Bola.com, Jakarta - Calon Ketua Umum PSSI, Rahim Soekasah bicara panjang lebar mengenai sepak bola Indonesia dan juga kariernya yang menjadi petinggi klub Australia, Brisbane Roar.
Dalam pencalonan ke PSSI 1, Rahim mengaku tidak mendapat dukungan dari keluarga Bakrie, yang diketahui cukup dekat dengannya.
Baca Juga
Bursa Top Scorer BRI Liga 1 2024 / 2025: Gustavo Almeida Terdepan, Andalan Timnas Indonesia Siap Kasih Kejutan
Keren! Gelandang Timnas Indonesia Thom Haye Masuk Team of The Week Pekan ke-17 Liga Belanda
Pemain Termuda dalam Sejarah Timnas Indonesia Bersyukur Dipoles Pelatih Striker Bawaan Shin Tae-yong: Pengetahuan, Pembelajaran, Pengalaman
Advertisement
Rahim Soekasah dan Nirwan Bakrie berseberangan pada Kongres Pemilihan PSSI pada 2 November 2019. Chairman kontestan Liga Australia tersebut mengaku tidak mendapatkan dukungan dari sahabat sekaligus kolega bisnisnya itu.
Pria berusia 67 tahun ini menyatakan hubungannya dengan Nirwan, yang notabene mantan Wakil Ketua Umum (Waketum) era Nurdin Halid, lebih dari sekadar partner pekerjaan.
Buah hasil tangan dingin Rahim dengan Nirwan ialah Timnas PSSI Primavera pada 1993 silam yang melahirkan legenda-legenda macam Kurniawan Dwi Yulianto dan Bima Sakti. Ada pula klub legendaris, Pelita Jaya, yang telah dijual dan kini berubah bentuk menjadi Madura United.
Rahim Soekasah mengatakan ia berani mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Ketua Umum (Caketum) PSSI karena dorongan berbagai pihak, termasuk sejumlah wartawan. Untuk itu, ia mendaftar dengan membawa lembar dukungan dari Persitangsel Tangerang Selatan ke Komite Pemilihan (KP) PSSI.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Brisbane Roar dan Persija
Anda masih menjadi Chairman di Brisbane Roar? Kenapa betah?
Sebetulnya waktu dibeli 2011 oleh Keluarga Bakrie, posisi saya direktur. Tapi kan saya sakit. Tapi terus terang saya tak mau terlalu banyak tampil di media. Karena, chairman-chairman lain juga begitu. Bukan seperti di sini. Jadi pemimpin klub, setiap hari harus wawancara. Tak mau saya. Jadi, ada CEO-kan. Kalau mau wawancara itu di sana, dengan pelatih atau manajer klub. Tak penting kami. Begitu tim jelek, kami yang kena semprot. Tapi kalau wawancara televisi, semua sama manajer klub. Nanti diipilih satu pemain pendamping. Tak pernah saya yang berbicara. Yang punya saham Brisbane Roar itu 100 persen Keluarga Bakrie.
Brisbane Roar sempat bermasalah secara finansial pada 2015, selanjutnya bangkit. Bisa cerita di balik kesuksesan klub memperbaiki kondisi tersebut?
Itulah mengapa saya ke situ. That's why I’m coming back. Waktu itu ada masalah. Kok kamu tahu, dari mana? Waktu itu kalau tak salah ada masalah pajak. Akhirnya saya, saya masih pakai kursi roda tuh. Dipanggil minta tolong untuk diselesaikan. Sudah saya selesaikan. Cuma Rahim Soekasah yang bisa menyelesaikan pajak di luar negeri. Siapa lagi yang bisa menyelesaikan? Ini persoalan pajak. Kalau salah-salah, bisa go to jail. Hutang pajak. Saya deal. Saya beri konsep. Saya cicil dalam waktu sekian. Akhirnya alhamdulillah. Saya baca Surah Al-Fatihah terus dari Jakarta ke Australia. Iya, kalau gagal habis.
