Bola.com, Malang - Satu dekade sudah Arema tidak lagi meraih gelar juara di kompetisi kasta tertinggi Indonesia. Terakhir, tim berjuluk Singo Edan ini jadi jawara di ISL 2010 silam.
Setelah itu, Arema seakan kesulitan menemukan momentum juara. Paling bagus, mereka tiga kali finish sebagai runner up, yakni musim 2011, 2013 dan ISC 2016.
Baca Juga
5 Pelatih yang Layak Dapat Pujian Sepanjang 2024: Berperan Dongkrak Perkembangan Sepak Bola Indonesia
3 Fakta Miring Timnas Indonesia Selama Fase Grup yang Membuat Pasukan STY Limbung Lalu Hancur di Piala AFF 2024
Deretan Hal yang Membuat Rekam Jejak Timnas Indonesia Layak Dapat Pujian Meski Gagal di Piala AFF 2024
Advertisement
Padahal dari segi materi pemain, bisa dibilang musim 2013 dan 2016 Arema punya komposisi lebih mentereng. Sederet pemain bintang dan naturalisasi didatangkan.
Tapi, hasilnya paling banter mereka jadi juara turnamen pramusim. Belakangan, manajemen Arema menyadari merekrut pemain bintang tidak menggaransi timnya bisa jadi juara.
General Manager Arema, Ruddy Widodo mengakui jika musim 2010 silam, timnya menerapkan prinsip ‘The Right Man On The Right Place’.
“Waktu juara musim 2010, Arema punya materi pemain dengan komposisi tepat. Sesuai kebutuhan pelatih dan bisa menjalankan strategi di lapangan,” jelasnya.
Namun, momen menjadi juara itu masih terngiang di memori Dendi Santoso. Pemain yang sampai saat ini masih membela Arema FC itu ada di dalam skuat Singo Edan ketika menjadi juara pada 2010.
"Momen yang paling indah dan tidak terlupakan waktu itu. Saya masih berusia 19 tahun. Alhamdulillah dapat kepercayaan cukup banyak untuk ukuran pemain muda," ujar Dendi Santoso.
Jika membedah komposisi pemain Arema musim 2010, bisa dibilang pemain bintangnya adalah Noh Alam Shah asal Singapura, kemudian pemain asal Kamerun, Pierre Njanka, dan Markus Horison. Ketiganya punya caps bagus bersama tim nasional negara masing-masing.
Selebihnya pemain muda dan asing yang di atas kertas tidak sementereng Persipura Jayapura, Sriwijaya FC, dan beberapa tim besar lain waktu itu. Tapi, pelatih Robert Rene Alberts yang musim itu menjadi pertama kalinya melatih di Indonesia bisa meracik tim tangguh. Intinya, pelatih asal Belanda ini membentuk Arema yang sesuai dengan kebutuhan skema. Kedalaman skuatnya juga bagus.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Sempat Bongkar Pasang di Persiapan
Tim juara Arema musim 2010 tidak dibentuk secara instan. Robert semula ingin memakai skema dua pemain asing. Sisanya, satu di lini tengah dan dua belakang. Lantaran waktu itu ada 5 kuota pemain asing. Noh Alam Shah dan Pierre Njanka yang paling awal diamankan.
Setelah itu mereka menunggu Mustafic Fahrudin atau Baihakki Khaizan dari Singapura. Satu nama lain adalah Jean Landy Poulangoye dari Gabon.
Nasib gelandang asing Roman Chmelo yang dipertahankan sejak musim sebelumnya sempat goyah. Robert ingin satu striker asing mendampingi Along, sapaan Noh Alam Shah.
Namun, setelah menyeleksi sejumlah striker asing, tidak ada yang cocok dengan kriteria Robert. Pelatih asal Belanda itu pun mengubah skema dengan menggunakan satu striker asing. Sedangkan Roman jadi gelandang serang. Singo Edan pun identik dengan skema 4-2-3-1.
Awal musim, Arema langsung tancap gas. Sembilan laga dijalani tanpa kekalahan. Mereka memetik 7 kemenangan dan 2 imbang. Itu membuat Arema berada di puncak klasemen dan tak terkejar lagi hingga akhir musim.
Sederet pemain muda seperti Beny Wahyudi, Juan Revi, Ahmad Bustomi hingga produk Akademi Arema, Dendi Santoso berhasil muncul. Generasi tulang punggung Arema seperti Ahmad Alfarizi, Sunarto hingga Kurnia Meiga juga diorbitkan.
Bahkan bagi Ahmad Bustomi, gelar juara musim 2010 merupakan satu dari sekian banyak kenangan manis bersama Arema.
"Satu di antaranya adalah juara ISL 2010. Tapi, masih banyak kenangan manis maupun sedih di Arema," ujar Bustomi dalam petikan wawancara dengan Bola.com pada Desember 2017.
Putaran kedua, Arema melakukan perubahan minor. Dua nama yang jadi perhatian, yakni keluarnya Markus Horizon dan Jean Landry. Gantinya, kiper utama diberikan kepada Meiga yang masih minim jam terbang. Sedangkan gelandang bertahan asing digantikan Esteban Guillen.
Ternyata perubahan ini membuat Arema lebih solid. Tidak ada yang menyangka Singo Edan bisa jadi juara dengan komposisi seperti itu. Meiga menjelma menjadi kiper tangguh Indonesia. Dia dinobatkan sebagai pemain terbaik ISL pada akhir musim. Sedangkan Guillen jadi raja passing dan bola mati.
Beberapa pemain Arema waktu itu mengaku sudah menemukan momentum dan chemistry. Mereka seakan sudah hafal harus melepaskan bola kepada siapa untuk membuat serangan yang tajam.
Advertisement
Finansial Sempat Goyah
Saat merengkuh gelar juara ISL 2010, Arema bukan tim yang tanpa kendala. Meski di lapangan mereka tampil garang, ada persoalan internal yang sempat mengganggu kondisi tim, apalagi kalau bukan finansial klub.
Pada pekan 12, pelatih dan pemain Arema mengaku gajinya tersendat. Padahal mereka sudah memperlihatkan prestasi sebagai pemuncak klasemen sementara. Maklum, waktu itu Arema baru dilepas oleh PT Bentoel yang sebelumnya jadi pengelola dan penyokong dana utama.
Musim 2010, Arema mengandalkan pemasukan dari segi tiket pertandingan. Tapi. hal itu tidak cukup. Akhirnya, mereka menyelesaikan persoalan itu dengan cara duduk bersama dan menjelaskan kondisi keuangan tim yang sebenarnya.
Pelatih dan pemain pun bisa menerima dan melanjutkan perjuangan hingga menjadi juara dengan 73 poin. Total Arema meraih 23 kemenangan, 4 hasil imbang, dan menelan 7 kekalahan.
Pesta juara Arema semakin lengkap karena laga terakhir berlangsung di kandang Persija Jakarta, Stadion Utama Bung Karno. Aremania pun berpesta di sana karena Jakarta layaknya rumah kedua bagi fans Singo Edan, Aremania.