Bola.com, Semarang - Tanggal 1 April 1999 menjadi hari paling kelam bagi suporter PSIS Semarang atau tepat 21 Tahun lalu di Ibukota Jakarta. Mahesa Jenar memang berhasil melaju ke final Ligina 1999 usai mengalahkan tuan rumah Persija Jakarta di laga semifinal.
Namun siapa sangka satu hari sebelum kemenangan PSIS yang ditentukan oleh gol Ebanda Timoti, terjadi peristiwa yang sangat memilukan. Total 11 anggota suporter PSIS meregang nyawa karena kecelakaan tragis.
Advertisement
Bola.com menelusuri satu di antara saksi sejarah suporter PSIS yang ikut dalam rombongan ke Jakarta kala itu. Pada 31 Maret 1999 sore, ribuan fans PSIS yang masih tergabung dalam Yayasan Mahesa Jenar, datang ke ibukota, menggunakan armada bus maupun kereta api.
Irawan Sulistyo, seorang suporter PSIS yang waktu itu ikut dalam rombongan menceritakan, ada dua insiden kecelakaan yang disebabkan oleh kereta api. Diketahui pendukung PSIS menaiki kereta dari Stasiun Tawang menuju Pasar Senen.
"Kecelakaan pertama dialami satu rekan kami yang berada di atas gebong. Saat dia membawa bendera, tidak tahunya tersangkut kabel di Stasiun Jatinegara," terang Irawan, Kamis (2/4/2020).
Kemudian usai turun di Stasiun Pasar Senen, rombongan suporter PSIS mencari kendaraan umum untuk menuju Stadion Senayan. Termasuk harus membajak beberapa bus kota DAMRI dan Kopaja.
Sebagian bus pun bertolak menuju Stadion Utama Senayan dari Stasiun Pasar Senen. Beberapa saat kemudian, datang rombongan aparat kepolisian terutama satuan Brimob dan Pengendali Massa (Dalmas), untuk melakukan evakuasi para fans PSIS.
Saksikan Video Pilihan Kami:
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Bukan ke Senayan
Tidak ada yang mengetahui secara tiba-tiba adanya tumpangan gratis dari polisi ke Senayan. Namun siapa sangka, perjalanan truk polisi yang mengangkut suporter PSIS, justru bergerak ke selatan menjauhi Stadion Senayan, bahkan masuk ke kawasan Lenteng Agung, menuju arah Bogor.
Sebagian di antaranya merasa ada sesuatu yang aneh, mengapa justru kendaraan berjalan hingga ke Lenteng Agung yang semakin jauh dari Senayan. Alhasil mereka berusaha menghentikan laju truk aparat, dan terjadi bentrokan. Beberapa truk hancur dan rusak akibat keributan.
"Banyak yang mulai curiga rute jalannya kok tidak ke Senayan, dan pasti mau dibawa ke Mako Brimob. Teman-teman jengkel saat di Lenteng Agung, persis dekat stasiun. Teman-teman marah, sudah lelah kok malah dibawa ke Mako Brimob Kelapa Dua," terangnya
Tiga buah truk aparat ringsek dan digulingkan, buntut dari kericuhan yang terjadi. Setelah terjadi keributan di badan jalan dekat Stasiun Lenteng Agung, ratusan suporter pun bergegas menuju Senayan menyusul rekan-rekannya yang sudah ada di stadion.
Transportasi paling cepat adalah dengan naik kereta dan kebetulan posisinya tepat di sebelah Stasiun Lenteng Agung. Namun tak berselang lama peristiwa nahas itu pun terjadi dan merenggut nyawa sepuluh anggota suporter PSIS.
"Kami terburu-buru. Masuk ke gang, nggak tahunya keluar gang seketika disambar kereta rel listrik. Total ada 10 orang yang usianya masih pelajar. Korban dievakuasi pegawai Kereta Api dan dimakamkan di Semarang," imbuh pria yang akrab disapa Londo ini.
Advertisement
Menetap di Jakarta
Hingga saat ini Irawan dan rekan-rekannya masih penasaran dengan apa yang dilakukan aparat keamanan. Yakni dengan menjemput dan membawa menuju Mako Brimob. Ia hanya bisa menduga mungkin karena faktor keamanan.
"Barangkali seperti itu, pertama karena ada suporter Persebaya yang merupakan rival kami saat itu. Kemudian karena situasi keamanan Kota Jakarta," tuturnya.
"Kejadian dan emosional kawan-kawan di Lenteng Agung tak lepas karena maksud dan tujuannya aparat tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya," paparnya.
Pada sore harinya, para suporter PSIS sudah berada di Stadion Senayan dan menyaksikan tim pujaannya mengalahkan Persija. Tiket ke final pun digenggam oleh Ali Sunan dan kawan-kawan, untuk menantang Persebaya Surabaya.
Mengingat laga final digelar beberapa hari setelah partai semifinal, membuat para pendukung PSIS lebih memilih tetap berada di Jakarta. Akan tetapi, partai final secara darurat harus dipindahkan ke Stadion Klabat, Manado.
"Tiga hari kami menetap di Jakarta untuk menunggu partai final, namun ternyata dipindah ke Manado. Kami suporter PSIS dipulangkan ke Semarang untuk menghindari gesekan dengan suporter Persebaya, Bonek harus dipulangkan dengan kapal," beber Londo.
Juara Tanpa Sorak-sorai
Tanggal 9 April 1999 pun menjadi hari bersejarah bagi PSIS Semarang. Torehan tinta emas diraih anak asuh Eddy Paryono saat itu dengan menaklukkan Bajul Ijo di tempat netral.
Gol tunggal kemenangan PSIS dilesakkan oleh si 'Maradona dari Purwodadi', Tugiyo. Tak ada sorak-sorai suporter PSIS yang merayakan pesta juara di Manado, karena tidak ada yang hadir. Hanya beberapa pejabat pemerintahan di lingkungan PNS daerah Semarang yang datang.
Banyak pihak menyebut kisah PSIS seperti menumbalkan 11 nyawa suporter, untuk bisa meraih gelar juara di tahun 1999. Bagi Irawan Sulistyo, banyak hikmah yang dapat diambil, terutama pengorbanan apapun dilakukan demi tim kebanggaan.
"Untuk bisa juara dalam sebuah kompetisi memang harus dibayar dengan mahal. Baik itu fanatisme, totalitas, dan masih banyak yang lain. Kita rindu juara, tapi kontribusi apa yang bisa kami berikan untuk tim," ucap Irawan Sulistyo.
Pria asal Wologito, Kota Semarang ini menambahkan, sikap dan perilaku suporter di zaman sekarang sudah berubah drastis. Jika dulu banyak suporter dicap dengan penampilan lusuh, tanpa alas kaki, dan membudayakan mbludhus (masuk tanpa tiket).
Ia membandingkan dengan era sekarang, di mana suporter akan malu ketika masuk stadion tidak menggunakan tiket. Bukti kecintaan suporter sekarang diakuinya sudah tidak lagi membayar dengan nyawa.
"Jauh sekali perkembangannya dibandingkan pada masa itu. Sekarang saya akui kawan-kawan suporter punya pemikiran yang lebih maju, lebih kreatif. Semakin kritis, banyak hal positifnya," tegasnya.
"Dulu nyaris tidak ada suporter perempuan yang mau datang ke stadion. Sekarang banyak sekali bahkan menjadi gaya hidup tersendiri," jelas Irawan yang merupakan salah satu pendiri kelompok suporter Panser Biru.
Advertisement