Bola.com, Surabaya - Hari ini, Selasa (5/2/2019), etnis Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek 2570. Tionghoa merupakan etnis yang turut memberikan kontribusi bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk lewat olahraga.
Etnis Tionghoa memliki peranan penting memberikan sumbangsih untuk perkembangan sepak bola di Surabaya. Jauh sebelum Indonesia merdeka, mereka mendirikan POR Gymnastiek en Sportvereeniging Tionghoa Surabaya pada 1908.
Advertisement
Baca Juga
Itu merupakan perkumpulan olahraga yang juga berisikan atlet anggar dan senam. Pada 1914, POR Suryanaga berdiri sebagai wadah para Tionghoa untuk berolahraga, termasuk sepak bola. Mereka menggunakan lapangan sepak bola yang kini telah masuk dalam area Stasiun Pasar Turi.
Rojil Nugroho Bayu Aji, dosen sejarah Universitas Negeria Surabaya, mengungkapkan bahwa mulanya Suryanaga didirikan sebagai sarana berkumpul etnis Tionghoa. “Sepak bola dianggap sebagai olahraga yang dapat membentuk karakter,” kata Rojil kepada Bola.com, Selasa.
Mulanya, anggota Suryanaga tidak tahu banyak tentang cara bermain sepak bola. Setelah lima tahun berdiri, tepatnya 1919, Suryanaga kemudian diakui sebagai anggoat Soerabajasche Voetbal Bond (SVB). Ini merupakan jalan awal mereka hingga masuk sebagai klub internal Persebaya.
“Di era kolonial, mereka masuk sebagai anggota SVB yang turun dalam kompetisi. Setelah kemerdekaan, mereka menjadi bagian klub internal Persebaya. Makanya, dulu sejak era 1950-an sampai 1960-an, banyak sekali pemain Tionghoa,” terang Rojil.
“Regenerasi pemain yang mereka lakukan memberi kontribusi untuk menjadi pemain Timnas Indonesia. Sayangnya, pada 1965, kiprah Tionhoa dalam sepak bola mulai meredup akibat kebijakan Orde Baru,” kata penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola itu.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Dampak Orde Baru
Orde Baru di bawah kepimpinan Soeharto melakukan banyak tindakan represif terhadap etnis Tionghoa. Mereka dipaksa mengganti nama asli menjadi nama yang dianggap merepresentasikan Indonesia. Demikian halnya dengan sepak bola.
Sampai sekarang, tidak banyak jumlah etnis Tionghoa yang mau berkiprah menjadi pemain sepak bola. Berdasarkan data, hanya terdapat beberapa saja. Di antaranya adalah Arthur Irawan, Kim Jeffrey Kurniawan, dan Sutanto Tan.
Menurut Rojil, belum ada penelitian akademis yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, pria berusia 33 tahun itu memiliki hipotesis yang menjadi penyebab minimnya pesepak bola Tionghoa.
“Kebijakan Orde Baru itu berdampak kepada pilihan mereka dalam berolahraga. Sepak bola diangap sebagai cabor yang mendatangkan banyak massa dan terkesan kurang teratur pada saat itu. Apalagi, permainannya dilakukan di luar lapangan,” kata Rojil.
“Mereka tidak lagi bebas mengekspresikan kesenangannya pada sepak bola dengan menjadi pemain. Akhirnya, ada dua cabor yang dipilih sebagai opsi, bulutangkis dan basket. Kedua cabor itu dimainkan dalam ruangan, dan sangat berbeda dengan sepak bola,” imbuh pria asli Surabaya itu.
Secara terpisah, Ketua Askot PSSI Surabaya, Maurets Pangkey, hampir sependapat dengan penyataan Rojil. Menurut Maurets, dewasa ini, etnis Tionghoa sudah memiliki banyak opsi selain bermain sepak bola seperti yang terjadi beberapa dekade silam.
“Dulu tidak banyak pilihan sebagai sarana bermain. Tetapi, pada umumnya, sekarang ada gadget dan ragam olahraga lain. Akhirnya, menurut saya pribadi, pilihan untuk terjun sebagai pemain sepak bola masuk dalam daftar ke sekian,” ucap pria yang akrab disapa Champ itu kepada Bola.com.
“Jangan lupakan juga sekarang sudah ada futsal. Kalau saya melihat, fenomena anak muda, termasuk Tionghoa, lebih memilih futsal dibanding sepak bola. Faktornya bisa karena lapangan futsal di Surabaya lebih banyak. Bisa juga, karena olahraga ini dimainkan dalam lapangan,” imbuhnya.
Suryanaga kini sudah tidak lagi menjadi klub internal Persebaya, melainkan Askot PSSI Surabaya. Menurut Champ, jumlah pemain Tionghoa di level klub internal sulit bisa dideteksi lagi. “Seingat saya, sudah tidak ada pemain Tionghoa di Suryanaga,” ujar Champ.
Advertisement
Masih Ada Jejak di Persebaya
Jejak Tionghoa dalam klub internal Persebaya sebenarnya masih terlihat. Di klub berjulukan Bajul Ijo itu terdapat klub internal bernama Sasana Bhakti. Akan tetapi, nasibnya sama seperti Suryanaga, sudah tidak ada pemain Tionghoa.
“Dalam sejarahnya, ada dua klub internal Persebaya yang menjadi wadah Tionghoa. Pertama, Suryanaga yang mayoritas Tionghoa totok. Kedua, ada Sakti (singkatan Sasana Bhakti) yang berisikan orang Tionghoa campuran,” terang pria berdarah Minahasa itu.
Meski demikian, dalam data kompetisi internal Persebaya, ada satu pemain tersisa berdarah Tionghoa. Namanya Kevin Christian. Dia bergabung dengan Maesa, klub internal Persebaya milik Champ. Maesa mulanya didirikan oleh orang-orang etnis Minahasa yang berada di Surabaya.
Pada awalnya, beberapa klub internal Persebaya didirikan oleh kelompok etnis tertentu. Seperti HBS yang berisikan orang Maluku. Lalu, ada juga Suryanaga dengan etnis Tionghoa. Demikian halnya sebagai Assyabab, wadah bagi keturunan Arab.
“Sekarang sudah tidak ada pembatasan klub tertentu berisikan etnis tertentu. Semuanya sudah membaur dan tidak ada diskrimnasi SARA (suku, agama, ras, antargolongan). Kevin jadi buktinya. Dia bergabung dengan klub kami, yang sekarang pemainnya juga mayoritas orang Jawa. Justru, Maesa sudah tidak ada pemain berdarah Minahasa,” tutur Champ.
Di skuat senior Persebaya pun segendang sepenarian. Tak ada lagi pemain Tionghoa yang menjadi rekrutan klub yang berdiri pada 1927 itu. Terakhir, Arthur Irawan masuk dalam daftar pemain Tionghoa yang dimiliki Persebaya pada musim 2018. Namun, dia sudah hengkang sejak pertengahan musim 2019.