Sukses


Tugiyo, Maradona Indonesia dengan Julukan Versi Kocak di Media Korea

Bola.com, Jakarta - PSIS Semarang merupakan satu di antara klub eks Perserikatan yang melahirkan banyak pemain unik. Tugiyo satu di antaranya.

Pemain asal Grobogan ini dikenang sepanjang masa oleh suporter PSIS. Tugiyo merupakan pencetak gol kemenangan dramatis tim Mahesa Jenar saat melawan Persebaya Surabaya pada final Liga Indonesia 1998-1999.

Sejak saat itu, nama Tugiyo semakin meroket. Selain gol tunggal di final Liga Indonesia, satu di antara momen tak terlupakan oleh publik Semarang adalah gol ke gawang kiper Samsung Suwon Bluewings, Lee Won-jae.

Gol tersebut lahir pada leg pertama putaran pertama Liga Champions Asia 1999-2000 (dulu bernama Asian Club Championship) di Stadiin Jatidiri, Semarang, Minggu (15/8/1999).

Siapa menyangka, kiper yang dihadapi sukses membuat frustrasi penyerang-penyerang top Portugal dan Italia di Piala Dunia 2002.

Tugiyo berhadapan satu melawan satu dengan Lee Won-jae. Sesaat sebelum Lee Woon-Jae menyentuh bola, Tugiyo sudah menyentuhnya. Ia lalu mengecoh Lee Won-jae dan membuat kedudukan 1-0 bagi PSIS.

Anton Wahyudi mencetak gol bunuh diri pada menit 17'. Tertahan 1-1, PSIS menggebrak lagi. Ebanda Timothy memaksan Lee Won-jae memungut bola dari gawangnya menjelang akhir babak pertama.

Namun, PSIS akhirnya kalah. Samsung Suwon Bluewings, yang ditangani Park Hang-seo, mencetak dua gol pada babak kedua dan memastikan kemenangan dengan skor 3-2.

Kecepatan Tugiyo langsung membuat Samsung Suwon Bluewings waspada pada leg kedua yang digelar di Korea. Koran lokal Korea, menyebut klub wakil Indonesia ini memiliki pemain cepat. Mereka pun mengetahui Tugiyo mendapat julukan Maradona.

"Dulu saya ingat pernah baca koran di Korea, tulisannya pemain cepat dari Krobokang (Grobogan)," begitu kata Tugiyo menceritakan pengalamannya.

Setelah melibas PSIS Semarang, Samsung Suwon Bluewings sukses memanaskan persaingan Asian Club Championship. Namun, mereka hanya meraih peringkat keempat. Pada semifinal, mereka kalah 0-1 dari klub Arab Saudi, Al Hilal.

Saksikan Video Pilihan Ini

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 3 halaman

Generasi Fenomenal

Tugiyo besar di Diklat Salatiga, satu di antara episentrum pembinaan sepak bola di Jateng yang kerap melahirkan pemain Timnas Indonesia. Sebelum gabung PSIS, Tugiyo berguru di Diklat Ragunan dan memperkuat Timnas Indonesia U-16.

Bagi pencinta sepak bola dan publik Semarang, PSIS 1998-1999 fenomenal seperti generasi sebelumnya, yakni era almarhum Ribut Waidi, yang menjuarai Perserikatan 1987. 

Tongkat estafet kejayaan PSIS dituntaskan dengan baik oleh generasi 1990-an, Tugiyo dkk. Lagi-lagi, PSIS yang kala itu dilatih Edy Paryono mengalahkan Persebaya 1-0 pada final Liga Indonesia 1998-1999.

Gol tunggal Tugiyo pada perpanjangan waktu membuatnya jadi legenda. Ia masih dikenang meski karier pria kelahiran 13 April 1977 ini cukup singkat karena dihantam cedera.

Dia pun masuk dalam skuat muda Timnas Indonesia yang menjalani program Primavera Baretti. Ia pensiun pada 2007.

Tugiyo dalam beberapa tahun terakhir masih aktif di sepak bola, terutama menangani pemain-pemain belia di Kabupaten Semarang dan Salatiga.

3 dari 3 halaman

"Wah..Masih Banyak yang Ingat, ya.."

Bola.com mengenang pertemuan dengan Tugiyo dan keluarganya saat Piala AFF 2016. Mereka sengaja menonton pertandingan final antara Indonesia melawan Thailand.

Tugiyo mengantar istri dan anaknya untuk berburu tanda tangan pemain. Ada kejadian lucu saat Tugiyo berada di hotel pemain Timnas Indonesia. Para suporter yang berada di hotel masih mengenalinya dan meminta foto. Tugiyo pun kaget karena fans yang meminta foto kebanyakan anak muda.

"Wah, ternyata masih ada yang ingat he-he-he," katanya.

Tugiyo tak pernah dilupakan oleh suporter PSIS. Dari generasi lawas hingga era sekarang. Nama Tugiyo tetap menghiasi sejarah PSIS yang merebut mahkota Liga Indonesia 1988-1999.

"Kalau bukan karena istri saya juga hanya nonton di televisi. Tapi saya senang melihat euforia timnas seperti sekarang ini," kata mantan pemain Primavera Baretti yang kini melatih SSB.

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer