Bola.com, Jakarta - Rumah-rumah yang terletak di Tulehu, Maluku Tengah, terlihat bercahaya sejak pukul tujuh malam. Lampu-lampu menerangi rumah dan jalanan, menggantikan matahari yang baru saja singgah ke peraduan. Kerlap-kerlip lampu yang berbaur dengan warna-warni cat rumah menambah kemolekan di kampung sepak bola itu.
Advertisement
Baca Juga
Di tepi Pantai Tial, sejumlah remaja yang baru selesai bermain sepak bola, mulai kembali ke rumah masing-masing. Wajah mereka letih, tetapi terlihat gembira, setelah beradu rebut si kulit bundar. Bagi mereka, sepak bola adalah segalanya, meski hanya dimainkan dengan penuh keterbatasan.
Meski dikenal sebagai daerah penghasil bibit-bibit sepak bola berbakat bagi Indonesia, Tulehu memang masih jauh dari layak jika bicara soal fasilitas dan infrastruktur sepak bola. Bahkan, untuk membeli sepatu bola saja, orang tua anak-anak Tulehu lebih sering mengelus-elus dada karena terbentur faktor ekonomi demi menghidupi keluarga.
Setidaknya, kondisi itulah yang dialami keluarga Alghy Fariz Nahumarury (13 tahun). Alghy merupakan gambaran satu di antara banyaknya anak Tulehu yang sedang berjuang demi mewujudkan cita-cita menjadi pesepak bola profesional. Ia sudah menunjukkan ketertarikan besar terhadap sepak bola sejak usia satu tahun.
"Dari masih kecil, kalau dia (Alghy) melihat bola, pasti dikejar-kejar, kemudian ditendang," ujar Nurlaila Umarella, ibunda Alghy.
Beranjak remaja, dengan dukungan orang tua, Alghy giat mengembangkan bakatnya bermain sepak bola. Pada 2013, ia bergabung dengan Sekolah Sepak Bola (SBB) Tulehu Putra. Di SSB itu, Alghy menjadi salah satu talenta berbakat.
Hanya saja, terselip anomali di balik mimpi besar Alghy menjadi pemain profesional. Kembang-kempisnya perekonomian keluarga membuat Alghy belum memiliki sepatu bola sendiri hingga sekarang. Sepatu bola merah muda yang sering dikenakannya untuk berlatih merupakan pinjaman dari SBB Tulehu Putra.
"Alghy pernah meminta kepada kami agar dibelikan sepatu bola untuk latihan dan bermain. Namun karena belum ada uang, kami belum bisa membelikannya sekarang," kata Nurlaila. Dalam kesehariannya, Nurlaila bekerja sebagai penjual minuman ringan, sedangkan sang suami berprofesi sebagai tukang ojek.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Jualan Minuman
Masalah perekonomian keluarga tidak membuat Alghy patah arang. Justru ia mencari cara agar keinginannya membeli sepatu pertamanya tercapai. Peluh keringat Alghy pun tidak hanya dihabiskan di lapangan, tetapi juga dalam aktivitas kesehariannya dengan membantu berjualan minuman ringan di depan rumah.
"Ibu suka memberi uang setelah saya membantunya berjualan. Uang pemberian itu saya tabungkan sedikit demi sedikit agar nanti dapat membeli sepatu bola," kata Alghy.
Setiap hari, Alghy menyempatkan diri membantu orang tuanya berjualan, sebelum berangkat berlatih sepak bola menjelang sore. Siswa Kelas VIII Mts 3 Maluku Tengah itu berharap kerja kerasnya berbuah manis, setidaknya untuk membeli sepatu bola yang sudah lama ia impikan, tanpa membebani orang tua.
"Orang tua kami bekerja sangat keras untuk menafkahi kami dan mewujudkan impianku karena sepak bola adalah satu-satunya kesempatan bagi orang desa ini mendapatkan kehidupan lebih baik," tuturnya.
Dari harapan mendapatkan kehidupan lebih baik itu pula, Alghy akan mengusung semangat besar saat mengikuti Liga Remaja UC News, yang digagas anak perusahaan Alibaba Group, UC. Melalui turnamen itu, ia pun berkesempatan membesarkan asa menjadi pemain profesional, seperti para bintang serta legenda yang lebih dulu meneruskan kilau tradisi Kampung Tulehu dalam dunia persepakbolaan Indonesia.
Baca artikel sebelumnya:
Sani Tawainella, Antara Sepak Bola dan Makna Kehidupan Tulehu
Advertisement