 17 Agustus 2017, pukul 19.45 WIB, saya menikmati layar kaca, menonton pertandingan Timnas Indonesia U-22 melawan Filipina, pada babak penyisihan Grup B SEA Games 2017 di Stadion Shah Alam, Selangor, Malaysia.
Berdasarkan tanggal dan jam pertandingan, duel ini sangat spesial karena digelar pada 17 Agustus pukul 19.45 WIB, yang bila diurutkan tepat pada hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada fakta menarik ketika saya menelusuri jejak pertandingan yang melibatkan pemain Indonesia pada era kolonial Belanda. Sebuah rangkuman pertandingan sepak bola pada 17 Agustus, 87 tahun yang lalu, mencatatkan satu nama, Hok Gie, sebagai pemain asal Surabaya yang memperkuat tim Hindia Belanda.
Advertisement
Baca Juga
Pertandingan yang digelar pada 17 Agustus 1930 di Batavia (Jakarta) itu dalam rangka tur klub baru yang bermarkas di Shanghai, Loh Hwa, ke Medan, Jakarta, dan Surabaya.
Pertandingan itu menjadi duel pertama pemain sepak bola Indonesia yang digelar pada tanggal 17 Agustus. Berdasarkan data Sport Soccer Statistics Foundation yang dirangkum Karel Stokkermans, sejak 1919 hingga sekarang, ada lima pertandingan Timnas Indonesia yang digelar tepat pada HUT Kemerdekaan RI.
Hok Gie tergabung dalam tim Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) XI, bersama Denkelaar, Van Donk, dan Lasso dari Batavia, Van der Putten (Bandoeng), Jahn (Soerabaja); Ali (Semarang), Giesel (Bandoeng), De Raadt (Soerabaja), Van Coevorden (Bandoeng), dan Bakhuys (Soerabaja). Nama terakhir dikenal dengan Bep Bakhuys, pemain kelahiran Pekalongan yang tercatat sebagai anggota skuat Timnas Belanda pada 1928-1937.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie mencatat Hok Gie sebagai pemain Soerabaja Bondselftal (SVB), bonden atau klub yang berdiri pada tahun 1910 dan berafiliasi ke NIVB, organisasi sepak bola yang dibentuk Belanda. Pemainnya didominasi orang-orang Belanda yang ada di Surabaya.
Kota Surabaya pada tahun 1930-an dikenal paling 'damai' dalam ranah sepak bola alias belum ada pergolakan. Soerabhaiasche Indonesische Bond Voetbal (SIBV), yang didirikan M Pamoedji pada 1927, berupaya menyediakan akses bagi bond-bond anggota SIVB terhadap sepak bola, bukan untuk melawan hegemoni. Antara SVB (bonden Surabaya) dan SIVB bentukan NIVB berhubungan baik dan sering menggelar laga uji coba.
Namun, seperti yang dilaporkan De Indische Courant edisi 12 Mei 1932 yang dituangkan dalam "Dr. Radjamin Nasution: Walikota Pertama Surabaya, Pemain Sepakbola Top", karya Akhir Matua Harahap, terjadi kerusuhan di lapangan sepak bola yang diduga berbau rasial. Pada waktu itu, akan digelar pertandingan klub Tionghoa melawan tim nasionalis pribumi di Surabaya. Desas-desus diciptakan untuk memanaskan situasi kota.
Isu rasial itu disebarkan melalui buletin-buletin. Dalam hal ini Belanda tahu benar bahwa secara antropologi, orang Indonesia memiliki keragaman suku dan ras, sehingga politik adu domba atau devide et impera berjalan mulus.
Cerita itu hanya episode kecil dari perjalanan panjang sepak bola Indonesia hingga lahirnya PSSI dan era Timnas Indonesia masa kini yang masih mengejar prestasi hingga kini.
Berlanjut ke halaman berikutnya tentang kisah pelatih Kompeni, Tionghoa, dan Rusia
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Timnas Indonesia (Priboemi): Dilatih Kompeni, Tionghoa, dan Rusia
Sekitar dua pekan yang lalu, saya bersama tim Bola.com mengunjungi beberapa mantan pemain Timnas Indonesia yang meraih medali emas dan perak pada ajang SEA Games, yakni pada edisi 1979, 1987, 1991, dan 1997. Pada era itu belum ada yang namanya naturalisasi. Jadi, Timnas Indonesia 100 persen dihuni 'pribumi'.
Saya bertemu Dede Sulaiman, pemain Indonesia Muda peraih gelar top scorer Galatama 1982-83. Timnas SEA Games 1979 dilatih Wiel Coerver, sosok yang dikenal sebagai Albert Einstein-nya sepak bola. Coerver didampingi Harry Tjong, pelatih berdarah Tionghoa.
"Zaman dulu itu nasionalisme di atas segalanya, cukup memakai seragam timnas," kata Dede.
Dari pembicaraan itu, saya menyimpulkan, skuat SEA Games 1979 mendapatkan gemblengan sempurna yang dibalut ilmu sepak bola dari Belanda dan karakter pekerja keras dari Tiongkok.
