Bola.com, Ngawi - Jika menyebut nama Persebaya di depan Lulut Kistono, asisten pelatih Persinga Ngawi, ekspresi wajahnya pasti berubah. Kalimat yang keluar dari bibirnya juga penuh nada kekecewaan.
Maklum asisten pelatih Persinga Ngawi ini punya kenangan indah sekaligus pahit selama berjuang demi membangkitkan Persebaya saat klub berjulukan Bajul Ijo ini dibekukan PSSI pada 2015-2016.
Advertisement
"Niat dan tekad kami saat itu hanya satu: bagaimana Persebaya tidak mati suri, meski ada Persebaya lain yang diakui PSSI. Kami yakin Persebaya kami yang sebenarnya sah dan didukung klub anggota dan ribuan Bonek," kata Lulut.
Perjuangan panjang tanpa lelah dan penuh rintangan, akhirnya membuahkan hasil dengan dicabutnya sanksi Persebaya oleh PSSI. Bajul Ijo pun secara resmi bisa ikut kompetisi Liga 2 pada 2017.
Lulut Kistono tak merasa sebagai pahlawan. Dia menyebut peran pemain senior Mat Halil dkk., manajer tim Khusnul Farid dan Cholid Goromah, serta dukungan Bonek jadi motor kebangkitan Persebaya.
"Selama dua tahun itu, Persebaya bak klub tarkam. Kami main jika diundang klub kota lain, seperti ke Banyuwangi, Probolinggo, Bojonegoro, dan Tuban. Kami dapat uang lelah dari match fee pertandingan yang diberikan tuan rumah," ungkap Lulut.
Tetapi, panpel setempat rata-rata meraup untung karena Bonek selalu hadir di mana pun Persebaya berlaga.
"Habis main, kami biasanya menerima honor Rp750 ribu sampai Rp1 juta. Tapi sebelumnya, kami potong sisa match fee untuk kebutuhan latihan atau makan pemain," kenang Lulut.
Saat menerima undangan bertanding, biasanya dua minggu sebelumnya pemain latihan bersama. "Kami selalu serius menghadapi tiap pertandingan karena kami membawa nama Persebaya, kami tak boleh mencemarkan nama Persebaya. Apalagi kami ingin memperbaiki citra klub ini," tuturnya.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Minta Cerai
Pengorbanan Lulut Kistono terhadap Persebaya tak berjalan mulus Karena dia mendapat protes dari sang istri, Dami Hartatik. Sebagai ibu rumah tangga, wajar meminta uang belanja kepada suami.
"Selama dua tahun saya jadi pengacara di Persebaya. Pengangguran, tapi banyak acara. Sering latihan, tapi tak dapat gaji. Baru dapat uang kalau Persebaya diundang persahabatan. Makanya, istri saya ngomel-ngomel terus. Kata istri, daripada seperti itu mending cari kerja yang benar, yang jelas gajinya. Waktu itu istri saya sempat minta cerai," ucapnya.
Beruntung Lulut Kistono tetap berkepala dingin menghadapi ancaman sang istri. "Saya beri penjelasan. Hidup saya dari bola. Kami pernah hidup enak dari bola. Sekarang saya ingin hidup saya bermanfaat bagi orang lain, khususnya Persebaya," ujarnya.
Wajar sang istri menuntut penghasilan dari Lulut Kistono karena saat itu tiga anak mereka beranjak dewasa dan butuh biaya kuliah yang tidak sedikit.
"Untuk makan sehari-hari saja susah. Apalagi membiayai kuliah. Tapi, Allah SWT sayang kepada kami. Anak sulung saya dapat beasiswa di Universitas Airlangga. Yang nomor dua biayanya dibantu kakak. Alhamdulillah, sekarang ketiga anak saya sudah bekerja semua. Sekarang saya melatih hanya untuk menikmati hidup, karena anak-anak sudah mapan dan punya penghasilan sendiri," tutur Lulut.
Advertisement