Bola.com, Malang - Sejak memulai kiprah di sepak bola Indonesia melalui kompetisi Galatama, Arema telah berkembang menjadi satu di antara beberapa klub besar di Liga Indonesia. Pemain dan pelatih silih berganti, sejumlah pemain, terutama yang pernah menjadi kapten tim, diingat sebagai sosok yang menakutkan bagi lawan.
Dalam perjalanannya, Arema pernah menjadi tim bertabur bintang. Pernah juga menjadi tim yang alakadarnya. Hal tersebut membuat Singo Edan kerap memiliki karakter permainan yang berbeda di setiap msimnya.
Baca Juga
Duel Pelatih Persebaya Vs Persija di BRI Liga 1: Paul Munster Pengalaman, Carlos Pena Memesona
Adu Gemerlap Pemain Asing Persebaya Vs Persija di BRI Liga 1: Mewah! Panas di Tengah dan Depan
Sempat Diragukan, Lalu Bisa Kandaskan Arab Saudi: Yuk Bedah Taktik Timnas Indonesia, Kuncinya Perubahan Lini Depan
Advertisement
Namun, di balik perubahan karakter bermain Arema, pemainan keras dengan semangat luar biasa merupakan yang paling diminati oleh para pendukungnya, Aremania. Sejumlah pemain dikenang oleh Aremania sebagai pemain yang mencerminkan gaya khas Malang yang ngotot.
Tidak sedikit dari mereka dikenang sebagai pemain yang mampu memberikan tekanan besar kepada pemain tim lawan. Apalagi mereka yang pernah mengenakan ban kapten di lengan, di mana kepemimpinan yang kuat mampu membawa teman-temannya di tim Singo Edan bisa berubah menjadi sangat menakutkan.
Berikut Bola.com membahas 4 kapten tim yang memiliki tipikal seperti itu dan pernah dimiliki Arema.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Alexander Pulalo
Namanya belakangan banyak dibahas karena kehidupan setelah pensiun kurang mapan. Tapi, semasa aktif di lapangan, pemain asal papua ini disegani rekannya tapi juga ditakuti lawan. Posturnya mungil, tapi bernyali besar. Alex membela Arema pada musim 2005-2009.
Dia baru dipercaya jadi kapten tim pada musim 2007. Waktu itu Singo Edan ditangani pelatih asal Republik Ceko, Miroslav Janu. Alex bermain agresif di sektor bek sayap.
Kecepatan jadi andalan utamanya. Disamping itu, permainan keras juga jadi ciri khasnya. Tak jarang pelanggaran berbahaya dilakukannya untuk mengambil bola dari kaki lawan.
Pemain yang sempat masuk Timnas Indonesia proyek primavera di Italia ini memang tipikal pemain temperamental. Dia akrab dengan kartu di setiap pertandingan.
Tak jarang dia menerima sanksi dari komisi disiplin PSSI. Itu pula yang membuat lawan agak keder jika harus beradapan dengan Alex. Sehingga musuh berfikir dua kali jika membawa bola didekatnya. Namun, saat di luar lapangan, dia merupakan sosok yang ramah.
Advertisement
I Putu Gede Swisantoso
Pemain beradarah Bali ini jadi bagian Arema dalam dua periode. Musim 2000 dan 2004-2006. Dia tergolong pemain karismatik. Tak banyak bicara, tapi lugas di dalam lapangan.
Posisinya sebagai galandang bertahan membuatnya sering berduel dengan lawan. Jika rekannya dikasari lawan, Putu akan membalasnya. Ini sebabnya lawan segan ketika berhadapan dengan Singo Edan.
Putu Gede memang tidak terlalu lama membela Arema. Tapi, image sebagai kapten tim sangat melekat di benak Aremania. Buktinya, meski sempat membela Persita Tangerang hingga Persebaya Surabaya, sampai saat ini dia masih banyak dikenal sebagai legenda Singo Edan.
Apalagi Putu Gede menjabat sebagai kapten ketika Arema jadi juara Copa Indonesia 2005 dan 2006. Waktu itu dia sangat disegani teman dan lawan. Terkadang dia memang melakukan pelanggaran keras kepada lawan.
Itu jadi salah satu bukti kegarangannya di lapangan. Tapi, jiwa sportivitasnya sebagai pemimpin di dalam lapangan tetap terlihat ketika menyemangati rekan-rekannya.
Pierre Njanka
Bisa dibilang bek asal Kamerun ini satu dari beberapa pemain dunia yang pernah berlaga di pentas sepak bola Indonesia. Dia pernah tampil di kancah tertinggi sepak bola, Piala Dunia edisi 1998 dan 2002. Dalam gelaran tersebut, Njanka pernah menjebol gawang Austria dengan proses yang indah pada 1998.
Njanka didatangkan dari Persija Jakarta pada musim 2009/2010 dan langsung mendapat jabatan kapten tim Singo Edan. Itu tak lepas dari pengalamannya di level internasional bersama timnas Kamerun.
Bersama Arema, dia dipanggil papa. Artinya, memang sosok yang dihormati dan jadi panutan pemain lain.
Saking dihormatinya, setiap kegiatan Arema baik di luar dan dalam lapangan tidak akan dimulai lebih dulu sebelum Njanka hadir. Tapi, dia tetap seorang yang profesional dan disiplin.
Saat di lapangan, dia jadi stoper tangguh. Badannya yang kokoh membuat striker lawan kesulitan melewatinya. Tatapan matanya tajam dan ekspresinya dingin. Melihat wajah dan nama besar Njanka, lawan bisa dibuat tegang di lapangan.
Kehadiran Njanka di lini belakang juga membuat rekan-rekannya di lapangan lebih percaya diri. Puncaknya, dia membawa Arema meraih juara ISL 2010. Tapi, pada akhir musim 2011 dia memilih hengkang dari Singo Edan.
Advertisement
Hamka Hamzah
Bek senior Indonesia ini memang sudah akrab dengan jabatan kapten. Hampir di setiap klub yang dibelanya, Hamka dipilih jadi pemimpin di lapangan.
Semasa mudanya, dia merupakan pemain yang bengal. Tak jarang dia meluapkan emosinya di lapangan ketika masih membela Persija Jakarta, Persik Kediri, atau tim lainnya.
Saat gabung Arema pada musim 2016 dan 2018-2019, dia lebih kalem. Meski demikian, dia tetap sosok yang disegani lawan. Sekalipun di Arema tidak secepat dulu saat beradu lari dengan striker lawan. Tapi, Hamka tetap jeli dalam memotong bola.
Jika ada jika ada striker yang membuatnya kerepotan, dia mengaku sering memberikan ancaman atau intimidasi di luar pandangan wasit agar lawannya kehilangan konsentrasi.
Hamka mengaku jika dia merupakan sosok yang keras. Itu terbentuk dari pergaulan semasa kecil di Makassar, di mana Hamka banyak berkumpul dengan sejumlah preman sehingga watak kerasnya terbawa di lapangan. Untungnya itu diimbangi dengan prestasi karena dia sempat jadi andalan lini belakang Timnas Indonesia.