Setelah bertemu Dede, saya mengunjungi Patar Tambunan di kawasan Bintaro, dua hari kemudian. Patar adalah skuat timnas pada SEA Games 1987 yang meraih medali emas. Menurut Patar, skuat 1987 adalah salah satu timnas terbaik, penuh determinasi, dan memiliki pemain-pemain kreatif.
"Era 1987 banyak gelandang bagus karena kami dilatih secara terus menerus dengan bola," kata Patar.
Bertje Matulapelwa, seorang pendeta, memoles skuat Garuda hingga menembus partai puncak. Pada final melawan Malaysia di Senayan, Indonesia menang 1-0 berkat gol Ribut Waidi pada injury time.
Bicara soal Ribut, saya jadi teringat sosoknya yang ceplas-ceplos. Saya mengenal almarhum Ribut Waidi saat masih bekerja di Semarang, tujuh tahun yang lalu. Biasanya, saya bertemu Pak Ribut ketika mantan pemain PSIS bereuni. Satu minggu sebelum beliau wafat, saya sempat mewawancarainya di Lapangan Sidodadi.
Beliau bercerita, Timnas Indonesia 1987 adalah mimpi pemain ndeso yang terwujud. "Saya sama Budi (Budi Wahyono), terlihat paling ndeso, karena yang lain banyak dari Jakarta, tapi begitu di depan pelatih, semuanya sama," kata Pak Ribut pada 2011.
Pada SEA Games 1991, giliran pelatih asal Rusia, Anatoli Polosin, yang mengantarkan Indonesia meraih medali emas. Pada saat itu, metode latihan timnas mengacu pada Red Star Belgrade, klub Serbia yang mengawinkan gelar Liga Champions dan Intercontinental Cup 1991.
Anatoli, berdasarkan cerita Sudirman (pemain Timnas Indonesia pada SEA Games 1991), tak sanggup melihat proses adu penalti melawan Thailand di Stadion Rizal Memorial, Manila. Begitu Indonesia menang, ia baru memeluk satu persatu anak buahnya yang berlinang air mata.
Di kantor redaksi Bola.com pada 10 Agustus lalu, Sudirman meneteskan air mata mengenang momen itu.
Advertisement
Seperti Soe Hok Gie..
Kamis, 17 Agustus 2017, ada tiga peristiwa yang pasti saya nikmati melalui layar kaca dan media sosial. Dari layar kaca, saya ingin melihat Timnas Indonesia menang atas Filipina. Dari timeline Twitter, saya ingin melihat #TimnasDay jadi trending topic.
Soal hasil, memang masih harap-harap cemas karena Filipina juga tim yang tak bisa dipandang remeh. Tapi, saya selalu bisa memaafkan timnas ketika mereka kalah dan gagal karena timnas bagi saya istimewa.
Istimewa karena 26 pemain yang mengikuti pemusatan latihan sebelum ke SEA Games, benar-benar mewakili wajah Indonesia. Contohnya, ada Miftahul Hamdi dan Marinus Wanewar yang mewakili 6.944 kilometer jarak tempuh perjalanan darat dan laut dari Banda Aceh ke Jayapura.
Satu hal lagi yang ingin saya nikmati pada HUT Republik Indonesia ke-72 ini adalah euforia suporter Timnas Indonesia. Seperti diketahui, pada laga melawan Thailand (15/8/2017), ada sekitar empat ribu WNI yang menjadi pembeda di Stadion Shah Alam.
Seorang kawan yang bekerja di Kuala Lumpur dari komunitas suporter One Soul One Nation, Tomi, menceritakan, menjelang SEA Games 2017, WNI pecinta sepak bola di Malaysia 'membentuk' Aliansi Suporter Indonesia. Aliansi ini untuk mendukung perjuangan Evan Dimas dkk.
"Semuanya pekerja Indonesia di Malaysia, maka kemarin banyak yang minta izin untuk menonton timnas," kata Tomi yang juga pendukung Arema.
Di tempat terpisah, Ketua Bonek Malaysia, Aditia Dulo, juga menyebut nama Aliansi Suporter Indonesia. "Walaupun hari kerja, kami rela untuk mendukung timnas dengan risiko potong gaji," ujarnya.
Tomi, Aditia, dan teman-teman suporter lain di Malaysia pada hari ini lupa akan perbedaan mereka. Padahal, di Indonesia sampai saat ini belum ada ikrar damai antara Bonek dan Aremania.
Yang pasti, saat menonton timnas, para suporter juga malas membahas riak-riak kecil di Tanah Air yang sampai saat ini masih terus mengalir, bahkan mungkin bisa terus membesar sampai setelah Pemilu Presiden 2019.
"Bagi penyuka bola, apalagi yang bisa mempersatukan bangsa ini selain timnas?"
Seperti Soe Hok Gie (1942-1969) yang naik gunung saat terjadi polarisasi politik di negeri ini, fans timnas di Malaysia, atau suporter layar kaca, bakal menikmati pertandingan untuk mengalihkan perdebatan yang memecah belah.
Horeee, Timnas Indonesia bertanding lagi..