Di Australia, klub itu, kami bukan pemilik. Pemilik iya. Cuma lisensinya dipegang oleh Federasi Sepak Bola Australia (FFA). Jadi, kalau kami macam-macam, lisensi dicabut. Tak bisa bertanding. Jadi saya disuruh, saya terus terang baca Al-Fatihah. Dari Jakarta, transit Singapura, lanjut Brisbane, terus. Berapa ribu kali tuh Al-Fatihah. Dzikir terus. Sampai langsung ke kantor pajak. Berikan konsep. Waktu itu saya bersama Pak Demis Djamaoeddin. Tanpa reaksi, langsung oke. Setuju. Alhamdulillah saya bisa menyelasaikan masalah itu. Karena saya bisa menyelesaikan masalah itu, disangka saya bisa menyelesaikan semuanya. Kan tidak juga. Capek juga mengurusi urusan orang lain. Kan itu urusan finance dong. Tapi, mereka akhirnya percaya cuma saya. Klubnya tahunya saya saja. Kadang-kadang, pening juga kepala saya. Saya bukan orang finance, bukannya saya tak bisa.
Benar Persija dimiliki oleh Keluarga Bakrie?
Persija dipunyai Nirwan. Saya dikasih tahu sudah seratus persen sahamnya. Sejak kapannya, saya tak tahu. Terus terang saja. Waktu beli Persija saya tak tahu. Cuma, sempat ada tulisan, Bakrie harus turun tangan mengurus Persija.
Bung Ferry, Ketua Umum The Jakmania, dulu dari suporter Pelita Jaya. The Commandos. Makanya dari Pelita Jaya semua. Jangan dipikir saya tak berbuat, berbuat. Saya sudah diberitahu bahwa Persija sudah dimiliki Nirwan 100 persen.
Tidak tertarik menyebrang ke Persija?
Tidak disuruh masa saya mau melamar-lamar. Kalau melamar-lamar, nanti harganya kurang, dong. Kalau soal Persija, kalau saya minta, tak elok. "Bos, gue di Persija dong". Kan tak elok caranya.
Kenapa Nirwan Bakrie tak turun langsung mengurusi Persija? Kenapa sosok yang dimajukan adalah Gede Widiade, dulu, dan Ferry Paulus, saat ini?
Pak Nirwan orangnya tak mau muncul. Pelita Jaya kan saya yang muncul. Tapi jangan salah, yang bawa sepak bola itu saya. Saya yang berbicara dengan dia.
"Pak Nirwan, bikin dong klub sepak bola". Hanya lima menit, saya pikir main-main. Tak sampai seminggu dia telepon saya dan menyatakan akan membentuk klub.
Advertisement
Tentang Isu Match Fixing Persija
Ramai-ramai terkait match fixing, sebagai orang yang pernah berkecimpung lama di sepak bola nasional, apakah Anda mendengar suara-suara sumbang di media sosial yang menuduh bahwa gelar juara Persija pada Liga 1 2018 adalah settingan. Lalu, bagaimana Anda menanggapi isu tersebut?
Saya sebetulnya tak tahu masalah itu. Cuma, orang-orang berbicara soal itu. Malah waktu itu Persija bermain melawan Bali United. Kebetulan saya mau pulang ke sini tapi transit di Bali karena anak saya kuliah di Bali. Waktu itu kalau tak salah, Persija menang 2-1 melawan Bali United. Lalu penonton teriak, kalau tak salah, "Papah minta juara". Dulu-dulu tak ada yang teriak begitu. Saya puluhan tahun. Saya tanya, maksudnya apa? Yang saya tahu "Papah minta saham".
Saya tak kepikiran. Mereka bilang, "Persija harus juara". Kok begitu? "Ya sudah diatur juaranya". Waduh. Kok sampai begini. Reputasi jadi jelek benar sepak bola kita. Waktu Persija juara pun, tak dapat sambutan yang bagus di luar kota. Hanya di sini saja. Sekarang Persija di papan bawah? Kenapa? Something wrong. Pemain sama. Yang begitu jadi berpikiran negatif. Tidak boleh lagi terjadi di sini. Kalau klub saya juara dibilang "Papah minta juara", duh, malu benar kita. Apalagi sama teman-teman. Jadi bahan ledekan. Jangan sampai itu terjadi.
Persija ini klub besar. Suporter 60 ribu orang. Mungkin seperti Liverpool. Suporternya tulis 'Ferry Paulus Out', jadi citra buruk kan. Kalau saya sih, diminta jadi pimpinan Persija, jangan sekarang. Kalau sekarang, bisa rontok saya juga. Nanti kompetisi selesai baru diperbaiki lagi. Kalau sekarang sama saja nyeburin gue dong. Kecuali dibayar Rp10 miliar. Okelah. Kecebur-kecebur deh. Hehehe.
