Bola.com, Makassar - Aksi impresif dan trengginas duet gelandang jangkar PSM Makassar, Ponaryo Astaman dan Syamsul Chaeruddin, kental mewarnai pentas Liga Indonesia musim 2003 dan 2004 yang memakai sistem kompetisi penuh.
Berkat kontribusi keduanya di lini tengah, penampilan Juku Eja tetap mendapat apresiasi meski hanya meraih posisi runner-up pada dua musim itu.
Baca Juga
Deretan SWAGs Pemain Diaspora Timnas Indonesia: Atlet hingga Supermodel Papan Atas Dunia, Ada yang baru Go Publik Bikin Cegil Patah Hati
Belum Bisa Move On! Kevin Diks Mengenang Momen Perdana Menyanyikan Indonesia Raya di SUGBK
Terlalu Ngotot! Ternyata Jadi Penyebab Cedera Kevin Diks pada Laga Vs Jepang
Advertisement
Musim perdana tampil bersama, duet ini langsung mencuri perhatian publik sepak bola Indonesia. Kemampuan Ponaryo Astaman dan Syamsul Chaeruddin tergali optimal berkat strategi pelatih PSM kala itu, Miroslav Janu, yang mengusung pola 4-4-2 di setiap laga timnya.
Peran keduanya sangat sentral. Selain sebagai penyeimbang dan pemotong serangan lawan, Ponaryo dan Syamsul wajib melapis dua sisi sayap yang aktif menyuplai Oscar Aravena dan Cristian Gonzales di lini depan.
Stamina prima yang dimiliki Syamsul membuat gelandang asal Kabupaten Gowa ini meringankan kerja Ponaryo yang kerap melakukan penetrasi di lini pertahanan lawan.
Tak ayal, sukses Oscar-Cristian menjadi striker tertajam dengan koleksi 58 gol tak lepas dari peran penting Ponaryo dan Syamsul di lini tengah. Sayang, ambisi PSM meraih trofi juara direnggut tim kuda hitam, Persik Kediri.
Peran manajemen PSM yang dikendalikan dua bersaudara Erwin Aksa dan Sadikin Aksa juga tak bisa dinafikan. Setelah mengontrak Janu, pemain yang direkrut disesuaikan dengan kebutuhan tim bukan semata nama besar.
Indikator keberhasilan langkah manajemen ini adalah karier dan nilai pemain meningkat setelah bermain bersama Juku Eja musim itu. Termasuk Ponaryo Astaman dan Syamsul Chaeruddin.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Jadi Andalan Lini Tengah Timnas Indonesia
Berkat penampilan di PSM, Ponaryo Astaman dan Syamsul Chaeruddin dipanggil memperkuat tim nasional pada ajang Piala Asia 2004 di China. Meski gagal lolos dari penyisihan grup, Timnas Indonesia sempat mencuri perhatian setelah menekuk Qatar 2-1 pada laga perdana.
Satu dari dua gol Indonesia dicetak oleh Ponaryo lewat tendangan keras dari luar kotak penalti. Kekalahan dari Indonesia ini membuat Qatar langsung memecat pelatih mereka, Phillipe Troussier.
Setelah Piala Asia 2004, pada tahun yang sama, kolaborasi keduanya berlanjut bersama timnas pada Piala AFF. Dalam ajang yang yang mempertemukan tim dari negara Asia Tenggara ini, Indonesia menembus ke partai puncak.
Namun, dalam final yang memakai sistem tandang-kandang ini, Indonesia dua kali dikalahkan Singapura.
Pada Liga Indonesia 2004, peran keduanya kian sentral. Meski kembali PSM kembali gagal setelah trofi juara diraih Persebaya, Ponaryo mendapat apresiasi dengan gelar pemain terbaik musim 2004.
Advertisement
Militan dan Elegan
Meski sama-sama berperan sebagai gelandang jangkar, sejatinya karakter bermain Syamsul Chaeruddin dan Ponaryo Astaman sedikit berbeda. Syamsul memiliki stamina, mobilitas dan semangat pantang menyerah di lapangan hijau.
Kelebihan Syamsul ini sangat berperan dalam mengangkat motivasi tim. Hal itu diakui oleh Ronald Fagundez, sayap kiri PSM kala itu.
"Kami pernah dibuat cemas oleh Syamsul karena ia terserang demam sebelum laga. Tapi, ia memaksa untuk dimainkan apalagi PSM tampil di Makassar. Saat bertanding, Syamsul tetap bermain dengan karater khasnya meski setelah laga ia harus mendapat perawatan khusus," kenang Ronald.
Dalam situs wikipedia, Syamsul disebut sebagai gelandang bertahan terbaik Indonesia pada masanya, di mana ia menutupi kekurangannya dari segi postur dengan permainan agresif untuk menekan lawan. Khusus di Timnas Indonesia, Syamsul mengawalinya kiprahnya berkostum Merah Putih pada 12 Maret 2004 menghadapi Malaysia.
Sedang Ponaryo tampil lebih elegan. Secara usia dan pengalaman, Ponaryo juga diatas. Sebelum ke PSM, Ponaryo pernah membawa PKT Bontang menembus final Liga Indonesia 1999-2000.
Dalam final yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Ponaryo yang belum genap 21 tahun, sudah menjadi pemain starter PKT berduet dengan gelandang timnas senior saat itu, Fachri Husaini. Sayang, PKT gagal juara setelah takluk 2-3 dari PSM.
Kelebihan Ponaryo adalah ketenangan dan kejelian membaca pergerakan lawan. Ia pun memiliki tendangan keras yang kerap berbuah gol. Selain golnya ke gawang Qatar di Piala Asia 2004, Ponaryo juga melakukannya ke gawang timnas India dalam laga resmi pada tahun yang sama.
Selain di PSM, Syamsul dan Ponaryo juga pernah tampil bersama di Persija Jakarta (2010-2011) dan Sriwijaya FC (2011-2012). Saat di Sriwijaya FC, keduanya bisa bersama menuntaskan dahaga gelar di pentas Liga Indonesia. Tapi, Syamsul memutuskan kembali ke PSM pada putaran kedua. Seperti diketahui, Sriwijaya akhirnya keluar sebagai juara Liga Indonesia 2011-2012.