Bola.com, Jakarta - Berbeda dengan pendahulunya Luis Milla, Simon McMenemy melakukan pendekatan taktik berbeda di Timnas Indonesia. Penggawa Merah-Putih meninggalkan patron 4-3-3 dan kini bermain dengan pola dasar 3-4-3.
Skema ini membuat persaingan di posisi gelandang tengah kian ketat. Simon hanya butuh dua orang gelandang saja di lini kedua. Dalam skema 4 pemain tengah, dua di antaranya ditempati pemain yang secara harafiah berposisi sebagai pemain sayap.
Advertisement
Mereka cenderung bermain defensif bertahan, membantu trio bek saat Timnas Indonesia menghadapi tekanan lawan. Sebaliknya saat menyerang, mereka ikut naik ke depan.
Konsekuensinya Timnas Indonesia butuh dua gelandang tengah dengan karakter kuat. Satu orang kuat menyerang, satu lainnya kuat bertahan yang nantinya akan berperan sebagai jangkar.
Timnas Indonesia senior juga akan melakoni kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia melawan Malaysia dan Thailand. Kedua laga ini akan berlangsung bulan September.
Pelatih Timnas Indonesia, Simon McMenemy telah memanggil 24 nama untuk tampil di dua laga ini. Di sektor tengan nakhoda asal Skotlandia itu memanggil enam gelandang, yang bakal diplot mengisi dua pos kosong sebagai mesin permainan Tim Garuda. Siapa-siapa saja mereka dan apa peran yang akan dimainkannya?
Saksikan video gol-gol indah Timnas Indonesia saat berjumpa Vanuatu:
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Evan Dimas
Evan Dimas sosok yang tak tergantikan menghuni skuat Timnas Indonesia level senior di era Alfred Riedl, Luis Milla, hingga Bima Sakti.
Ia menjalani peran berbeda-beda di era ketiga pelatih. Di era Alfred, pemain kelahiran 13 Maret 1995 itu jadi serep Stefano Lilipaly, sebagai gelandang serang.
Ia diplot sebagai pemain pemecah kebuntuan, yang beroperasi tepat berada di belakang dua striker dalam pola 4-4-2.
Di era Milla, posisi Evan bergeser. Ia ditempatkan sebagai deep lying playmaker, bermain agak di belakang. Perannya memulai permainan saat transisi bertahan ke menyerang.
Evan biasanya didampingi seorang gelandang dengan karakter bertahan yang kuat karena ia punya kelemahan dalam urusan bertahan.
Sekarang di era Simon McMenemy, ia kembali didorong ke depan, sebagai pemain pemecah kebuntuan. Namun, ia lebih banyak beroperasi di area tengah, hanya sesekali naik ke depan, mengingat sudah ada tiga penyerang.
Pemain Barito Putera itu terlihat menikmati peran ini. Ia kembali produktif mencetak gol, hal yang tak terjadi di masa Luis Milla dan Bima Sakti.
Advertisement
Stefano Lilipaly
Stefano Lilipaly sosok gelandang yang paling lengkap kemampuannya di Timnas Indonesia. Sang pemain naturalisasi bisa bermain di banyak posisi. Kesemuanya sama bagusnya.
Stefano yang kelahiran 10 Januari 1990 itu bisa bermain sebagai gelandang serang, penyerang sayap, penyerang bunglon (false nine), atau bahkan menjadi bek sayap.
Simon McMenemy butuh pemain tipikal itu, untuk menciptakan variasi serangan yang tak gampang dibaca lawan. Stefano Lilipaly sosok yang amat produktif mencetak gol. Di pentas Piala AFF 2016 dan Asian Games 2018 ia jadi pemain paling produktif Tim Merah-Putih bareng Boaz Solossa dan Alberto Goncalves.
Dalam pola 3-4-3 yang diusung Timnas Indonesia, Simon dengan mudah menukar-nukar posisi Stefano menyesuaikan situasi yang berkembang di lapangan.
Zulfiandi
Bersama Evan Dimas dan Muhammad Hargianto, sosok Zulfiandi jadi mesin permainan Timnas Indonesia U-19 era Indra Sjafri saat menenangi Piala AFF U-19 2013 silam.
Saat masuk level senior, kariernya sempat meredup karena cedera dan masalah pribadi. Namun, dua tahun belakangan ia seperti terlahir kembali, menemukan bentuk permainan terbaik.
Jangan heran jika Luis Milla, Bima Sakti, dan kini Simon McMenemy selalu memasukkan namanya dalam barisan skuat Timnas Indonesia.
