Bola.com, Jakarta - Liga Indonesia secara resmi bergulir pertama kali pada 1994 silam. Adalah PSSI yang menggabungkan dua kompetisi sepak bola yang sudah berjalan ketika itu, yakni Perserikatan dan Liga Sepak Bola Utama (Galatama).
PSSI membagi kasta menjadi empat tingkatan kala itu, yakni Divisi Utama, Divisi I, II, dan III. Format kompetisi juga berubah dari waktu ke waktu. Sebelum berformat satu wilayah seperti tiga musim belakangan, Liga Indonesia kasta teratas pernah dibagi menjadi dua sampai empat wilayah berdasarkan regional.
Advertisement
Sistem seperti itu sebenarnya bukan tanpa alasan, sebab PSSI berusaha merumuskan format kompetisi yang sesuai agar berjalan mulus. Kompetisi 'percobaan' itu dilabeli Liga Indonesia (Ligina) yang berlangsung dalam rentang 1994-2007.
Karena sistem Ligina masih baru, tampaknya PSSI pun melakukan trial and error untuk mencari format kompetisi yang tepat. Ligina pun pernah memakai sistem dua wilayah, tiga, hingga empat grup. Pada musim 1996-1997 misalnya, kompetisi dibagi menjadi tiga wilayah, yakni Barat, Tengah, dan Timur.
Selama 13 tahun, Ligina masih disebut kompetisi semi profesional. Karena klub eks Perserikatan yang notabene bonden milik kota setempat masih menggantungkan dana operasional dari APBD. Sementara klub eks Galatama mengandalkan uang pribadi sang pemilik.
Ketika krisis moneter menghantam Indonesia pada 1998. Para pemilik klub Galatama yang bisnisnya terdampak krisis mulai ngos-ngosan menghidupi timnya. Imbasnya banyak klub eks Galatama pun gulung tikar atau dijual ke pihak lain. Sebaliknya, klub eks Perserikatan tetap eksis, bahkan merajai kompetisi.
Puncak kejayaan klub eks Perserikatan terjadi hingga 2007. Karena tiap-tiap daerah bebas menggelontorkan kas APBD untuk bonden masing-masing. Pada era Ligina tersebut pun tahta juara dikuasai klub eks Perserikatan.
Setelah bertahan lama dengan format 2-3 wilayah, pada 2008, PSSI memutuskan untuk merombak total format Liga Indonesia, akhir era Ligina. Kompetisi itu bernama Liga Super dan cuma diikuti oleh 18 klub saja.
Liga Super kemudiaan sempat terhenti pada 2015 karena sanksi dari FIFA dan baru bergulir kembali dua tahun kemudian dengan nama Liga 1. Liga ini digadang-gadang sebagai formulasi terbaik setelah sepak bola Indonesia mengalami sejumlah persoalan pelik, seperti dualisme yang mengakar dari klub, kompetisi, hingga PSSI itu sendiri.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kenapa Liga Indonesia Sejak Awal Tidak Dibuat Satu Wilayah Saja?
Tentunya ada perhitungan untung dan rugi dari kompetisi yang digelar dengan format wilayah. Utamanya adalah faktor efisiensi dana.
"Dari segi pendanaan, akan terjadi efisiensi dana hingga separuhnya ketimbang format satu wilayah," ujar mantan Direktur Olahraga Persebaya, Dhimam Abror Djuraid, yang kini menjabat sebagai Presiden Persigo Semeru Hizbul Wathan (PSHW).
Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.000 lebih gugus pulau. Artinya, dibutuhkan moda transportasi selain darat guna menuju satu tempat tertentu. Kaitannya dengan sepak bola, klub Indonesia tersebar cukup merata dari Sabang sampai Merauke, dari Persiraja hingga Persipura.
Faktor geografis serta kesiapan infrastruktur transportasi masih menjadi penghambat dalam roda kompetisi sepak bola Tanah Air. Pada 2003, Indonesia pernah menjajal format satu wilayah (kompetisi penuh) setelah sejak 1994-2002 selalu menggunakan format dua, tiga, sampai empat wilayah. Hasilnya, sistem kompetisi penuh hanya bertahan dua musim karena ketidaksiapan klub-klub dalam mengarungi satu musim kompetisi.
"Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut dan saling berjauhan. Belum lagi letak beberapa kota yang berada di pegunungan," ujar Abror lagi pada 2014 silam mengenai pandangannya terhadap format kompetisi Liga Indonesia.
Seperti disebutkan di awal, Ligina diciptakan pada 1994 juga mengutamakan trial and error demi mencari format kompetisi yang tepat. Tidak heran, butuh waktu belasan tahun hingga akhirnya berani menjajal format satu wilayah. Hal-hal non teknis seperti krisis moneter pada periode 1997-1998 juga di sisi lain menjadi pembelajaran buat operator liga dalam meracik liga yang mutakhir.
Agaknya, PSSI selaku induk sepak bola Indonesia baru menemukan formula dan keberanian untuk menggelar kompetisi dengan format satu wilayah.
Pada 2017 silam, setelah sepak bola Indonesia 'tertidur' akibat saksi FIFA dan dualisme kepemimpinan, dimulailah era baru, era Liga 1. Badan yang mengurusi kompetisi dimatangkan, yakni PT Liga Indonesia Baru (LIB). Sejauh ini, jarang ditemui kasus klasik berupa masalah finansial yang menerpa pesertanya, seperti gaji telat misalnya.
