Bola.com, Semarang - Pada 9 April 1999 atau tepat 21 tahun silam, publik sepak bola Semarang berpesta menyambut PSIS Semarang tampil sebagai juara Liga Indonesia (Ligina). PSIS menang 1-0 atas Persebaya Surabaya pada partai final di Stadion Klabat, Manado.
Laskar Mahesa Jenar harus menunggu waktu pertandingan hingga menit ke-89, untuk dapat mengatasi perlawanan Persebaya. Selain itu, partai final yang cukup aneh, mengingat harus digelar di tempat yang netral, hingga ke ujung Utara Sulawesi.
Baca Juga
Drama Timnas Indonesia dalam Sejarah Piala AFF: Juara Tanpa Mahkota, Sang Spesialis Runner-up
5 Wonderkid yang Mungkin Jadi Rebutan Klub-Klub Eropa pada Bursa Transfer Januari 2025, Termasuk Marselino Ferdinan?
Bintang-Bintang Lokal Timnas Indonesia yang Akan Turun di Piala AFF 2024: Modal Pengalaman di Kualifikasi Piala Dunia
Advertisement
Situasi di Ibukota Jakarta kala itu tidak memungkinkan untuk menggelar partai final. Sebab pada laga semifinal, 11 suporter PSIS meregang nyawa akibat kecelakaan kereta api. Sebuah perjuangan publik sepak bola Semarang yang begitu besar pada tahun itu.
Hingga akhirnya trofi juara Liga Indonesia yang terakhir kalinya digapai PSIS, meski harus dibayar dengan sangat mahal karena meninggalnya pendukung mereka. Piala yang diraih pada 1999 menjadi koleksi gelar terbaik PSIS, setelah sebelumnya menjuarai kompetisi Perserikatan pada 1987.
Bola.com menelisik kisah heroik klub pujaan kota Lumpia saat menjadi tim terbaik di Indonesia pada 1999. Satu diantara legenda klub, Agung Setyabudi banyak bercerita tentang kiprah PSIS pada musim yang hebat tersebut.
Â
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Penuh Kejutan
Perjalanan PSIS Semarang pada musim 1999 hampir mirip dengan kiprah Timnas Denmark yang menjuarai Piala Eropa 1992. Tidak ada yang mengira Denmark bisa keluar sebagai kampiun, hingga menyandang predikat tim dinamit.
PSIS pun mengalami hal serupa, saat kompetisi tahun 1999 adalah fase peralihan kondisi di Indonesia setelah runtuhnya masa orde baru. Ligina 1999 merupakan kompetisi pertama di era reformasi, atau setelah musim 1998 dianggap bubar dan force majeure.
Tidak ada yang memprediksi PSIS bakal keluar sebagai juara, karena cukup kesulitan sejak penyisihan grup, babak 10 besar, hingga fase gugur. Menariknya, PSIS selalu bertemu Persebaya pada setiap fase yang sekaligus rival abadinya.
Pada babak penyisihan, PSIS yang kala itu dilatih Eddy Paryono menduduki peringkat kedua di bawah Persebaya. Kemudian menembus fase 10 besar yang terbagi menjadi dua grup, lagi-lagi PSIS berada di bawah Persebaya.
Lolos ke semifinal, PSIS harus berhadapan dengan tim raksasa Persija Jakarta pada 1 April 1999 di Stadion Utama Senayan. Gol tunggal kemenangan PSIS ditentukan oleh Ebanda Timothy, yang sekaligus untuk mengenang tragedi Lenteng Agung yang menewaskan 11 anggota suporter PSIS.
"Jujur saja, kami juara saat itu ya di luar dugaan. Eddy Paryono menerapkan bola dari kaki ke kaki, seperti gaya permainan Italia. Lawan mau pressing seperti apa, kami diminta tetap tenang," ungkap Agung Setyabudi, Selasa (7/4/2020).
Advertisement
Kekompakan Tim
Agung Setyabudi merupakan satu diantara talenta besar yang dimiliki PSIS, memanfaatkan bubarnya tim Arseto Solo pada 1998. Ketika itu, Agung merupakan pemain langganan di Timnas Indonesia dan juga berpengalaman.
Kiper I Komang Putra, bek Bonggo Pribadi, dan gelandang sekaligus kapten tim, Ali Sunan menjadi kekuatan tersendiri Laskar Mahesa Jenar. Menurut Agung Setyabudi, kekuatan terbesar PSIS saat juara 1999 adalah kekompakan tim.
Ia menilai tidak ada nama besar pemain melebihi tim. Tidak ada pemain yang dikatakan menonjol dengan memiliki skill khusus. Susah senang ia rasakan bersama saat itu, meski ada beberapa momen yang menggelikan.
"Saat itu PSIS mainnya kompak. Gajian sering telat, tapi pemain tetap kompak. Tidak ada gaji ya tidak ada latihan bareng, sebagai bentuk protes saja. Tapi kami bisa membuktikannya di lapangan," tutur pemain asal Kota Solo itu.