Zulfiandi sosok gelandang jangkar modern. Ia amat kuat bertahan dan penguasaan bola. Daya jelajahnya juga tinggi karena didukung stamina yang prima.
Walau posturnya tak terlalu besar, Zulfiandi amat kuat dalam duel satu lawan satu. Tekel-tekel krusialnya seringkali menghambat serangan lawan sebelum memasuki area pertahanan Tim Garuda.
Advertisement
Manahati Lestusen
Manahati Lestusen jadi salah satu pemain favorit saat Timnas Indonesia ditukangi Alfred Riedl. Ia jadi salah satu pemain kunci saat Tim Merah-Putih membuat kejutan lolos ke final Piala AFF 2016, usai PSSI terkena ban FIFA.
Karier pesepak bola yang kini bermain di PS Tira Persikabo tersebut mulai bersinar saat membela Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2013 dan Asian Games 2014, sebelum akhirnya naik kelas ke level senior.
Manahati yang jebolan program pelatnas jangka panjang SAD Uruguay tipikal pesepak bola serbabisa. Ia bisa bermain sama bagus sebagai bek tengah, gelandang bertahan, dan bek sayap.
Di era Alfred, ia menjalani ketiga peran itu sekaligus di Piala AFF 2016. Dan kesemuanya rapor sang pemain memuaskan.
Sayang begitu Alfred pergi, ia mati angin di era Luis Milla dan Bima Sakti. Gaya permainannya yang keras menjurus kasar kurang disukai. Ia dinilai kurang cocok menjalankan sistem strategi pendek merapat karena kurang kuat dalam penguasaan bola.
Kariernya kembali melesat bersama Tira Persikabo musim ini. Klub yang ditukangi Rahmad Darmawan secara mengejutkan bersaing di papan atas Liga 1 2019. Manahati jadi kartu truf permainan The Army.
Jangan heran kalau kemudian Simon memanggilnya. Ia butuh sosok gelandang bertahan yang kuat karakternya untuk melapisi lini belakang. Hal yang barang tentu bisa dijalankan dengan baik oleh sang pemain.
Rizky Pellu
Hampir mirip dengan Manahati, figur Rizky Pellu yang menimba ilmu progam SAD Uruguay, kariernya memesona di timnas level junior namun melempem di level senior.
Selepas jadi andalan Timnas Indonesia U-23 era Rahmad Darmawan (SEA Games 2013) dan Aji Santoso (Asian Games 2014), namanya tenggelam. Praktis hanya seorang Jacksen Tiago, caretaker Tim Merah-Putih pada tahun 2013 yang kepincut pada kemampuannya.
Rizky Pellu yang punya postur tinggi besar dinilai sebagai gelandang yang ideal untuk menjalankan peran box to box. Staminanya prima untuk menjelajahi berbagai penjuru lapangan. Hanya karena kurang stylist, Pellu tak dilirik Alfred Riedl dan Luis Milla.
Namun, belakangan ini Simon McMenemy rajin memanggilnya. Rapornya di PSM Makassar ciamik. Ia mesin permainan Tim Juku Eja. Sang arsitek butuh gelandang bertenaga kuda untuk meladeni permainan cepat lawan.
Advertisement
Irfan Bachdim
Saat berkarier di Belanda bersama FC Utrecht, Irfan Bachdim menjalani peran sebagai seorang gelandang serang. Ia juga sering diplot sebagai penyerang sayap karena kemampuannya melakukan akselerasi dribel yang ciamik.
Di Akademi Ajax Amsterdam, Irfan terbiasa memainkan berbagai peran, yang sudah menjadi tuntutan buat para pesepak bola junior di Negeri Kincir Angin.
Alfred Riedl jadi sosok yang merubah posisi main Irfan dari seorang gelandang menjadi penyerang (striker). Ia jadi duet Cristian Gonzales di pentas Piala AFF 2010, salah satu event legendaris yang dikenang banyak pencinta Timnas Indonesia.
Irfan jadi sosok penyerang pelayan. Ia kerap memberi assist buat rekan duetnya atau dalam situasi tertentu jadi eksekutor langsung sebuah peluang emas.
Bukan tanpa alasan Simon McMenemy memanggil kembali Irfan yang terpinggirkan di era Luis Milla dan Bima Sakti. Ia ingin figur pemain yang kuat menyerang dengan kelebihan bermain di banyak posisi ofensif.
Dengan acuan formasi 3-4-3, Irfan bisa bermain sebagai gelandang serang, penyerang tengah, atau penyerang sayap. Ini jadi nilai lebih pesepak bola kelahiran 11 August 1988 itu dibanding pemain lain.