Namun, tentu masih ada banyak celah di balik kesuksesan Liga 1 selama empat edisi terakhir, termasuk Liga 1 2020 yang tengah terhenti akibat pandemi virus corona. Kepemimpinan wasit, mafia pertandingan, hingga problematika suporter masih saja menjadi borok di sepak bola Indonesia.
Advertisement
Kelebihan Format Wilayah
Liga Sepak Bola Amerika Serikat (MLS) masih menerapkan sistem dua wilayah, yakni Eastern Conference (wilayah timur) dan Western Conference (wilayah barat). Nyatanya, MLS terus berkembang dan diminati oleh warga negaranya yang dominan diisi oleh penggemar basket, rugby, dan baseball itu.
Ini menandakan kalau format dua wilayah atau lebih tidaklah buruk, asal digarap dengan profesional. Apalagi, efisiensi dana juga akan sangat membantu finansial tim.
Manajer Semen Padang FC pada Liga Super Indonesia (ISL) 2014, Erizal Anwar melihat ada kelebihan jika kompetisi sepak bola Indonesia digelar dengan format dua wilayah.
"Sistem dua wilayah akan mengurangi biaya perjalanan klub, karena klub tidak harus menjalani pertandingan tandang ke luar daerah yang letaknya jauh," kata Anwar.
Ruddy Widodo, manajer Arema FC, punya pandangan lain. Ia pernah mengatakan bahwa akan ada perubahan nilai jual kompetisi itu sendiri. Menurutnya, kompetisi yang ada partai finalnya akan lebih menarik.
"Gelar juara ditentukan melalui partai final memiliki nilai jual. Tidak seperti satu wilayah, di mana pemenang liga kemungkinan sudah bisa ditentukan sebelum kompetisi berakhir," ujarnya.
Di sisi lain, belakangan ini klub-klub Liga Indonesia sudah mendapatkan kepercayaan dari sponsor-sponsor besar di Indonesia dan luar negeri. Bentuknya pun bermacam-macam, mulai dari bank, perusahaan start-up, sampai provider internet.
Persib Bandung misalnya, disponsori oleh 12 perusahaan besar yang membuat mereka bisa bermanuver bebas di bursa transfer. Persija Jakarta, walau pun data terakhir menyebutkan tak lebih banyak dari Persib, diketahui memiliki nilai sposnor yang sangat besar dibandingkan rata-rata klub peserta Shopee Liga 1 2020.
Ini mengindikasikan bahwa finansial seharusnya tak lagi menjadi kendala berarti buat klub-klub Liga 1, apalagi kalau cuma sekadar 'biaya transportasi'. Pakem lama, yakni 'tour' sebenarnya bisa jadi opsi bagus. Misalnya, PSIS Semarang yang bermarkas di Jawa Tengah, melakoni maksimal dua partai tandang di Jawa Timur beruntun sebelum kembali ke kandang mereka.
Kelebihan Sistem Kompetisi Penuh (Satu Wilayah)
Mengutip komentar Ruddy Widodo, masih di momen yang sama, ia tak menyangkal bahwa format dua wilayah ironisnya berimbas pada pemasukan klub. Meski mampu memangkas biaya operasional, sistem dua wilayah dinilainya bisa mengurangi pendapatan dari tiket.
"Jumlah pertandingan kandang kompetisi dua wilayah lebih sedikit dibanding satu wilayah. Di ISL musim 2014, setiap tim mendapat jatah 20 pertandingan karena di masing-masing wilayah berisi 11 klub. Hal ini mempengaruhi pendapatan tuan rumah melalui penjualan tiket," kata Widodo.
Membicarakan kelebihan format kompetisi penuh bisa dengan mencari kelemahan sistem dua wilayah atau lebih, satu di antaranya yakni peta kekuatan yang bias.
Dengan menerapkan satu wilayah, maka kompetisi bisa memetakan kekuatan kompetisi itu sendiri. Sebab, semua tim bisa merasakan kekuatan tim lainnya tanpa ada batasan wilayah barat dan timur.
Lebih jauh, kemenangan atau gelar juara yang didapat sebuah tim bisa dianggap absolut. Artinya, hasil klasemen pada liga atau kompetisi dengan format penuh lebih bisa dipertanggungjawabkan, bukan didasarkan pada satu atau dua pertandingan (babak play-off; babak semifinal dan final).
Selain itu, aroma liga yang profesional terasa lebih kental. Faktor ini mungkin terlalu klise karena hanya berkaca pada fakta bahwa mayoritas liga top Eropa menggunakan format satu wilayah. Namun, mengambil acuan pada model liga profesional bisa menjadi satu indikator tersendiri.
Advertisement
Daftar juara Liga sejak Ligina
1994-95: Persib Bandung
1995-96: Bandung Raya
1996-97: Persebaya Surabaya
1997-98: - (Liga dihentikan)
1998-99: PSIS Semarang
1999-00: PSM Makassar
2001: Persija Jakarta
2002: Petrokimia Putra Gresik
2003: Persik Kediri
2004: Persebaya Surabaya
2005: Persipura Jayapura
2006: Persik Kediri
2007: Sriwijaya FC
2008-09: Persipura Jayapura
2009-10: Arema Indonesia
2010-11: Persipura Jayapura
2011-12: Semen Padang
2012-13: Persipura Jayapura
2014: Persib Bandung
2015: - (Liga dihentikan)
2016: - (Tidak ada Liga)
2017: Bhayangkara FC
2018: Persija Jakarta
2019: Bali United