Setuju dengan rangkap jabatan pejabat PSSI di klub?
Kalau mau harus keluar. Di Klub keluar. Saham di klub tak boleh ada. Nanti konflik kepentingan.
Kompetisi bablas juga, siapa yang bikin? PSSI tidak jelas. Ketuanya tidak ada. Pelaksana Tugas (Plt) tak pernah berbicara. Sekjen-nya berbicara ngaco. Kemarin dia berbicara seperti tenang saja. Kalau saya jadi Ketum PSSI sekarang ini, saya minta maaf dengan bangsa ini. Saya salah. Saya mundur. Itu kan tanggung jawab kita. Tidak keluar satu kata juga tuh pimpinan PSSI. Kata-kata maaf tak keluar. Satu huruf saja tak keluar. Kalah lawan Malaysia, Thailand, Uni Emirat Arab, kalahnya tak enak. Tak ada perlawanan. Kalau saya jadi Ketum PSSI saat ini. Saya mengadakan konferensi pers, minta maaf, saya mundur.
Kalau pimpinan musti begitu. Ini, bicara saja tidak. Makanya, kenapa? Kenapa sih tak mau terlihat? Takut polisi? Kalau orang salah, tak mau muncul. Begitu saja. Kalau ada masalah, tak muncul.
Kalau saya bermasalah dan orang-orang maki saya, saya tak mau mencalonkan lagi. Saya test case. Tak ada yang maki-maki saya.
Anda menyayangkan lenyapnya Pelita Jaya dari kancah sepak bola nasional?
Sangat-sangat menyayangkan. Itu terjadi waktu saya sakit. Kalau saya mau cerita, siapa yang melakukan hal itu, adalah orangnya. Modusnya sama seperti yang terjadi dengan Gede Widiade di Persija. Pak Gede waktu dikerjain kan cerita sama saya. Dia waktu di luar negeri juga.
Kalau saya, saya sedang terbaring sakit di rumah sakit di Singapura. Saya tak tahu. Tak ada yang memberitahu. Saya pikir Pelita Jaya degradasi. Saya pulang ke Indonesia. Tak ada juga nih. Nanya dong. "Eh, Pelita Jaya di peringkat berapa?" Ada yang menjawab. "Lho, Pelita Jaya kan sudah tidak ada Pak". "Hah, ke mana Pelita Jaya?" "Dijual ke Pelita Bandung Raya". Lalu hilang lagi ke Persipasi Bandung Raya baru ke Madura United. Saya sedih. Sedihnya begini. Pelita Jaya saya yang buat. Dari nol. Saya berbicara ke Nirwan. Pertama kali dikasih uang, hanya Rp500 ribu. Bagaimana ceritanya bikin klub dengan uang segitu? Pelita Jaya dulu sering dikerjai saat akhir musim. Jadi susah juara. Saya berjuang terus sampai akhirnya punya fasilitas latihan di Bojongsari, Depok. Stadion juga. Kita tiga kali juara. Juara Piala Utama sekali. Tak main-main. Kami kerja keras. Lalu Pelita Jaya pernah turun ke divisi satu.
Saya sakit. Saya tak ikuti lagi. Tahu-tahu hilang. Kalau dibilang sedih, saya yang bikin itu. Dari ada, tak ada, terkenal. Owner menjual. Begitulah. Saya lalu diminta bekerja di Brisbane Roar.
Bagaimana kondisi kesehatan Anda?
Ini kehidupan kedua saya. Orang bilang saya sudah mati kok. Saya sudah tak bisa napas bagaimana mau hidup. Syaraf saya mati semua. Berbicara saja tak boleh. Tak kuat syaraf saya. Tapi, Tuhan berikan kesempatan kepada saya menebus dosa. Supaya saya bisa hidup kembali untuk menebus dosa. Saya dulu punya uang banyak habis. Puluhan miliar habis untuk berobat. Kita ini, kalau belum kena musibah, belagu kadang-kadang. Saya mengalami dua kali musibah berat. Istri saya meninggal. Berat sebagai keluarga. Tujuh tahun lalu saya lumpuh. Berbicara hanya boleh dua jam. Saya tiga tahun susah gerak dan berobat saya di Singapura.