"Antarpemain kompak, tidak ada gap atau konflik apapun sampai akhir musim. Tapi begitu pembagian bonus tidak kompak, pada sembunyi. Saya dengan Bonggo Pribadi, ada yang mau kasih bonus tapi enggak kabarin saya. Hanya bonus dari manajemen klub," gurau Agung.
"Tentu senang bisa juara Liga Indonesia, kapan lagi? Tidak mudah meraih prestasi yang tinggi. Musim 1999 awal dari perubahan negara, saya kira belum seperti sekarang ini. Perangkat pertandingan masih baik, sportivitas dijunjung tinggi," ungkapnya dengan bangga.
Manado Penuh Kenangan
Peristiwa Lenteng Agung yang menewaskan 11 suporter PSIS membuat Agung dan rekan-rekannya terpukul. Kemudian situasi di Jakarta memaksa laga final harus dipindah ke Manado.
"Sedih sekali mendengar kabar meninggalnya suporter kami. Jelas berpengaruh dengan suasana tim sebelum bertanding. Mereka datang jauh dari Semarang dan justru kehilangan nyawa. Kami begitu dekat dengan suporter saat itu," katanya.
Akhirnya partai final digelar delapan hari setelah laga semifinal. Seluruh skuat baik PSIS maupun Persebaya, hingga perangkat pertandingan, dalam satu rombongan pesawat Hercules menuju ibukota Sulawesi Utara.
Ia ikut menceritakan situasi Stadion Klabat yang penuh sesak dalam partai puncak. Duel tersebut juga sekaligus menjadi hiburan tersendiri bagi warga Manado dan Sulawesi Utara.
Permainan berlangsung sengit sejak peluit sepak mula dibunyikan wasit. Persebaya Surabaya yang dihuni pemain mentereng seperti Aji Santoso, Anang Ma'ruf, Uston Nawawi, Bejo Sugiantoro, Yusuf Ekodono, hingga Eri Irianto di atas kertas memang lebih diunggulkan ketimbang PSIS.
Persebaya juga mampu unggul dalam rekor pertemuan pada babak sebelumnya atas PSIS. Namun, Ali Sunan dan kawan-kawan tidak gentar sedikitpun. PSIS mampu meladeni permainan Bajul Ijo hingga hampir selesainya waktu normal 2x45 menit.
Momentum bersejarah pun datang ketika memasuki menit ke-89. Bola berawal dari sisi kanan pertahanan PSIS yang dikuasai Agung Setyabudi. Ia mengirimkan umpan jauh ke depan karena melihat ada sosok Tugiyo si 'Maradona dari Purwodadi' dan gol tercipta menjebol gawang Hendro Kartiko.
Hingga akhirnya, wasit Jajat Sudrajat dari Jawa Barat meniup peluit panjang, seluruh elemen Tim Mahesa Jenar meluapkan kebahagiaan, belarian ke tengah lapangan, sebagian menitikkan air mata tak kuasa menahan rasa gembira.
"Persebaya materinya luar biasa bagus, kami lebih unggul dalam ketenangan. Pertemuan di babak sebelumnya kami sering kalah, ada kesempatan di final. Kami tampil lepas tidak ada beban, toh juara dua juga tidak ada masalah," beber pemain yang dulunya selalu menempati posisi bek kanan tersebut.
"Dari samping kanan saya melihat Tugiyo, yang penting bola saya tendang jauh ke depan ada dia. Saya hanya berharap dia bisa menyelesaikan sendiri, dan akhirnya terjadi," kenang mantan jebolan program PSSI Garuda II ini.
Advertisement
Kendala Dana
Sayangnya, nasib PSIS seperti roller coaster yang baru saja naik ke titik tertinggi, kemudian terjun bebas pada musim berikutnya. Tim pujaan Panser Biru dan Snex itu tak berdaya bersaing pada musim 2000 dan harus terdegradasi ke Divisi I.
Menurut Agung Setyabudi, perjalanan timnya musim 2000 kontras dengan musim sebelumnya. Hilangnya beberapa pemain inti ke klub lain, ditambah kondisi keuangan terbatas di manajemen klub, memaksa PSIS harus turun kasta.
Trio pemain asing PSIS, yakni Ebanda Timothy, Simon Atangana, dan Ali Shaha memilih hengkang. Hilangnya sejumlah pemain inti membuat PSIS lebih banyak didominasi pemain lokal yang masih minim jam terbang.
Dirinya memaklumi kondisi persepakbolaan Indonesia yang saat itu belum digarap dengan profesional seperti sekarang. Jejak PSIS juga sempat diikuti Persik Kediri saat juara pada 2003, namun terdegradasi satu musim berikutnya.
"Sepak bola pada zaman itu masih dikelola Pemda. Setelah juara otomatis pemain minta kenaikan gaji, tapi klub tidak dapat memenuhinya. Bisa bertahan di Divisi Utama sudah bagus, meski rejekinya diberi tiket degradasi," jelas Agung menutup cerita.